Semangat
Pengorbanan untuk Penguatan Kohesi Sosial Umat dan Bangsa Prof DR
H. Azyumardi Azra:
CBE (MA, MPhil, PhD), Anggota Dewan
Pertimbangan MUI Pusat, Ketua Dewan Pers |
MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2022
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ هذَا اْليَوْمَ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَي ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَ
إِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ اْلمُتَّقُوْنَ. اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ
لاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَي فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ:
إِنَّا أَعْطَيْنكَ الْكَوْثَرَ.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ
انْحَرْ.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَِللهِ الْحَمْدُ. Pagi
ini, 10 Dzulhijjah 1443H, kita kembali melaksanakan ibadah Idul Adha dalam
keadaan sehat wal-afiat lahir-batin. Marilah dalam kesempatan penuh rahmat
ini kita bersyukur sedalam-dalamnya dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah SWT, sehingga menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur (‘abdan
syakuran). Shalawat
dan salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah
menyampaikan ajaran dan pesan Islam, sehingga kita tetap berada pada al-Sirat
al-Mustaqim. Mudah-mudahan ibadah Idul Adha ini dan ibadah-ibadah lain yang
kita kerjakan selama ini dapat menjadikan kita sebagai orang-orang yang
takwa. Takwa
merupakan pesan penting Islam yang selalu perlu disampaikan untuk membentuk
pribadi yang senantiasa terhiasi kebaikan dan terpelihara dari keburukan.
Salah satu ciri orang yang benar-benar bertakwa adalah mampu memelihara
integritas dirinya tidak hanya pada saat menjalankan berbagai ibadah bersifat
individual-personal dengan Tuhan (habl min Allâh), tetapi juga dalam
kehidupan sosial (habl min al-nâs). Dengan demikian, kita dapat
mengaktualisasikan kesalehan individual-personal melalui berbagai ibadah
menjadi kesalehan sosial, sehingga menjadi Muslim-Muslimat rahmatan lil
‘alamîn. Kaum
Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah; Hari
ini, jutaan kaum Muslimin dan Muslimat di Makkah, yang datang dari berbagai
penjuru dunia berada dalam puncak kesibukan menunaikan ibadah haji, rukun
Islam kelima. Ibadah Haji tahun 1443/2022 ini pertama kali dilaksanakan
kembali setelah absen dua kali 2020 dan 2021 karena pandemi Covid-19. Ini
patut kita syukuri. Menunaikan
ibadah haji sebagai perjalanan keagamaan (ziyârah atau pilgrimage), seperti
ditegaskan Allah SWT, adalah kewajiban agama bagi setiap Muslim dan Muslimah
yang memiliki kemampuan (istitâ`ah) ekonomis, ilmu pengetahuan (terutama
tentang tatacara manasik ibadah haji), dan kesehatan jasmani untuk melakukan
perjalanan ke bayt Allâh (Makkah) dan menjalankan berbagai rukun dan syarat
ibadah haji. Allah SWT berfirman: وَ ِللهِ عَلَي النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. “Mengerjakan
(ibadah) haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke bayt Allâh (Makkah)”. (QS. Âli
‘Imrân/3; ayat 97) Melakukan
perjalanan ke Makkah guna menunaikan ibadah haji disebut sebagai rihlah
mubârakah (perjalanan penuh berkah); lebih daripada sekadar pergi memenuhi
kewajiban Islam sesuai perintah Allah SWT. Bahkan hal ‘kesanggupan’ atau
‘kemampuan’ (istitâ`ah) lebih daripada sekedar soal kemampuan pendanaan,
materi dan fisik, tetapi juga mencakup kemampuan dalam spiritual dan
psikologis. Karena itu, meski banyak orang yang memiliki kemampuan material
dan fisik, tetapi belum juga melaksanakan ibadah haji. Di sini kemampuan
berkaitan juga dengan spiritualitas seperti tercermin misalnya dalam ungkapan
‘panggilan Nabi Ibrahim’. Sebab itu pula seharusnya kita selalu memanjatkan
doa agar setiap kita Muslimin- Muslimat mendapat ‘panggilan Nabi Ibrahim’,
pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Untuk mendapatkan kemampuan
menerima ‘panggilan Nabi Ibrahim’, kita hendaknya senantiasa meningkatkan
kualitas rohaniah dan spiritualitas melalui berbagai ibadah dan amal saleh
dalam berbagai aspek kehidupan. Ma’âsyiral
Muslimîn wal Muslimât Rahimakumullâh; Selanjutnya,
ibadah haji lebih daripada sekadar pelaksanaan secara sempurna seluruh
tatacara formal ritual haji seperti ditentukan fiqh yang mencakup pemakaian
pakaian ihram, wukuf di Padang Arafah, melempar jumrah, tawaf, sa`i, dan
lain-lain. Mengerjakan semua ketentuan fiqhiyah ibadah haji, berarti jamaah
haji mengalami proses perpindahan dari dataran kehidupan profan, keduniaan,
kepada kesucian yang disimbolisasikan dengan pakaian ihram serba putih tanpa
jahitan. Penyucian diri tidak hanya mencakup penyucian fisik, melalui ritual
purifikasi, tetapi juga penyucian diri dari tanda dan simbolisme lahiriah
yang menunjukkan diferensiasi sosial. Seluruh
ritual fiqhiyah ini bertujuan menghilangkan berbagai perbedaan yang bisa
memisahkan kaum Muslimin satu sama lain, perbedaan gender, sosial, ekonomi,
kebudayaan, etnisitas, posisi sosial-politik, dan lainnya. Mereka semua
setara di hadapan Allah, dan secara bersama-sama menempuh pengalaman dalam
kesatuan umat. Ibadah haji memberikan kesempatan unik; bahwa umat Islam
menjalani kehidupan ini secara egaliter, multietnis, multikultural, dan
mengabdikan kesatuan umat untuk pengejawantahan nilai keislaman dan
kemanusiaan. Jika semua ketentuan fiqhiyah dilaksanakan sebaik-baiknya sesuai
rukun, syarat, dan tata urutannya, secara formal ibadah haji yang dilaksanakan
telah sah. Lebih
dari itu, setiap jamaah haji sendiri dan sanak saudara yang menunggu di
tanahair berharap agar ibadah haji yang dilaksanakan dapat membuahkan haji
mabrûr. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim ditegaskan: اْلحَجُّ اْلمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ اْلجَنَّةْ “Haji mabrûr itu tidak ada balasannya
kecuali surga”. Kata
mabrûr dalam hadis ini memiliki keterkaitan dengan kata al-birr yang berarti
kebajikan atau perbuatan baik yang dikerjakan atas dasar taqwa kepada Allah
SWT. Kata al-birr ini juga disebut di dalam banyak ayat al-Qur’an. Salah
satunya yang sangat relevan dengan tema khutbah kali ini dalam QS. Âli
‘Imrân/3 ayat 92: لَنْ تَنَالُوْا اْلبِرَّ حَتَّي تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ “Kamu tidak akan mendapat kebajikan sebelum
kamu mendermakan sebagian harta yang kamu cintai”. Bagi
mereka yang memiliki kemampuan pendanaan, pengeluaran biaya untuk menunaikan
ibadah haji dapat dipandang sebagai derma, infaq atau shadaqah seorang pribadi
kepada Allah SWT—sebagai bagian tidak terpisahkan dari filantropi Islam.
Seluruh dana yang dibelanjakan untuk keperluan ini hanya guna mencapai
keridhaan Allah, bukan untuk tujuan dan niat lain. Lebih
dari itu, al-birr juga mengandung makna mendermakan atau menginfaqkan harta
yang dicintai kepada orang-orang yang membutuhkan. Mendermakan
harta—sekalipun mungkin hanya sebagian kecil dari apa yang dimiliki—tidak
selalu mudah. Apalagi jika harta yang dimiliki itu diperoleh dengan susah
payah secara halal sesuai tuntunan Islam dan ketentuan hukum negara. Di
sinilah terdapat makna prinsip Islam bahwa harta yang dimiliki adalah
‘ujian’; ujian apakah pemiliknya dikuasai dan diperbudak harta, sehingga
tidak mau mendermakan sebagian kecil daripadanya. Atau sebaliknya, sang
pemilik justru yang mengendalikan harta itu, dan mengeluarkan sebagiannya,
sehingga dapat mendatangkan manfaat maksimal bagi diri, masyarakat, bangsa,
dan agama Allah. Dengan kemampuan mengendalikan harta yang dimiliki, dan
kemudian mendermakannya sesuai ketentuan Allah, kita telah turut berusaha
memperkuat kohesi atau keutuhan sosial di tanahair kita yang masih menghadapi
berbagai masalah ekonomi dan sosial, seperti kemiskinan dan pengangguran. اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَِللهِ الْحَمْدُ. Kemampuan
mengendalikan harta dan, sebaliknya, tidak dikuasai harta atau apa saja yang
dicintai seseorang dalam kehidupannya—termasuk anak, keluarga dan karib
kerabat—merupakan salah satu tujuan dan ibadah kurban yang juga dilaksanakan
dalam rangkaian hari raya Idul Adha. Karena itu, Idul al-Adha atau Hari Raya
Haji juga sering disebut dengan Hari Raya Kurban. Kewajiban
melaksanakan ibadah kurban sekaligus merupakan ungkapan rasa syukur dan
terimakasih kepada Allah SWT atas berbagai rezeki dan nikmat yang telah
diberikan kepada hambaNya yang beriman dan berislam. Perintah itu terkandung
dalam Surat al-Kautsar/108; ayat 1-3): إِنَّا أَعْطَيْنكَ الْكَوْثَرَ.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ
انْحَرْ.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah (orang) yang terputus”. Pelaksanaan
ibadah kurban dengan menyembelih hewan—kambing, domba, atau sapi—berkaitan
dengan pengalaman keagamaan Nabi Ibrahim AS yang mendapat perintah dari Allah
SWT untuk berkurban dengan menyembelih putranya tercinta Nabi Ismail AS.
Perintah ini tercantum dalam firman Allah, yang artinya: “Maka
tatkala anak itu [Isma`il] sampai [pada umur sanggup] berusaha bersama-sama
Ibrahim, [maka] Ibrahim berkata:”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu. Ia [Ismail]
menjawab:”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS
al-Shaffaat/37; ayat 102) Perintah
ini jelas merupakan ujian sangat berat, yang hanya dengan keimanan yang kuat
bisa memenuhinya, bahkan dengan sabar, tulus, dan ikhlas. Nabi Ibrahim dan
Ismail lulus dalam ujian ini, dan ketika Ismail telah dibaringkan ayahnya
siap disembelih, Allah SWT menggantinya dengan hewan sembelihan (domba). Nabi
Ibrahim dan Ismail, serta keluarganya mampu melewati ujian yang
sebenarnya—dan inilah jihad akbar, jihad melawan egoisme diri yang sering
justru lebih menguasai manusia, baik secara individu maupun kelompok. Dengan
keberhasilan melewati perjuangan jihad akbar, penyerahan diri dan kerendahan
hati demi berbakti kepada orangtua dan Allah, seseorang berarti telah
memenangkan perang sangat besar. Kesabaran
dan keikhlasan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam melakukan jihâd akbar, yang
kemudian diganti Allah dengan hewan sembelihan adalah simbol bagi usaha
manusia mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub ilâ Allâh), sesuai kandungan makna istilah qurban. Lebih daripada
itu, ibadah kurban yang dilaksanakan di tempat yang jauh dari Tanah Suci,
seperti kita di tanahair Indononesia, berfungsi tidak hanya untuk taqarrub
ilâ Allâh (habl min Allâh), tetapi juga taqarrub ilâ al-nâs (habl min
al-nâs), yaitu saling dekat dan akrab di antara sesama manusia. Di tengah
kesulitan ekonomi dan sosial yang masih dialami sebagian bangsa Indonesia,
taqarrub ilâ al-nâs (solidaritas sesama manusia) ini harus selalu kita usahakan
sebagai bentuk jihâd, seperti dicontohkan Nabi Ibrahim dan Ismail. Kaum
Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah SWT; Dari
uraian khutbah tadi, jelas ibadah kurban dan ibadah haji mabrûr semestinya
tercermin pula dalam peningkatan perbuatan al-birr, yang berarti meningkatkan
filantropi berupa derma, infaq dan shadaqah, atau mengorbankan lebih banyak
harta yang kita miliki untuk mereka yang membutuhkan. Jika semua ini
dilakukan, kohesi, dan solidaritas sosial atau kesetiakawanan di dalam
masyarakat juga menguat, sehingga memiliki ketahanan sosial lebih kuat. Kebutuhan
meningkatkan perwujudan dan realisasi mabrûr dan al-birr untuk penguatan
kohesi sosial jelas sangat mendesak di tanahair. Bertambah jumlah karena
wabah Covid-19 dalam dua tahuan terakhir, menurut estimasi beberapa lembaga
riset, pada 2022 ini ada sekitar 29,3 juta orang Indonesia hidup dalam
kemiskinan, dengan pendapatan hanya hanya Rp. 20.000 perhari, sehingga tidak
mampu memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup baik, sehat dan layak. Data BPS
2022 menyatakan, ada sekitar 8,4 juta warga penganggur. Dalam
situasi sulit, kepincangan ekonomi dan kesejahteraan antara kelas atas dan
menengah pada satu pihak dengan kelas bawah terlihat meningkat. Yang kaya
kian kaya yang terlihat misalnya dari kian banyaknya tabungan mereka dengan
mobil mentereng dan rumah mewah eksklusif. Pameran kekayaan serba melimpah,
yang tidak diikuti kepedulian, sensitivitas lingkungan dan solidaritas sosial
bisa meningkatkan kecemburuan sosial—yang sangat berbahaya terhadap kohesi
dan kerukunan sosial. Untuk mencegah kerawanan sosial, setiap orang yang
memiliki kelebihan harta perlu kian memiliki kepedulian, sensitivitas
lingkungan dan solidaritas sosial—meningkatkan pengorbanan untuk penguatan
kohesi dan keutuhan sosial. اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَِللهِ الْحَمْدُ. Ketidakpedulian
pada realisasi mabrûr dan al-birr dapat mengakibatkan terjadinya pelestarian
kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya dapat memunculkan kerawanan sosial, tetapi
juga mengakibatkan munculnya the lost generation, lenyapnya generasi bangsa
yang memiliki potensi kecerdasan. Dalam konteks Islam, the lost generation
dapat berarti hilangnya generasi muda yang memiliki akidah dan keimanan.
Kemiskinan dan kefakiran sudah diperingatkan Rasulullah SAW dapat menimbulkan
kekufuran. كَادَ اْلفَقْرُ أَنْ يُكُوْنَ كُفْرًا "Sesungguhnyalah
kefakiran (kemiskinan) itu [dekat] menjadi kekufuran”. Karena
itu, dalam kesempatan Idul Adha ini, marilah kembali meneguhkan keislaman dan
keimanan; memperkuat kohesi sosial; dan mengulurkan bantuan kepada banyak
anak bangsa yang hidup dalam kenestapaan. Dengan begitu, kita semua dapat
mengambil hikmah Idul Adha, Idul Hajj, dan Idul Qurban untuk merealisasikan
secara aktual dalam berbagai aspek kehidupan kita. Marilah
kita akhiri khutbah ini dengan memanjatkan doa dengan khusyu’ ke haribaan
Allah SWT. اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ اْلحَاجَاتِ. اَللّهُمَّ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَ
ارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا. اَللّهُمَّ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَ
إِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَ تَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. “Ya Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, ampunilah dosa kami, dosa ibu bapak kami, para guru dan pemimpin
kami, saudara-saudara kami, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat
mendahului kami dan sayangilah mereka dengan rahmatMu. Ya
Allah, berikanlah kekuatan kepada kami untuk memelihara iman dan Islam kami
dan sanak saudara kami dalam berbagai kesulitan yang masih saja kami hadapi; Ya
Allah, ya Rabb, berikanlah kemudahan, kemauan dan kemampuan kepada kami untuk
senantiasa dapat berkurban untuk memperkuat kohesi sosial, sehingga kami
mampu mengatasi berbagai masalah dan kesulitan yang kami hadapi”. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ
فِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ
سَلاَمٌ عَلَي اْلمُرْسَلِيْنَ
وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَاَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ AZYUMARDI
AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah Fakultas Adab dan
Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Dia pernah
menjadi Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19
Januari 2017-20 Oktober 2019); dan Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta
(2007-2015). Dia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat
Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor
IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN,
2002-2006). Memperoleh
gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of
Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992) with distinction,
Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College,
Montana, USA. Dia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9);
Selain itu dia juga anggota Dewan Penyantun, penasehat dan gurubesar tamu di
beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi
demokrasi internasional. Dia
telah menerbitkan lebih 44 buku dan puluhan artikel dalam bahasa Indonesia,
Inggris, Arab, Italia dan Jerman. Dia mendapatkan berbagai penghargaan: The
Asia Foundation Award 50 tahun The Asia Foundation (2005); Bintang Mahaputra
Utama RI (2005); gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British
Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010); ‘MIPI Award’,
Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIPI, 2014); ‘Commendations’
Kementerian Luarnegeri Jepang (2014); Fukuoka Prize 2014 Jepang (2014);
‘Cendekiawan Berdedikasi’ Harian Kompas (2015); ‘Penghargaan Achmad Bakrie’
(2015); ‘LIPI Sarwono Award’ (2017); bintang pemerntah Jepang ‘The Order of
the Rising Sun: Gold and Silver Star’ diserahkan Kaisar Akihito dan Perdana
Menteri Shinzo Abe di Imperial Palace, Tokyo, Jepang (2017). Selain itu, dia
termasuk ‘The 500 Most Influential Muslim Leaders’ (2009) dalam bidang
Scholarly (kesarjanaan/keilmuan), Prince Waleed bin Talal Center for
Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC dan The
Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania di bawah pimpinan
Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin. *)
Khutbah Salat Idul Fitri 1443 H disampaikan di Masjid Nursiah Daud Paloh
Media Group Jakarta pada Minggu (10/7) ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/505900/mengawal-uu-tpks |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar