Reforma
Agraria Warisan Jokowi Surya
Tjandra: Menjabat Wakil Menteri ATR/BPN
pada 25 Oktober 2019 hingga 15 Juni 2022 |
KOMPAS, 13 Juli 2022
Penunjukan
Hadi Tjahjanto dan Raja Juli Antoni sebagai Menteri dan Wakil Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional adalah pilihan konsolidasi politik
Presiden Joko Widodo jelang 2024 guna memastikan pencapaian beberapa warisan
penting yang sudah ditargetkan, dan akan dilanjutkannya proyek strategis
warisannya. Pilihan
itu juga bisa menjadi langkah jitu mendorong percepatan pelaksanaan program
strategis nasional reforma agraria. Kombinasi kepimpinan baru ini, kalau
dilaksanakan baik bisa membuka beberapa sumbatan yang selama ini menghambat
pencapaian target reforma agraria. Setelah
melantik mereka, pada hari yang sama Presiden langsung menggelar rapat
terbatas kabinet yang secara khusus membahas penyelesaian konflik agraria dan
percepatan pelaksanaan reforma agraria. Menteri Hadi pun sudah menyampaikan
tiga fokus kerjanya yang terdekat, yaitu penyelesaian tumpang tindih termasuk
percepatan penyelesaian konflik agraria, pencapaian target Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL), dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Selang
beberapa hari sejak dilantik Menteri Hadi langsung ke lapangan di Jawa Timur
dan Jawa Tengah, meninjau beberapa lokasi prioritas reforma agraria, yaitu
kasus konflik agraria yang disampaikan oleh empat organisasi masyarakat sipil
dalam pertemuan langsung dengan Presiden Jokowi. Presiden saat itu langsung
memerintahkan beberapa menterinya agar hal itu diselesaikan secepat mungkin,
tetapi eksekusinya belum semulus yang diharapkan. Tantangan
penyelesaian konflik Tantangan
terbesar untuk penyelesaian konflik agraria yang ada adalah karena perlu
dukungan lintas sektor dan tidak bisa hanya Kementerian ATR/BPN yang
menyelesaikannya. Beberapa kasus melibatkan Kementerian BUMN (Badan Usaha
Milik Negara) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena
ada aset Perkebunan Nusantara atau Perhutani pada lokasi yang dikuasai masyarakat
sejak lama. Beberapa
kasus lain perlu didukung oleh KLHK karena tanah yang dikuasai masyarakat
diklaim masuk dalam kawasan hutan, dan untuk melaksanakan pelepasan kawasan
hutan, menurut aturan KLHK, membutuhkan proses yang cukup rumit. Kasus lain lagi
butuh dukungan Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara karena beberapa penguasaan masyarakat berbenturan dengan klaim aset
kementerian/lembaga atau Tentara Nasional Indonesia. Tantangan
lain juga ada di pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menetapkan
daftar nominatif siapa subyek masyarakat yang berhak mendapatkan tanah
tersebut. Kadang terjadi konflik kepentingan di sini ketika kepala daerah
lebih ingin memuaskan konstituennya daripada memberikan hak kepada mereka yang
seharusnya mendapatkan sesuai dengan ketentuan yang ada. Kompetisi dan
konflik horizontal antara masyarakat dan antara organisasi pendampingnya pun
terkadang menyulitkan penyelesaian. PTSL
dan IKN Pencapaian
target PTSL akan berpacu dengan kecepatan melaksanakan digitalisasi data
pertanahan dan ruang, yang berkorelasi pada ketersediaan anggaran dan
komitmen kelembagaan. Belum lagi berbagai masalah lain dengan masih banyaknya
dokumen pertanahan lama yang menghantui, kualitas data yang tersedia, serta aneka
residu yang harus diputuskan kebijakan apa yang akan diambil, termasuk kaitan
dengan aparat penegak hukum. Karena
praktis belum pernah ada pengalaman pemerintah pasca-kemerdekaan membuat ibu
kota baru, pembangunan IKN akan butuh komitmen kuat dari seluruh
kementerian/lembaga untuk berkontribusi secara padu, bukan sendiri-sendiri
karena ini adalah orkestra bukan nyanyian solo. Pembangunan
gedung dan infrastruktur sudah harus langsung memikirkan return peluang
pengembangan yang ada karena sebuah kota baru niscaya akan membutuhkan pihak
lain, swasta khususnya, untuk berkontribusi dan mendapat keuntungan dari itu. Belajar
dari pembangunan Putra Jaya pengganti Kuala Lumpur di Malaysia, IKN juga akan
butuh komitmen dan perhatian penuh kepala negara untuk secara langsung
mendapat laporan secara rutin mingguan, dan menyelesaikan masalah segera
begitu muncul. Ini
semua menunjukkan kompleksitas yang ada. Duet kepemimpinan baru ini, dengan
pembagian tugas yang tampaknya juga akan lebih jelas antara Menteri dan Wakil
Menteri ATR/BPN sejak awal, diharapkan bisa menerobos sekat-sekat kelembagaan
yang nyata-nyata menghambat pelaksanaan pembangunan yang membutuhkan tanah
dan ruang ini. Untuk
itu, salah satu kendaraan yang bisa digunakan adalah Gugus Tugas Reforma Agraria
(GTRA) yang dibentuk sejak 2018. Ini adalah organisasi lintas sektor yang
bersifat ad hoc atau sementara, yang bertugas memfasilitasi dan mendorong
percepatan dan eksekusi program strategis nasional reforma agraria. Ketua
GTRA Pusat adalah Menteri ATR/BPN dan koordinator pelaksana ditunjuk Wakil
Menteri ATR/BPN. Sementara Ketua GTRA Provinsi adalah gubernur dan
koordinator pelaksananya adalah kepala kantor wilayah ATR/BPN, dan Ketua GTRA
Kabupaten/Kota ex officio adalah bupati/wali kota dan koordinator
pelaksananya adalah kepala kantor pertanahan setempat. Berbagai kelompok
masyarakat juga menjadi anggota GTRA di daerah. Satu
tantangan besar GTRA sejak awal adalah butuhnya dukungan lintas sektor untuk
pelaksanaannya. Setelah berproses dua tahun lebih berhasil dilaksanakan GTRA
Summit, Pertemuan Puncak GTRA, di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada 8-10 Juni
2022, yang dibuka oleh Presiden dan ditutup Wakil Presiden, serta dihadiri
oleh tujuh menteri. Inilah
barangkali kali pertama pemerintah pusat menunjukkan komitmen terbesarnya
untuk sebuah acara reforma agraria. Pintu yang terbuka setelahnya untuk
membahas apa pun isu kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang membutuhkan
tanah dan ruang pun menjadi terbuka lebar. Di
sini juga Presiden Jokowi sekali lagi menyampaikan arahannya untuk
diruntuhkannya tembok-tembok sektoral yang merugikan. ”Saya ingatkan lagi,
saya tidak bisa menolerir kerugian negara, kerugian masyarakat yang
disebabkan oleh ego sektoral dan ego lembaga. Itu sudah stop, cukup,” kata
Presiden, yang langsung didampingi empat menterinya selama di Wakatobi. Deklarasi
Wakatobi yang dihasilkan kemudian berisi kesepakatan umum kerja sama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memangkas ego sektoral guna
mendorong percepatan reforma agraria. Sementara rekomendasi Wakatobi
memberikan arahan teknis kerja konkret yang bisa dilaksanakan selama setahun
ke depan, untuk nanti dievaluasi pada GTRA Summit 2023 yang disepakati
rencananya akan dilaksanakan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Pada
saat pertemuan puncak pun dilaksanakan sebuah kegiatan samping oleh kumpulan
masyarakat sipil yang juga terlibat aktif di dalam menyusun deklarasi maupun
rekomendasi. Ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi yang mendorong
partisipasi publik guna mempercepat pelaksanaan reforma agraria. Sebelum
pertemuan puncak di Wakatobi, sudah dilaksanakan 26 kali kegiatan webinar dan
diskusi terfokus, melibatkan lintas sektor kementerian/lembaga, pemerintah
daerah, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Membahas
aneka isu terkait penyelesaian tumpang tindih kebijakan pemanfaatan tanah dan
ruang, penataan aset kepemilikan khususnya bagi masyarakat adat dan
tradisional, serta penataan akses pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat. Seluruh
prosesnya pun terdokumentasi secara daring di situs publik yang dibentuk
khusus untuk itu: https://gtrasummit.id/ sebagai bagian dari manajemen
pengetahuan. Diharapkan masyarakat dan para pemerhati, akademisi dan
sebagainya, bisa menjadikannya sebagai satu sumber untuk didiskusikan dan diperdebatkan,
untuk terus mengawal pelaksanaan program mulia reforma agraria ini. Warisan
Jokowi Barangkali
sekarang saat paling tepat untuk mengevaluasi secara lebih menyeluruh seluruh
kerja dan kinerja Kementerian ATR/BPN. Hambatan dan masalah yang sudah
diketahui segera diatasi, residu-residu yang ada segera dituntaskan,
risiko-risiko yang sudah diketahui dimitigasikan secara efektif. Ini
penting untuk kepastian hukum soal pertanahan, sekaligus menyiapkan soft
landing bagi menteri dan presiden berikut, karena kerja-kerja terkait
pertanahan dan ruang niscaya akan butuh estafet dan berkelanjutan lintas
generasi. Di
Wakatobi, Presiden sudah menekankan pentingnya meruntuhkan ego sektoral
antara kementerian/lembaga di dalam kerjanya. Deklarasi Wakatobi dan rekomendasi
yang dihasilkan kemudian juga menekankan pada pentingnya membuat proses
bisnis yang mulus antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Dari
kegeraman yang dapat kita rasakan dari sambutan Presiden Jokowi di Wakatobi,
tampaknya kita memang sedang berpacu dengan waktu, dan ini semua tidak bisa
ditunda-tunda lagi. Dengan
keunikan kerjanya sebagai sebagai kementerian teknis yang seperti jangkarnya
pembangunan, karena semua pembangunan pasti butuh tanah dan ruang,
Kementerian ATR/BPN bisa menjadi tenaga pendorong kerja-kerja lintas sektor
ini, sebagaimana terbukti dari suksesnya pelaksanaan GTRA Summit di Wakatobi. Kementerian
ATR/BPN dan seluruh jajarannya di 34 provinsi dan lebih 470 kabupaten/kota di
seluruh negeri bisa menjadi pihak yang menginisiasi, memfasilitasi, dan
mewujudkan kerja-kerja lintas sektor ini, demi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Kalau
kementerian/lembaga lain belum atau masih ragu keluar dari belenggu ego
sektoral, Kementerian ATR/BPN yang harus memulainya, Ini akan jadi warisan
pilot dan co-pilot ATR/BPN yang baru, dan niscaya akan diingat juga sebagai
salah satu warisan Jokowi yang terpenting. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/12/reforma-agraria-warisan-jokowi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar