Jumat, 15 Juli 2022

 

Reforma Agraria Warisan Jokowi

Surya Tjandra: Menjabat Wakil Menteri ATR/BPN pada 25 Oktober 2019 hingga 15 Juni 2022

KOMPAS, 13 Juli 2022

 

                                                

 

Penunjukan Hadi Tjahjanto dan Raja Juli Antoni sebagai Menteri dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional adalah pilihan konsolidasi politik Presiden Joko Widodo jelang 2024 guna memastikan pencapaian beberapa warisan penting yang sudah ditargetkan, dan akan dilanjutkannya proyek strategis warisannya.

 

Pilihan itu juga bisa menjadi langkah jitu mendorong percepatan pelaksanaan program strategis nasional reforma agraria. Kombinasi kepimpinan baru ini, kalau dilaksanakan baik bisa membuka beberapa sumbatan yang selama ini menghambat pencapaian target reforma agraria.

 

Setelah melantik mereka, pada hari yang sama Presiden langsung menggelar rapat terbatas kabinet yang secara khusus membahas penyelesaian konflik agraria dan percepatan pelaksanaan reforma agraria. Menteri Hadi pun sudah menyampaikan tiga fokus kerjanya yang terdekat, yaitu penyelesaian tumpang tindih termasuk percepatan penyelesaian konflik agraria, pencapaian target Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

 

Selang beberapa hari sejak dilantik Menteri Hadi langsung ke lapangan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, meninjau beberapa lokasi prioritas reforma agraria, yaitu kasus konflik agraria yang disampaikan oleh empat organisasi masyarakat sipil dalam pertemuan langsung dengan Presiden Jokowi. Presiden saat itu langsung memerintahkan beberapa menterinya agar hal itu diselesaikan secepat mungkin, tetapi eksekusinya belum semulus yang diharapkan.

 

Tantangan penyelesaian konflik

 

Tantangan terbesar untuk penyelesaian konflik agraria yang ada adalah karena perlu dukungan lintas sektor dan tidak bisa hanya Kementerian ATR/BPN yang menyelesaikannya. Beberapa kasus melibatkan Kementerian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena ada aset Perkebunan Nusantara atau Perhutani pada lokasi yang dikuasai masyarakat sejak lama.

 

Beberapa kasus lain perlu didukung oleh KLHK karena tanah yang dikuasai masyarakat diklaim masuk dalam kawasan hutan, dan untuk melaksanakan pelepasan kawasan hutan, menurut aturan KLHK, membutuhkan proses yang cukup rumit. Kasus lain lagi butuh dukungan Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara karena beberapa penguasaan masyarakat berbenturan dengan klaim aset kementerian/lembaga atau Tentara Nasional Indonesia.

 

Tantangan lain juga ada di pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menetapkan daftar nominatif siapa subyek masyarakat yang berhak mendapatkan tanah tersebut. Kadang terjadi konflik kepentingan di sini ketika kepala daerah lebih ingin memuaskan konstituennya daripada memberikan hak kepada mereka yang seharusnya mendapatkan sesuai dengan ketentuan yang ada. Kompetisi dan konflik horizontal antara masyarakat dan antara organisasi pendampingnya pun terkadang menyulitkan penyelesaian.

 

PTSL dan IKN

 

Pencapaian target PTSL akan berpacu dengan kecepatan melaksanakan digitalisasi data pertanahan dan ruang, yang berkorelasi pada ketersediaan anggaran dan komitmen kelembagaan. Belum lagi berbagai masalah lain dengan masih banyaknya dokumen pertanahan lama yang menghantui, kualitas data yang tersedia, serta aneka residu yang harus diputuskan kebijakan apa yang akan diambil, termasuk kaitan dengan aparat penegak hukum.

 

Karena praktis belum pernah ada pengalaman pemerintah pasca-kemerdekaan membuat ibu kota baru, pembangunan IKN akan butuh komitmen kuat dari seluruh kementerian/lembaga untuk berkontribusi secara padu, bukan sendiri-sendiri karena ini adalah orkestra bukan nyanyian solo.

 

Pembangunan gedung dan infrastruktur sudah harus langsung memikirkan return peluang pengembangan yang ada karena sebuah kota baru niscaya akan membutuhkan pihak lain, swasta khususnya, untuk berkontribusi dan mendapat keuntungan dari itu.

 

Belajar dari pembangunan Putra Jaya pengganti Kuala Lumpur di Malaysia, IKN juga akan butuh komitmen dan perhatian penuh kepala negara untuk secara langsung mendapat laporan secara rutin mingguan, dan menyelesaikan masalah segera begitu muncul.

 

Ini semua menunjukkan kompleksitas yang ada. Duet kepemimpinan baru ini, dengan pembagian tugas yang tampaknya juga akan lebih jelas antara Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN sejak awal, diharapkan bisa menerobos sekat-sekat kelembagaan yang nyata-nyata menghambat pelaksanaan pembangunan yang membutuhkan tanah dan ruang ini.

 

Untuk itu, salah satu kendaraan yang bisa digunakan adalah Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dibentuk sejak 2018. Ini adalah organisasi lintas sektor yang bersifat ad hoc atau sementara, yang bertugas memfasilitasi dan mendorong percepatan dan eksekusi program strategis nasional reforma agraria.

 

Ketua GTRA Pusat adalah Menteri ATR/BPN dan koordinator pelaksana ditunjuk Wakil Menteri ATR/BPN. Sementara Ketua GTRA Provinsi adalah gubernur dan koordinator pelaksananya adalah kepala kantor wilayah ATR/BPN, dan Ketua GTRA Kabupaten/Kota ex officio adalah bupati/wali kota dan koordinator pelaksananya adalah kepala kantor pertanahan setempat. Berbagai kelompok masyarakat juga menjadi anggota GTRA di daerah.

 

Satu tantangan besar GTRA sejak awal adalah butuhnya dukungan lintas sektor untuk pelaksanaannya. Setelah berproses dua tahun lebih berhasil dilaksanakan GTRA Summit, Pertemuan Puncak GTRA, di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada 8-10 Juni 2022, yang dibuka oleh Presiden dan ditutup Wakil Presiden, serta dihadiri oleh tujuh menteri.

 

Inilah barangkali kali pertama pemerintah pusat menunjukkan komitmen terbesarnya untuk sebuah acara reforma agraria. Pintu yang terbuka setelahnya untuk membahas apa pun isu kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang membutuhkan tanah dan ruang pun menjadi terbuka lebar.

 

Di sini juga Presiden Jokowi sekali lagi menyampaikan arahannya untuk diruntuhkannya tembok-tembok sektoral yang merugikan. ”Saya ingatkan lagi, saya tidak bisa menolerir kerugian negara, kerugian masyarakat yang disebabkan oleh ego sektoral dan ego lembaga. Itu sudah stop, cukup,” kata Presiden, yang langsung didampingi empat menterinya selama di Wakatobi.

 

Deklarasi Wakatobi yang dihasilkan kemudian berisi kesepakatan umum kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memangkas ego sektoral guna mendorong percepatan reforma agraria. Sementara rekomendasi Wakatobi memberikan arahan teknis kerja konkret yang bisa dilaksanakan selama setahun ke depan, untuk nanti dievaluasi pada GTRA Summit 2023 yang disepakati rencananya akan dilaksanakan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

 

Pada saat pertemuan puncak pun dilaksanakan sebuah kegiatan samping oleh kumpulan masyarakat sipil yang juga terlibat aktif di dalam menyusun deklarasi maupun rekomendasi. Ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi yang mendorong partisipasi publik guna mempercepat pelaksanaan reforma agraria.

 

Sebelum pertemuan puncak di Wakatobi, sudah dilaksanakan 26 kali kegiatan webinar dan diskusi terfokus, melibatkan lintas sektor kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat sipil.

 

Membahas aneka isu terkait penyelesaian tumpang tindih kebijakan pemanfaatan tanah dan ruang, penataan aset kepemilikan khususnya bagi masyarakat adat dan tradisional, serta penataan akses pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat.

 

Seluruh prosesnya pun terdokumentasi secara daring di situs publik yang dibentuk khusus untuk itu: https://gtrasummit.id/ sebagai bagian dari manajemen pengetahuan. Diharapkan masyarakat dan para pemerhati, akademisi dan sebagainya, bisa menjadikannya sebagai satu sumber untuk didiskusikan dan diperdebatkan, untuk terus mengawal pelaksanaan program mulia reforma agraria ini.

 

Warisan Jokowi

 

Barangkali sekarang saat paling tepat untuk mengevaluasi secara lebih menyeluruh seluruh kerja dan kinerja Kementerian ATR/BPN. Hambatan dan masalah yang sudah diketahui segera diatasi, residu-residu yang ada segera dituntaskan, risiko-risiko yang sudah diketahui dimitigasikan secara efektif.

 

Ini penting untuk kepastian hukum soal pertanahan, sekaligus menyiapkan soft landing bagi menteri dan presiden berikut, karena kerja-kerja terkait pertanahan dan ruang niscaya akan butuh estafet dan berkelanjutan lintas generasi.

 

Di Wakatobi, Presiden sudah menekankan pentingnya meruntuhkan ego sektoral antara kementerian/lembaga di dalam kerjanya. Deklarasi Wakatobi dan rekomendasi yang dihasilkan kemudian juga menekankan pada pentingnya membuat proses bisnis yang mulus antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

 

Dari kegeraman yang dapat kita rasakan dari sambutan Presiden Jokowi di Wakatobi, tampaknya kita memang sedang berpacu dengan waktu, dan ini semua tidak bisa ditunda-tunda lagi.

 

Dengan keunikan kerjanya sebagai sebagai kementerian teknis yang seperti jangkarnya pembangunan, karena semua pembangunan pasti butuh tanah dan ruang, Kementerian ATR/BPN bisa menjadi tenaga pendorong kerja-kerja lintas sektor ini, sebagaimana terbukti dari suksesnya pelaksanaan GTRA Summit di Wakatobi.

 

Kementerian ATR/BPN dan seluruh jajarannya di 34 provinsi dan lebih 470 kabupaten/kota di seluruh negeri bisa menjadi pihak yang menginisiasi, memfasilitasi, dan mewujudkan kerja-kerja lintas sektor ini, demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

Kalau kementerian/lembaga lain belum atau masih ragu keluar dari belenggu ego sektoral, Kementerian ATR/BPN yang harus memulainya, Ini akan jadi warisan pilot dan co-pilot ATR/BPN yang baru, dan niscaya akan diingat juga sebagai salah satu warisan Jokowi yang terpenting.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/12/reforma-agraria-warisan-jokowi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar