Manipulasi
Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Teuku
Kemal Fasya: Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas
Malikussaleh, Aceh |
MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2022
PENANGKAPAN
pelaku pencabulan, Much Subchi Azal Tsani (MSAT), anak pimpinan salah satu
pesantren di Jombang, Jawa Timur, pada 7 Juli lalu bukan akhir dari kisah
kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Pelaku
cabul ini cukup fenomenal. Ia telah menjadi tersangka sejak 2019, tapi tak
kunjung diproses oleh kepolisian. Upaya penangkapannya dihadang oleh sang
ayah dan para santri, hingga harus ada 320 orang yang ditumbalkan untuk
menangkap satu orang itu. Penangkapannya pun tidak menjadi happy ending. Ke
depan, mungkin saja proses peradilan akan dihadang oleh massa dan intimidasi terhadap
korban dan keluarganya akan terus berlangsung. Aneka
wujud Namun,
jika ditelusuri tentang budaya kekerasan termasuk kekerasan seksual, telah
lama bersemayam dan bermutasi dengan aneka wujud ‘kreativitas iblis’ yang
menghantui lembaga pendidikan, tak terkecuali di perguruan tinggi. Telah
banyak siswi, santri perempuan, dan mahasiswi menjadi korban kekerasan
seksual, atas alasan mengamalkan ilmu, taat kepada dosen/guru/senior, dan
pengabdian. Kasus
MSAT yang berdalih mengajarkan ilmu metafakta telah dilakukan sejak 2017.
Dekan Unri yang dituduh mencium mahasiswi bimbingannya menolak perilakunya
dianggap sebagai pelecehan seksual. Uniknya para pelaku merasa tidak
bersalah. Bahkan, mereka anggap sikap mengadili sebagai fitnah atau
kriminalisasi. Pada
tingkat perguruan tinggi, Mendikbud Ristek telah mengantisipasi secara
preventif dan kuratif melalui Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), yang terjadi di
lingkungan perguruan tinggi. Sang menteri melakukan pendekatan instruksional
dan bersifat direktif. Bagi perguruan tinggi yang menolak patuh, akan
diberikan sanksi keuangan hingga akreditasi. Para rektor pasti jeri dengan
ancaman ini. Namun,
langkah sang menteri tak berjalan efektif. Ia juga menghadapi pelbagai
serangan, mulai dianggap legalisasi perzinahan hingga berupaya meliberalisasi
pendidikan tinggi. Pada praktiknya, meskipun telah membentuk Satgas
pencegahan kekerasan seksual, pihak kampus sebagian besar tidak bisa berbuat
apa-apa. Mereka takut jika terekspos, itu akan memperburuk citra lembaga
pendidikan. Waktu akhirnya membiarkan kebusukan hening dalam dusta. Masih
tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan
menunjukkan tujuan dan praktik pendidikan masih bersifat ornamental. Dalam
pandangan filsuf Inggris, Bertrand Russel (On Education, 1926/2012)
pendidikan di era modern kerap melupakan nilai intrinsiknya, tergiring ke
pemahaman paling sempit, yaitu menjadi lembaga aristokrasi dan membangun
kelas menengah ekonomi (leisure class) yang munafi k. Di tangan kaum lulusan
pendidikan tinggi itu, dunia akan dibawa pada kegelapan baru. Kritik
Bertrand itu akhirnya terlihat pada model pengembangan pendidikan saat ini.
Alih-alih berusaha menghidupkan pendidikan karakter dan menghumanisasi
nilai-nilai pendidikan, lembaga pendidikan lebih sibuk pada administrasi dan
akreditasi. Alihalih tetap mempertahankan uang
kuliah tunggal (UKT) dan sistem pendidikan murah agar bisa terjangkau oleh
sebagian besar anak bangsa, banyak rektor disibukkan meng-upgrade status
kelembagaannya menjadi PTN Berbadan Hukum (PTNBH), yang dalam banyak hal
adalah komersialisasi ekstrem perguruan tinggi. Dorongan
pada kemandirian tersebut, secara praksis, membentuk kapitalisme perguruan
tinggi. Nilai tambahnya hanya ekonomis, bukan intelegensia dan kritisisme
pada lingkungan. Kenyataannya, sebagian besar PTNBH gagal mencari peluang
pembiayaan mandiri di luar beban ke peserta didik. Pilihan terakhir ialah
mendesakkan pada variasi UKT hingga delapan level. Untuk
jalur mandiri, perguruan tinggi menerapkan Sumbangan Pengembangan Institusi
(SPI) untuk prodi kedokteran mulai Rp150 juta hingga Rp250 juta. Cukup
fantastis dan pasti tidak terjangkau bagi 99% keluarga Indonesia. Susah
mencari peluang demokratisasi pendidikan ketika sudah terperosok pada skema
pendidikan seperti ini. Pendidikan
pembebasan Di
tengah praktik kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang terjadi di lembaga
pendidikan tinggi, kiranya tepat mengingat kembali tujuan pendidikan Prof
Paulo Friere, pakar pendidikan dari Brasil. Baginya, pendidikan harus
mempersiapkan diri sebagai praktik pembebasan (Educacao como Práctica da
Liberdade). Basis
pemikirannya, didasarkan pada tujuan pendidikan, yaitu perlawanan atas
kolonialisasi pedagogi dan pembangunan kelas. Pendidikan menurut Freire harus
membagun kesadaran diistilahkan dengan konsientisasi untuk melawan pelbagai
mistifikasi dan aksi-aksi pedagogi opresif (pedagogy of the oppressed).
Kapitalisasi pendidikan hanya membentuk praksis mistifikasi, (dan juga pasifi
kasi) sehingga melahirkan aktivisme yang membahayakan pendidikan itu sendiri.
Pendidikan membentuk kesenjangan, antara pendidik dan yang dididik.
Hubunganya bersifat dualisme, tidak emansipatoris dan partisipatif. Pada
‘sekolah kedinasan Amtenar’ praktik-praktik kekerasan masih dilegalisasi.
Ketika muncul respons publik karena ada siswa atau mahasiswa yang meninggal,
praktik kekerasan itu mereda sesaat, tapi kemudian dilanjutkan kembali. Dalam
alam pedagogi mereka, model ‘penggojlokan’ seperti itu pembentukan mental
siswa/mahasiswa. Di
sisi lain, ada dampak kolonialisasi pendidikan yang mempromosikan kekerasan
seksual. Model mistifikasi sang peserta didik, agar ‘setuju’ dilecehkan
secara seksual sebagai proses ‘pendalaman pengetahuan’ ialah manipulasi
ekstensif nilai-nilai pendidikan. Praktik kekerasan seksual yang terjadi
selama ini, baik yang dilakukan oleh dekan, kiai, guru, dosen, pastor,
pendeta, brueder, dan senior itu sejalan dengan sejarah pendidikan opresif
yang yang ditolak oleh Freire. Kalau memakai perspektif Ki Hadjar Dewantara,
para pelaku cabul ialah kaum penjajah yang menawarkan ‘intelektualisme’ tanpa
karakter dan budi pekerti. Kini
telah hadir UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang
lebih progresif dibandingkan UU KDRT (UU No 23 Tahun 2004), UU Tindak Pidana
Perdagangan Orang (UU No 21 Tahun 2007), UU Perlindungan Anak (UU No 35 Tahun
2014), KUHP, dan bahkan RKUHP yang kini sedang dibahas. Semoga upaya legal
yang diperjuangkan selama enam tahun itu bisa menjadi upaya melawan
mistifikasi dan manipulasi kekerasan seksual di lembaga pendidikan.● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/505900/mengawal-uu-tpks |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar