Filantropi dan
Anatomi Kapitalisme Relijius Zulfan
Tadjoeddin : Associate Professor in Development
Studies, Western Sydney University |
REPUBLIKA, 12 Juli 2022
Kasus kapitalisasi
pengumpulan donasi oleh ACT terus ditelisik oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan) dan Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) Polri.
Praktik kapitalisasi donasi ala ACT adalah salah satu contoh dari kapitalisme
relijius. Kapitalisme adalah proses akumulasi dalam sistem pasar terbuka.
Kapitalisme menawarkan insentif, mewakili sifat alamiah manusia untuk
bertumbuh dan meraih kemakmuran, walau rawan eksploitasi. Secara sederhana,
kapitalisme relijius bisa diartikan sebagai praktik kapitalis dengan nuansa
kesalehan. Proses akumulasi dan eksploitasi berlangsung dengan
mengkapitalisasi aspek-aspek kesalehan tersebut. Ada dua model besar dari
kapitalisme relijius (KR). Mari kita lihat anatominya. Yang pertama dan
paling tinggi kadar KR-nya adalah “kapitalisasi donasi”. Di bawah itu, ada
model kedua, yaitu “kapitalisasi barang normal (produk/jasa) bernuansa
reliji". Kita mulai dari yang bawah
ini dulu. Segala sesuatu dengan embel-embel syariah masuk kategori ini.
Begitu pula dengan berbagai macam produk perjalanan spritual ke tanah suci
(holy land). Labelisasi halal-pun masuk kategori ini. Produk bernuansa reliji
ini tidaklah unik untuk satu agama tertentu, ia berlaku umum. Tak ada yang salah dengan
semua ini. Barang normal bernuansa reliji masih berupa produk. Ada wujud
nyatanya. Ada permintaan, ada penawaran. Ada rupa, ada harga. Pasar ini pun
menuntut inovasi dan kreatifitas, dan semua itu mendatangkan kompensasi
(reward). Begitulah pasar bekerja. Sayangnya, penggunaan nuansa
reliji tersebut terkadang kebablasan. Acapkali, atas nama kesalehan, konsumen
bersikap tidak kritis dan menjadi objek ekploitasi dan penipuan. Banyak
contoh kasusnya, terutama di masyarakat dengan tingkat relijiusitas yang
tinggi, seperti Indonesia. Sekadar menyebut beberapa
misal: ditilapnya uang peserta umrah oleh First Travel, penipuan perumahan
berkedok syariah yang sudah sering terjadi, dan berbagai kasus investasi
bodong berbalut agama. Ketika terjadi fraud (penipuan), jargon “ikhlas” dan
“toh sesama saudara se-iman” sering terdengar. Agama menjadi penenang
(comforter), seperti disinyalir Marx dua abad lalu. Sebaliknya, proses
kapitalisasi barang normal tanpa nuansa reliji terasa lebih jujur. Yang jelek
akan dihukum pasar. Yang baik dicari orang. Umpan balik (feedback) bekerja
cepat. Satu contoh, Apple sangat responsif atas feedback konsumen. Layanan
purna jualnya sangat memuaskan. Spesifikasi produk selalu diperbaharui
(upgrade). Konsumenpun rela merogoh kocek lebih dalam. Sekarang kita bahas model
pertama, “kapitalisasi DONASI”, yang lebih tinggi kadar KR-nya. Di sini, ada
dua kasta. Kasta pertama adalah donasi dalam model filantropi Barat. Donasi
bersumber dari hasil akumulasi para kapitalis sukses seperti John D.
Rockefeller dan Bill Gates. Orang-orang seperti ini
telah selesai dengan dirinya. Mereka telah sampai pada tahapan kehidupan
dengan keinginan berbagi untuk kemanusiaan dan dunia yang lebih baik.
Umumnya, orang-orang seperti ini tak begitu percaya dengan akhirat, tak
begitu mengimani hidup setelah mati. Filantropi Barat ini mulai
dari proses akumulasi yang super sukses, lalu beralih ke redistribusi.
Tentunya dengan consent (persetujuan) dari pemilik hasil akumuasi. Begitulah
instinct baik manusia. Ruhnya adalah nilai-nilai kemanusiaan. Organisasi filantropi
Barat bersifat sangat profesional. Menganut model yang berkelanjutan, baik
secara proses manajerial, maupun finansial. Dana abadi diinvestasikan secara
hati-hati (prudent) dan profesional, menghasilkan pendapatan (return) untuk
membiayai program-program amal kemanusiaan. Yang dibelanjakan adalah buahnya,
bukan batangnya. Rockefeller Foundation
yang didirikan oleh raja minyak John D. Rockefeller masih berkibar kokoh
setelah lebih satu abad berdiri. Saat ini, asetnya lebih dari 4 milyar dolar
AS, dengan pengeluaran donasi pertahunnya mencapai ratusan juta dolar AS.
Sejatinya, hal ini sangatlah relijius. Mengembalikan akumulasi kapitalisme
untuk tujuan-tujuan kemanusiaan (humanity). Bukankah, hakikat semua agama
akan bertemu pada dataran humanisme? Begitu filosofinya. Kasta kedua adalah
kapitalisasi donasi model ACT dan KITABISA yang mengakumulasi serta sekaligus
mengkapitalisasi semangat berderma dari orang-orang dengan tingkat
relijiusitas tinggi. Mereka mengumpulkan apa saja dari orang banyak, termasuk
receh. Persetujuan (consent) dari donatur yang banyak itu, cenderung
diabaikan. Agen kapitalis relijius
seperti ACT dan KITABISA menjual “pahala” kepada para donatur dengan
mengeksploitasi penderitaan dari orang-orang/kelompok calon penerima donasi.
“Pederitaan” dikomodifikasi, memanfaatkan teknik pemasaran, narasi
hiperbolis, dan dukungan teknologi informasi (IT). Jika “pahala” adalah
“produk”, maka donasi yang diberikan adalah “harga”nya. Sayangnya (atau
malah, “untungnya”), “pahala” tidaklah berwujud nyata. Ia gaib. Mekanisme
berkerjanya pasar barang gaib berbeda dengan pasar barang normal/nyata. Pahala tidak memerlukan
layanan purna jual, tidak bisa dihukum oleh feedback konsumen. Menjualnya pun
relatif mudah di tengah masyarakat yang relijius, suka menolong, dan
ekonominya tumbuh. Soal kedermawanan dan
relijiusitas, Indonesia adalah juaranya. Ini pasar empuk. Jika ada fraud,
agama menjadi comforter. Di sinilah timbulnya persoalan moral hazard. ACT dan KITABISA hidup
dari donasi orang banyak. Ini bertolak belakang dengan kasta pertama,
filantropi Barat, yang donasinya bersumber dari akumulasi para kapitalis
sukses dan baik. Secara substansi, model filantropi Barat terlihat lebih
mulia. ACT dan KITABISA
mengkapitalisasi, mengakumulasi, dan mengeksploitasi semangat berderma
masyarakat relijius: Kapitalisme relijius yang sangat telanjang. Sangat
telanjang, sehingga urusan kambing pun dimanipulasi, dari 12 ribu menjadi 2
ribu. ● Sumber :
https://www.republika.co.id/berita/rewctu282/filantropi-dan-anatomi-kapitalisme-relijius |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar