Tiada
Bulan Madu Presiden Baru
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Agustus 2014
SETELAH menempuh jalan
yang lumayan berliku, akhirnya Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK)
ditetapkan menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. Pasar sektor
finansial menyambut positif. Akhir pekan lalu, rupiah diperdagangkan dalam
kisaran 11.600-11.700 per dolar AS, sedangkan indeks harga saham gabungan
(IHSG) di kisaran 5.200. Penutupan bursa Jumat (22/8) sore pada level 5.198.
Itu memang bukan level
yang optimal karena kurs rupiah pernah mencapai 11.200 per dolar AS, pada
saat Jokowi secara resmi dimajukan menjadi calon presiden oleh Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada 14 Maret 2014. Namun, situasi saat
ini tidak bisa dibandingkan dengan Maret 2014. Pada saat sekarang, tidak
mudah mengungkit rupiah agar mengalami apresiasi. Penyebabnya berbagai
tekanan berat mulai mendera perekonomian Indonesia. Defisit transaksi
berjalan masih berada di level tinggi, minus US$25 miliar, sementara subsidi
energi mulai mendaki angka-angka yang menyebabkan pemerintahan Jokowi nanti
tidak akan sempat `berbulan madu'.
Pada saat ini praktis
tidak ada ekonom yang tidak setuju bahwa subsidi energi (BBM dan listrik)
yang saat ini berjumlah Rp 350 triliun merupakan beban fiskal yang tak
terkirakan jumlahnya. Angka itu ekuivalen dengan 19% terhadap APBN 2014 yang
jumlahnya Rp 1.877 triliun. Beratnya beban fiskal tersebut akan berlanjut
pada 2015, ketika subsidi energi meningkat menjadi Rp363 triliun, sedangkan
APBN mencapai Rp2.020 triliun.
Sederet angka itu
mengerucut ke kesimpulan bahwa ruang fiskal sangatlah sempit. Anggaran untuk
pembangunan infrastruktur pada 2015 hanyalah Rp206 triliun, atau lebih rendah
daripada subsidi BBM Rp291 triliun dan listrik Rp72 triliun. Angka subsidi
listrik menurun dari Rp103 triliun (2014) karena pemerintah dan Perusahaan
Listrik Negara (PLN) `berani' menaikkan tarif listrik secara berkala. Subsidi
BBM terus meningkat secara tajam karena kombinasi antara (1) harga BBM
bersubsidi belum dinaikkan dan (2) kenaikan konsumsi BBM akibat pertumbuhan
ekonomi dan kenaikan daya beli masyarakat kelompok menengah ke atas.
Sosialisasi dan pemahaman
Tidak ada pilihan
lain, sejak sekarang presiden terpilih Jokowi dan timnya harus berdiskusi
secara intensif, bagaimana menanggulangi tantangan fiskal yang berat di
ongkos subsidi BBM. Karena itu, pertanyaan besarnya ialah 1) kapan harga BBM
bersubsidi dinaikkan dan 2) berapa besarannya?
Sebelum kelak
memutuskan penaikan harga BBM bersubsidi, menurut saya, pemerintahan Jokowi
amat perlu melakukan serangkaian sosialisasi dan pemahaman, bagaimana posisi
Indonesia dalam peta energi dunia.Selama ini masyarakat, termasuk para
politikus, seperti tidak paham atau tidak mau tahu bahwa Indonesia kini
bukanlah produsen minyak yang besar. Dulu kita memang pernah memproduksi
hingga 1,6 juta barel per hari dan menjadi anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada
dasawarsa 1980-an dan 1990-an.Namun, saat ini tidak lagi. Itu semua tinggal
sejarah.
Kita kini boleh
dibilang merupakan negara yang agak inferior dalam produksi dan cadangan
minyak dunia. Produksi kita cuma 800 ribu barel per hari, sedangkan cadangan
minyak hanya 4 miliar barel.Sebagai perbandingan, cadangan minyak dunia
berada di Venezuela (300 miliar barel), Arab Saudi (275), Kanada (173), Iran
(155), Irak (141), Kuwait (104), Uni Emirat Arab (98), Rusia (80), Libia
(48), dan Nigeria (37). Kelak, Brasil diduga akan menjadi `juara' cadangan
minyak dunia dengan tingkat cadangan di atas 300 miliar barel.
Dengan kondisi
cadangan yang sedemikian tipis, BBM merupakan komoditas langka yang harus
dihemat. Cara yang paling memaksa orang untuk berhemat ialah dengan menaikkan
harga BBM bersubsidi, tidak ada cara lain. Terlebih lagi, BBM bersubsidi
justru dinikmati para pemilik mobil pribadi, yang kadang kala cc-nya besar
(di atas 1.800 cc, bahkan ada yang 4.000 cc).
Studi yang dilakukan
Javier Arze del Granado dkk untuk IMF (September 2010) menunjukkan subsidi
BBM yang diberlakukan di negara-negara berkembang justru 61% dinikmati 20%
penduduk berpendapatan tertinggi. Sebaliknya, 20% penduduk berpendapatan terendah
justru hanya menikmati manfaat 3%. Artinya, subsidi BBM mengalami misalokasi
ke penduduk kaya daripada miskin. Berarti terjadi salah sasaran besar-besaran.
Dalam kasus Indonesia,
angkanya tidak jauh berbeda. Diperkirakan, 70% subsidi BBM dinikmati 20%
penduduk berpendapatan tertinggi. Yang menarik, Malaysia yang pendapatan per
kapita penduduknya sudah mencapai US$11.500 masih memberi subsidi pada BBM.
Sementara itu, pendapatan per kapita Indonesia ialah US$3.500. Malaysia masih
melakukannya, saya duga, karena ada semacam sindrom sebagai produsen minyak,
yang merasa wajar jika memberi subsidi BBM kepada rakyatnya.
Misalokasi BBM
bersubsidi itu hanya bisa dihentikan dengan dua cara, yaitu 1) pemilik mobil
pribadi sama sekali tidak boleh mengonsumsi BBM bersubsidi ataukah 2) harga
BBM bersubsidi dinaikkan secara gradual.
Cara pertama
mengandung masalah, bahwa pemilik mobil pribadi tidak selamanya orang kelas
menengah ke atas. Ada orang yang memiliki mobil tua yang murah, ada juga yang
mobilnya hasil warisan atau pemberian. Cara kedua mengandung kelemahan, masih
akan terjadi misalokasi subsidi yang dinikmati orang kaya.
Pemerintahan baru
presiden terpilih Jokowi bisa memilih salah satu dari opsi tersebut, atau
malah mengombinasikannya. Jika penaikan harga BBM yang dipilih, hendaknya
dilakukan secara bertahap, untuk menuju ke level keekonomian Rp11.000 per
liter. Penaikan harga bisa dilakukan dari Rp6.500 ke sekitar Rp8.500 per
liter. Memang hal itu akan menimbulkan inflasi, yang saya perkirakan bisa mencapai
1%. Dengan asumsi inflasi 2014 sekitar 5%, kemungkinan inflasi 2015 mencapai
6% masih dalam kisaran yang terjangkau (affordable)
bagi pemerintahan baru.
Pilihan sulit
Cara yang cukup
ekstrem ialah menghentikan penjualan BBM bersubsidi kepada pemilik mobil
pribadi. Hal itu akan memenuhi asas keadilan (fairness), yang memaksa orang-orang kelas menengah ke atas
(pemilik mobil) mengonsumsi BBM nonsubsidi.Memang akan ada sebagian pemilik
mobil yang menjadi korban kebijakan itu, yakni pemilik mobil tua dan warisan.
Namun, di sisi lain juga baiknya mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan
mobilmobil tua yang biasanya boros energi. Silakan mobil-mobil tua tersebut
beristirahat di garasi masing-masing, dan bisa juga sesekali digunakan dalam
ke giatan tertentu, misalnya karnaval dan ekshibisi.
Pilihan-pilihan
kebijakan tersebut semuanya sulit.Tidak ada yang mudah. Itulah sebabnya saya
menduga presiden terpilih Jokowi dan wakil presiden Jusuf Kalla tidak akan
pernah sempat menikmati `bulan madu'. Itu persis dialami Presiden Barack
Obama ketika menjadi presiden saat perekonomian AS terkena krisis subprime
mortgage pada 2008-2009. Presiden AS Franklin Delano Roosevelt juga menjabat
ketika depresi besar melanda perekonomian dunia, pada 1933.Roosevelt kemudian
memperkenalkan program New Deal dengan pembangunan infrastruktur
besar-besaran, demikian pula yang dilakukan Obama dengan program New New
Deal.
Lalu, kapan momentum
yang tepat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi? Ada tiga kemungkinan, yaitu
1) pada September 2014 di akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono; 2) pada November 2014 pada era pemerintahan presiden terpilih
Jokowi, dengan asumsi pada November laju inflasi sedang landai; ataukah 3)
pada Februari/Maret 2015, dengan asumsi inflasi sedang rendah. Opsi pertama
dan kedua akan menyebabkan inflasi 2014 mencapai 6%, sedangkan opsi ketiga
akan menyebabkan inflasi 2014 hanya 5%, tetapi inflasi 2015 akan menjadi 6%.
Semua pilihan sulit,
bergantung pada bagaimana dalam beberapa hari ke depan masalah itu
didiskusikan antara Presiden Yudhoyono dan presiden terpilih Jokowi. Semula
saya skeptis terhadap opsi pertama, dengan asumsi Presiden Yudhoyono tentunya
ingin mengakhiri periode 10 tahun kepemimpinannya dengan mulus, tanpa
gejolak, dengan inflasi rendah (5%) kepada penerusnya, Jokowi.
Namun, belakangan saya
mencium gelagat adanya opsi lain. Bisa saja Presiden Yudhoyono tidak ingin
disalahkan karena `meninggalkan bom waktu' kepada penerusnya. Bom waktu
tersebut ialah struktur fiskal yang compang-camping:
subsidi BBM terlalu besar, jauh melampaui kemampuan membangun infrastruktur.
Itu pasti bukan akhir periode pemerintahan yang indah bagi Presiden
Yudhoyono.
Karena itu, kita jadi
sangat penasaran untuk menantikan, kesepakatan apakah yang bakal dicapai
Yudhoyono dan Jokowi? Bisakah keduanya memutuskan hal yang sangat krusial dan
sensitif, yakni mencicil penaikan harga BBM bersubsidi sebelum 20 Oktober
2014? Rasanya tidak ada yang mustahil. Bisa jadi Presiden dan presiden
terpilih akan mengumumkannya bersama-sama keputusan besar itu. Kalau demikian
halnya, itu akan menjadi peristiwa unik yang fantastis. Kita tunggu hasil pertemuan
mereka berdua pada pekan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar