Keadilan Distributif
Bidang Pertanahan Sudjito
Atmoredjo : Guru Besar Ilmu Hukum UGM |
REPUBLIKA, 12 Juli 2022
Untuk menjamin keadilan
dalam pemilikan dan penguasaan tanah, penyusun UU Pokok Agraria (UU No 5
Tahun 1960), mempertimbangkan
sungguh-sungguh aspek keadilannya. Tersurat dalam
konsiderans, bagian ‘’menimbang’’ huruf a: bahwa di dalam Negara Republik
Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama
masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa mempunyai fungsi amat penting untuk membangun masyarakat yang
adil dan makmur”. Kehidupan masyarakat
adil dan makmur, jadi fokus. Pada bagian
‘’berpendapat’’, huruf c.: “bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan
penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan. Kebangsaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai azas kerokhanian Negara dan cita-cita
bangsa, seperti yang tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar”. Keadilan kepemilikan dan
penguasaan tanah, kini kian sulit dihadirkan. Indikatornya, antara lain,
peralihan tanah adat ke tangan investor, harga tanah semakin membubung tinggi
dan tak terjangkau daya beli rakyat. Selain itu, meningkatknya
jumlah petani tunakisma karena kepemilikan berada di tangan elite. Akankah
tren kehidupan timpang ini dibiarkan tanpa pengendalian dari pemerintah?
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kajian teoretis maupun empiris. Pada ranah teoretis, Aristoteles
mengonsepkan keadilan sebagai, “justice consists in treating equals equally
and unequalls unequally, in proportion to their inequality”, (untuk hal-hal
sama diperlakukan sama, dan yang tak sama juga diperlakukan tak sama, secara
proporsional). Salah satu cabang keadilan
itu keadilan distributif, yakni keadilan yang menuntut setiap pihak
mendapatkan yang menjadi haknya secara proporsional. Contoh, sikap dan
perlakuan negara terhadap warganya, seperti kepemilikan tanah, pemberian
fasilitas publik. Perihal konsep keadilan
distributif, UUPA telah mengaturnya. Asas nasionalisme pada Pasal 1: “(1)
Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”, Ayat (2), ”Seluruh bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional” Sedangkan ayat (3) menyebutkan, ”Hubungan antara bangsa
Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal
ini adalah hubungan yang bersifat abadi”. Ketiga ayat itu bermakna,
pertama, bangsa Indonesia religius. Secara tulus mengakui dan bertanggung jawab atas nikmat Allah SWT
berupa tanah, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam untuk dikuasai dan
dikelola demi keadilan dan kemakmuran seluruh komponen bangsa. Kedua, hubungan bangsa
Indonesia dengan ”bumi” Indonesia abadi. Keterputusan hubungan akibat
penjajahan oleh Belanda dan Jepang di masa lalu, menjadi pembelajaran. Tak
boleh ada penjajahan lain oleh siapapun di negeri ini. Pada ayat (3) sekaligus
ada peringatan dan amanah agar kedaulatan bangsa atas negerinya dijaga.
Jangan sampai ada sejengkal tanah pun lepas dan beralih dalam pemilikan
bangsa lain. Lebih konkret, upaya
keadilan distributif tertuang pada Pasal 9 (1) “Hanya warga negara Indonesia
dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa,
dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2.” Pada ayat (2) disebutkan,’’Tiap-tiap warga-negara
Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Kita prihatin, ketentuan
yuridis-normatif dan empiris masih jauh panggang dari api. Pertama,
pengaturan “bumi” Indonesia dalam peraturan pelaksanaan UUPA, (termasuk UU
Cipta Kerja) ternyata cenderung sekuler. Tunduk pada kekuatan ekonomi
kapitalistik. Pembuatan, pelaksanaan,
dan penegakan hukum pertanahan dan hasil-hasil pengelolaannya, didominasi
investor. Misalnya, sejak
ditetapkannya UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, pemerintah
memberikan kemudahan perizinan kepada investor, dengan proporsi kepemilikan
kapital di atas 75 persen, serta izin penggunaan tanah dari 25 tahun hingga
90 tahun. UUPM untuk mengakomodir
peraturan sebelumnya, seperti UU No 1 Tahun 1967 jo. UU No. 11 Tahun 1970
tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No. 6 Tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun
1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kebijakan pro investor,
kini terus berlangsung, bahkan semakin hegemonik. Walaupun pada satu sisi ada
bagusnya tetapi sisi negatifnya tergandaikannya tanah- tanah potensial kepada
investor asing dalam kurun waktu lama. Kedua, banyak tanah adat
dicaplok pemerintah dan investor melalui rekayasa perizinan. Padahal, secara eksplisit
telah diatur UUPA bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, ... segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama” (Pasal 5). Bila ditelusuri seksama,
masalah keadilan distributif bidang pertanahan di negeri ini tak kunjung
menyusut. Sanggupkah menteri ATR/kepala BPN mengatasi masalah rumit ini? Wallahu’alam. ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/29801/keadilan-distributif-bidang-pertanahan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar