Rabu, 13 Juli 2022

 

Semangat Pengorbanan untuk Penguatan Kohesi Sosial Umat dan Bangsa 

Prof DR H. Azyumardi Azra: CBE (MA, MPhil, PhD), Anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat, Ketua Dewan Pers

MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2022

 

                                                

 

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً.

 

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ هذَا اْليَوْمَ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ.

 

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ

 

وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

 

اَللّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَي ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

 

اَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَ إِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ اْلمُتَّقُوْنَ. اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

 

 وَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَي فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ.

 

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَِللهِ الْحَمْدُ.

 

Pagi ini, 10 Dzulhijjah 1443H, kita kembali melaksanakan ibadah Idul Adha dalam keadaan sehat wal-afiat lahir-batin. Marilah dalam kesempatan penuh rahmat ini kita bersyukur sedalam-dalamnya dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, sehingga menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur (‘abdan syakuran).

 

Shalawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran dan pesan Islam, sehingga kita tetap berada pada al-Sirat al-Mustaqim. Mudah-mudahan ibadah Idul Adha ini dan ibadah-ibadah lain yang kita kerjakan selama ini dapat menjadikan kita sebagai orang-orang yang takwa.

 

Takwa merupakan pesan penting Islam yang selalu perlu disampaikan untuk membentuk pribadi yang senantiasa terhiasi kebaikan dan terpelihara dari keburukan. Salah satu ciri orang yang benar-benar bertakwa adalah mampu memelihara integritas dirinya tidak hanya pada saat menjalankan berbagai ibadah bersifat individual-personal dengan Tuhan (habl min Allâh), tetapi juga dalam kehidupan sosial (habl min al-nâs). Dengan demikian, kita dapat mengaktualisasikan kesalehan individual-personal melalui berbagai ibadah menjadi kesalehan sosial, sehingga menjadi Muslim-Muslimat rahmatan lil ‘alamîn.

 

Kaum Muslimin dan Muslimat Rahimakumullah;

 

Hari ini, jutaan kaum Muslimin dan Muslimat di Makkah, yang datang dari berbagai penjuru dunia berada dalam puncak kesibukan menunaikan ibadah haji, rukun Islam kelima. Ibadah Haji tahun 1443/2022 ini pertama kali dilaksanakan kembali setelah absen dua kali 2020 dan 2021 karena pandemi Covid-19. Ini patut kita syukuri.

 

Menunaikan ibadah haji sebagai perjalanan keagamaan (ziyârah atau pilgrimage), seperti ditegaskan Allah SWT, adalah kewajiban agama bagi setiap Muslim dan Muslimah yang memiliki kemampuan (istitâ`ah) ekonomis, ilmu pengetahuan (terutama tentang tatacara manasik ibadah haji), dan kesehatan jasmani untuk melakukan perjalanan ke bayt Allâh (Makkah) dan menjalankan berbagai rukun dan syarat ibadah haji. Allah SWT berfirman:

 

وَ ِللهِ عَلَي النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.

 

“Mengerjakan (ibadah) haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke bayt Allâh (Makkah)”. (QS. Âli ‘Imrân/3; ayat 97)

 

Melakukan perjalanan ke Makkah guna menunaikan ibadah haji disebut sebagai rihlah mubârakah (perjalanan penuh berkah); lebih daripada sekadar pergi memenuhi kewajiban Islam sesuai perintah Allah SWT. Bahkan hal ‘kesanggupan’ atau ‘kemampuan’ (istitâ`ah) lebih daripada sekedar soal kemampuan pendanaan, materi dan fisik, tetapi juga mencakup kemampuan dalam spiritual dan psikologis. Karena itu, meski banyak orang yang memiliki kemampuan material dan fisik, tetapi belum juga melaksanakan ibadah haji. Di sini kemampuan berkaitan juga dengan spiritualitas seperti tercermin misalnya dalam ungkapan ‘panggilan Nabi Ibrahim’. Sebab itu pula seharusnya kita selalu memanjatkan doa agar setiap kita Muslimin- Muslimat mendapat ‘panggilan Nabi Ibrahim’, pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Untuk mendapatkan kemampuan menerima ‘panggilan Nabi Ibrahim’, kita hendaknya senantiasa meningkatkan kualitas rohaniah dan spiritualitas melalui berbagai ibadah dan amal saleh dalam berbagai aspek kehidupan.

 

Ma’âsyiral Muslimîn wal Muslimât Rahimakumullâh;

 

Selanjutnya, ibadah haji lebih daripada sekadar pelaksanaan secara sempurna seluruh tatacara formal ritual haji seperti ditentukan fiqh yang mencakup pemakaian pakaian ihram, wukuf di Padang Arafah, melempar jumrah, tawaf, sa`i, dan lain-lain. Mengerjakan semua ketentuan fiqhiyah ibadah haji, berarti jamaah haji mengalami proses perpindahan dari dataran kehidupan profan, keduniaan, kepada kesucian yang disimbolisasikan dengan pakaian ihram serba putih tanpa jahitan. Penyucian diri tidak hanya mencakup penyucian fisik, melalui ritual purifikasi, tetapi juga penyucian diri dari tanda dan simbolisme lahiriah yang menunjukkan diferensiasi sosial.

 

Seluruh ritual fiqhiyah ini bertujuan menghilangkan berbagai perbedaan yang bisa memisahkan kaum Muslimin satu sama lain, perbedaan gender, sosial, ekonomi, kebudayaan, etnisitas, posisi sosial-politik, dan lainnya. Mereka semua setara di hadapan Allah, dan secara bersama-sama menempuh pengalaman dalam kesatuan umat. Ibadah haji memberikan kesempatan unik; bahwa umat Islam menjalani kehidupan ini secara egaliter, multietnis, multikultural, dan mengabdikan kesatuan umat untuk pengejawantahan nilai keislaman dan kemanusiaan. Jika semua ketentuan fiqhiyah dilaksanakan sebaik-baiknya sesuai rukun, syarat, dan tata urutannya, secara formal ibadah haji yang dilaksanakan telah sah.

 

Lebih dari itu, setiap jamaah haji sendiri dan sanak saudara yang menunggu di tanahair berharap agar ibadah haji yang dilaksanakan dapat membuahkan haji mabrûr. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ditegaskan:

 

اْلحَجُّ اْلمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ اْلجَنَّةْ

 

 “Haji mabrûr itu tidak ada balasannya kecuali surga”.

 

Kata mabrûr dalam hadis ini memiliki keterkaitan dengan kata al-birr yang berarti kebajikan atau perbuatan baik yang dikerjakan atas dasar taqwa kepada Allah SWT. Kata al-birr ini juga disebut di dalam banyak ayat al-Qur’an. Salah satunya yang sangat relevan dengan tema khutbah kali ini dalam QS. Âli ‘Imrân/3 ayat 92:

 

لَنْ تَنَالُوْا اْلبِرَّ حَتَّي تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ

 

 “Kamu tidak akan mendapat kebajikan sebelum kamu mendermakan sebagian harta yang kamu cintai”.

 

Bagi mereka yang memiliki kemampuan pendanaan, pengeluaran biaya untuk menunaikan ibadah haji dapat dipandang sebagai derma, infaq atau shadaqah seorang pribadi kepada Allah SWT—sebagai bagian tidak terpisahkan dari filantropi Islam. Seluruh dana yang dibelanjakan untuk keperluan ini hanya guna mencapai keridhaan Allah, bukan untuk tujuan dan niat lain.

 

Lebih dari itu, al-birr juga mengandung makna mendermakan atau menginfaqkan harta yang dicintai kepada orang-orang yang membutuhkan. Mendermakan harta—sekalipun mungkin hanya sebagian kecil dari apa yang dimiliki—tidak selalu mudah. Apalagi jika harta yang dimiliki itu diperoleh dengan susah payah secara halal sesuai tuntunan Islam dan ketentuan hukum negara. Di sinilah terdapat makna prinsip Islam bahwa harta yang dimiliki adalah ‘ujian’; ujian apakah pemiliknya dikuasai dan diperbudak harta, sehingga tidak mau mendermakan sebagian kecil daripadanya. Atau sebaliknya, sang pemilik justru yang mengendalikan harta itu, dan mengeluarkan sebagiannya, sehingga dapat mendatangkan manfaat maksimal bagi diri, masyarakat, bangsa, dan agama Allah. Dengan kemampuan mengendalikan harta yang dimiliki, dan kemudian mendermakannya sesuai ketentuan Allah, kita telah turut berusaha memperkuat kohesi atau keutuhan sosial di tanahair kita yang masih menghadapi berbagai masalah ekonomi dan sosial, seperti kemiskinan dan pengangguran.

 

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَِللهِ الْحَمْدُ.

 

Kemampuan mengendalikan harta dan, sebaliknya, tidak dikuasai harta atau apa saja yang dicintai seseorang dalam kehidupannya—termasuk anak, keluarga dan karib kerabat—merupakan salah satu tujuan dan ibadah kurban yang juga dilaksanakan dalam rangkaian hari raya Idul Adha. Karena itu, Idul al-Adha atau Hari Raya Haji juga sering disebut dengan Hari Raya Kurban.

 

Kewajiban melaksanakan ibadah kurban sekaligus merupakan ungkapan rasa syukur dan terimakasih kepada Allah SWT atas berbagai rezeki dan nikmat yang telah diberikan kepada hambaNya yang beriman dan berislam. Perintah itu terkandung dalam Surat al-Kautsar/108; ayat 1-3):

 

إِنَّا أَعْطَيْنكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ.

 

 “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah (orang) yang terputus”.

 

Pelaksanaan ibadah kurban dengan menyembelih hewan—kambing, domba, atau sapi—berkaitan dengan pengalaman keagamaan Nabi Ibrahim AS yang mendapat perintah dari Allah SWT untuk berkurban dengan menyembelih putranya tercinta Nabi Ismail AS. Perintah ini tercantum dalam firman Allah, yang artinya:

 

“Maka tatkala anak itu [Isma`il] sampai [pada umur sanggup] berusaha bersama-sama Ibrahim, [maka] Ibrahim berkata:”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu. Ia [Ismail] menjawab:”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS al-Shaffaat/37; ayat 102)

 

Perintah ini jelas merupakan ujian sangat berat, yang hanya dengan keimanan yang kuat bisa memenuhinya, bahkan dengan sabar, tulus, dan ikhlas. Nabi Ibrahim dan Ismail lulus dalam ujian ini, dan ketika Ismail telah dibaringkan ayahnya siap disembelih, Allah SWT menggantinya dengan hewan sembelihan (domba). Nabi Ibrahim dan Ismail, serta keluarganya mampu melewati ujian yang sebenarnya—dan inilah jihad akbar, jihad melawan egoisme diri yang sering justru lebih menguasai manusia, baik secara individu maupun kelompok. Dengan keberhasilan melewati perjuangan jihad akbar, penyerahan diri dan kerendahan hati demi berbakti kepada orangtua dan Allah, seseorang berarti telah memenangkan perang sangat besar.

 

Kesabaran dan keikhlasan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam melakukan jihâd akbar, yang kemudian diganti Allah dengan hewan sembelihan adalah simbol bagi usaha manusia  mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilâ Allâh), sesuai kandungan makna istilah qurban. Lebih daripada itu, ibadah kurban yang dilaksanakan di tempat yang jauh dari Tanah Suci, seperti kita di tanahair Indononesia, berfungsi tidak hanya untuk taqarrub ilâ Allâh (habl min Allâh), tetapi juga taqarrub ilâ al-nâs (habl min al-nâs), yaitu saling dekat dan akrab di antara sesama manusia. Di tengah kesulitan ekonomi dan sosial yang masih dialami sebagian bangsa Indonesia, taqarrub ilâ al-nâs (solidaritas sesama manusia) ini harus selalu kita usahakan sebagai bentuk jihâd, seperti dicontohkan Nabi Ibrahim dan Ismail.

 

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah SWT;

 

Dari uraian khutbah tadi, jelas ibadah kurban dan ibadah haji mabrûr semestinya tercermin pula dalam peningkatan perbuatan al-birr, yang berarti meningkatkan filantropi berupa derma, infaq dan shadaqah, atau mengorbankan lebih banyak harta yang kita miliki untuk mereka yang membutuhkan. Jika semua ini dilakukan, kohesi, dan solidaritas sosial atau kesetiakawanan di dalam masyarakat juga menguat, sehingga memiliki ketahanan sosial lebih kuat.

 

Kebutuhan meningkatkan perwujudan dan realisasi mabrûr dan al-birr untuk penguatan kohesi sosial jelas sangat mendesak di tanahair. Bertambah jumlah karena wabah Covid-19 dalam dua tahuan terakhir, menurut estimasi beberapa lembaga riset, pada 2022 ini ada sekitar 29,3 juta orang Indonesia hidup dalam kemiskinan, dengan pendapatan hanya hanya Rp. 20.000 perhari, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup baik, sehat dan layak. Data BPS 2022 menyatakan, ada sekitar 8,4 juta warga penganggur.

 

Dalam situasi sulit, kepincangan ekonomi dan kesejahteraan antara kelas atas dan menengah pada satu pihak dengan kelas bawah terlihat meningkat. Yang kaya kian kaya yang terlihat misalnya dari kian banyaknya tabungan mereka dengan mobil mentereng dan rumah mewah eksklusif. Pameran kekayaan serba melimpah, yang tidak diikuti kepedulian, sensitivitas lingkungan dan solidaritas sosial bisa meningkatkan kecemburuan sosial—yang sangat berbahaya terhadap kohesi dan kerukunan sosial. Untuk mencegah kerawanan sosial, setiap orang yang memiliki kelebihan harta perlu kian memiliki kepedulian, sensitivitas lingkungan dan solidaritas sosial—meningkatkan pengorbanan untuk penguatan kohesi dan keutuhan sosial.

 

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَِللهِ الْحَمْدُ.

 

Ketidakpedulian pada realisasi mabrûr dan al-birr dapat mengakibatkan terjadinya pelestarian kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya dapat memunculkan kerawanan sosial, tetapi juga mengakibatkan munculnya the lost generation, lenyapnya generasi bangsa yang memiliki potensi kecerdasan. Dalam konteks Islam, the lost generation dapat berarti hilangnya generasi muda yang memiliki akidah dan keimanan. Kemiskinan dan kefakiran sudah diperingatkan Rasulullah SAW dapat menimbulkan kekufuran.

 

كَادَ اْلفَقْرُ أَنْ يُكُوْنَ كُفْرًا

 

"Sesungguhnyalah kefakiran (kemiskinan) itu [dekat] menjadi kekufuran”.

 

Karena itu, dalam kesempatan Idul Adha ini, marilah kembali meneguhkan keislaman dan keimanan; memperkuat kohesi sosial; dan mengulurkan bantuan kepada banyak anak bangsa yang hidup dalam kenestapaan. Dengan begitu, kita semua dapat mengambil hikmah Idul Adha, Idul Hajj, dan Idul Qurban untuk merealisasikan secara aktual dalam berbagai aspek kehidupan kita.

 

Marilah kita akhiri khutbah ini dengan memanjatkan doa dengan khusyu’ ke haribaan Allah SWT.

 

اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ

 

وَاْلمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ اْلحَاجَاتِ.

 

اَللّهُمَّ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَ ارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا.

 

اَللّهُمَّ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَ إِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَ تَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

 

 “Ya Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ampunilah dosa kami, dosa ibu bapak kami, para guru dan pemimpin kami, saudara-saudara kami, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat mendahului kami dan sayangilah mereka dengan rahmatMu.

 

Ya Allah, berikanlah kekuatan kepada kami untuk memelihara iman dan Islam kami dan sanak saudara kami dalam berbagai kesulitan yang masih saja kami hadapi;

 

Ya Allah, ya Rabb, berikanlah kemudahan, kemauan dan kemampuan kepada kami untuk senantiasa dapat berkurban untuk memperkuat kohesi sosial, sehingga kami mampu mengatasi berbagai masalah dan kesulitan yang kami hadapi”.

 

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

 

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمٌ عَلَي اْلمُرْسَلِيْنَ  وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ

 

وَاَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

 

AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Dia pernah menjadi Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19 Januari 2017-20 Oktober 2019); dan Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta (2007-2015). Dia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).

 

Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992) with distinction, Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Dia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu dia juga anggota Dewan Penyantun, penasehat dan gurubesar tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional.

 

Dia telah menerbitkan lebih 44 buku dan puluhan artikel dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Italia dan Jerman. Dia mendapatkan berbagai penghargaan: The Asia Foundation Award 50 tahun The Asia Foundation (2005); Bintang Mahaputra Utama RI (2005); gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010); ‘MIPI Award’, Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIPI, 2014); ‘Commendations’ Kementerian Luarnegeri Jepang (2014); Fukuoka Prize 2014 Jepang (2014); ‘Cendekiawan Berdedikasi’ Harian Kompas (2015); ‘Penghargaan Achmad Bakrie’ (2015); ‘LIPI Sarwono Award’ (2017); bintang pemerntah Jepang ‘The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star’ diserahkan Kaisar Akihito dan Perdana Menteri Shinzo Abe di Imperial Palace, Tokyo, Jepang (2017). Selain itu, dia termasuk ‘The 500 Most Influential Muslim Leaders’ (2009) dalam bidang Scholarly (kesarjanaan/keilmuan), Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC dan The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania di bawah pimpinan Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin.

 

*) Khutbah Salat Idul Fitri 1443 H disampaikan di Masjid Nursiah Daud Paloh Media Group Jakarta pada Minggu (10/7)

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/505900/mengawal-uu-tpks

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar