ISIS,
Intelijen dan Perang antar Jenderal
Abu Nisa ; Pemerhati Kontra Intelijen
|
HIDAYATULLAH.COM,
5 Agustus 2014
“Pemerintah RI memanfaatkannya untuk kepentingan proyek war on terrorism
melalui BNPT dengan landasan filosofis yang sama sebagaimana yang dianut
Barat”
SUNGGUH luar biasa opini tentang menyoroti
DAIS (Daulah Islamiyah Iraq wa Syam)
atau ISIS/ISIL. Entah apa yang
menyebabkan kasus ISIS ini memunculkan tanggapan statemen dari berbagai
pihak.
Mulai dari SBY, Panglima TNI, Kapolri, Kemenko
Polhukam, Kemenkum HAM, Kemenkominfo, Kemenag, BNPT, Dirjen Pemasyarakatan, Deputi Bidang
Kerjasama Internasional, tokoh masyarakat, akademisi, pengamat, dan
lain-lain. Hingga SBY mengadakan sidang kabinet dengan agenda secara khusus
menyikapi masifnya dukungan atas ISIS di Indonesia.
Dan sidang kabinet itu menghasilkan keputusan
politik yang disampaikan melalui Menko Polhukam bahwa ideologi ISIS
dinyatakan dilarang.
Tidak bisa dipungkiri, opini tentang ISIS
seolah mengalihkan sementara opini tentang kebiadaban Israel di Gaza
Palestina dan laporan dugaan manipulasi data secara sistematis atas hasil
Pilpres oleh kubu Prabowo-Hatta.
Opini ISIS yang tiba-tiba ditanggapi berbagai
kalangan dalam kurun beberapa hari ini
setidaknya menyisakan pertanyaan besar;
Pertama, ada momentum besar yang memicu
kriminalisasi terhadap mereka yang mendukung ISIS justru terjadi di dalam
penjara.
Adalah Ustadz Abubakar Ba’asyir yang selamanya
ini didorong sebagai ikon ‘teroris’ di Indonesia melakukan baiat atas ISIS di
penjara pasir putih Nusakambangan. Belakangan tiba-tiba semuanya merasa
kebakaran jenggot. Statement Amir Syamsuddin sebagai Menkum HAM untuk memecat
kepala penjara. Termasuk pengakuan Dirjen Kemasyarakatan bahwa telah terjadi
pembaiatan Ustadz ABB konon di bawah tekanan di dalam penjara. Tentu ini
sesuatu yang naif.
Pertanyaan besarnya, kenapa peristiwa
pembaiatan itu tetap berlangsung dan berjalan lancar? Dan seolah-olah
peristiwa itu menjadi momentum legitimasi untuk membenarkan keberadaan
dukungan atas ISIS berjalan masif di negeri ini.
Termasuk juga peristiwa pembaiatan sejumlah
aktivis islam dengan acara yang khas di sebuah hotel kawasan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta serta tempat yang lain seperti di Bima, Solo, Makassar.
Serta beberapa rencana baiat di beberapa tempat yang lain di Malang dan
Sidoarjo.
Semuanya menunjukkan bahwa terlalu lugu untuk
mengatakan bahwa tidak mungkin intelijen Indonesia tidak mengetahui peristiwa
ini.
Anehnya belakangan fenomena dukungan atas ISIS
itu justru diblow-up dengan skala besar oleh berbagai media seperti layaknya
infotainment.
Hari Rabu, 6 Agustus 2014 ini di Makassar,
tepatnya di Studio Mini Harian Fajar, Graha Pena Fajar lantai 4, bahkan ada
acara terkait masalah ini dengan menghadirkan pembicara antara lain: Ansyaad
Mbai (Ketua BNPT), Prof Dr H Abd Rahim Yunus, MA, (MUI dan FKUB Sulsel), Prof
Dr H M Arifin Hamid, SH, MH (FKPT BNPT Sulsel), dan Ir Moh Kemal Shodiq
(Ketua DPD Hizbut Tahrir Indonesia Sulsel) dengan moderator Drs H Waspada
Santing, M.Sos.I, M.HI dengan tema : “Double Warning Antisipasi ISIS”, jam
13.00-15.00 WITA.
Padahal deklarasi dukungannya telah dilakukan
sejak tanggal 29 Juni atau sebulan yang lalu.
Kedua, jika benar yang disampaikan oleh
Snowden seorang mantan pegawai di National Inteligent AS yang menyatakan
bahwa AS dan Inggris ada di belakang ISIS, maka hal ini membuktikan bahwa
target opini internasional terhadap kemunculan ISIS adalah untuk menciptakan
black-campaign terhadap para mujahidin sekaligus terhadap syariat dan
khilafah yang diperjuangkannya.
Dengan kata lain, inilah strategi radikalisasi
terhadap kelompok Islam sekaligus deradikalisasi. Setelah diradikalisasi maka
kemudian distigmatisasi. Sedangkan deradikalisasinya dalam bentuk upaya adu
domba dan islamophobia yang berujung pada krisis keyakinan kaum Muslimin
terhadap ajarannya sendiri terutama tentang jihad.
Dalam konteks Indonesia, maka pemerintah RI
memanfaatkannya untuk kepentingan proyek war on terrorism melalui BNPT dengan
landasan filosofis yang sama sebagaimana yang dianut Barat.
Lebih aneh lagi, mengapa kasus ini diblow-up
saat penetapan presiden wakil presiden beserta kabinet yang disusun pasca
keputusan gugatan hasil Pilpres ke MK oleh kubu Prabowo-Hatta? Ada apa
gerangan?
Ketiga, atribut-atribut ISIS tidak luput
dianggap sebagai barang bukti kasus terorisme.
Padahal, atribut bendera dengan kalimat ‘Laa
Ilaha Illallah Muhammad Rasullullah’ adalah atribut milik semua kaum Muslim,
yang siapa saja berhak menggunakan dan mengklaim, tak hanya ISIS yang hanya
segelintir.
Sejak blow-up mendadak ISIS, rupanya ada
rencana untuk membreidel sekaligus melarang keberadaan bendera berkalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ seolah itu sebagai representasi ISIS.
Momentum ini bisa ditengarai sebagai titik
tolak ‘kriminalisasi’ terhadap simbol-simbol perjuangan pada
kelompok-kelompok Islam secara keseluruhan.
Keempat, setelah gagal menjerat
kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal terutama yang memilih menggunakan
jalan jihad melalui pintu legislasi secara langsung misalnya UU Ormas,
rupanya dukungan atas ISIS adalah momentum untuk menjerat, membubarkan,
mengkriminalisasi sekaligus mem- ‘black campaign’-nya.
Kelima, momentum dukungan atas ISIS menjadi
peristiwa yang memperkuat legal aspect untuk apa yang dianggap sebagai tindak
terorisme.
Implementasi UU Kewarganegaraan No 12 tahun
2006 dan wacana amandemen/revisi terhadap UU Terorisme yang disampaikan oleh
Deputi Kerjasama Internasional Harry Purwanto tidak saja mengandung substansi
penindakan hukum atas aksi teror fisik namun juga pada aksi teror lisan.
Dengan dalih agar mencakup secara menyeluruh
mengenai aktivitas terorisme. Diantaranya tindakan menyebar kebencian (hate speech) termasuk mengikuti
pelatihan militer di Indonesia maupun
luar negeri. Atau menjadikan digital
evidence sebagai barang bukti, karena selama ini dianggap baru menjadi
petunjuk untuk pembuktian. Nampaknya UU Terorisme No 15/1973 dikehendaki
bukan saja mampu menjerat tindakan teror fisik namun juga mampu menindak apa
yang dianggap sebagai bentuk teror lisan. Kita membayangkan betapa banyak
klaim penindakan hukum atas syiar Islam karena termasuk dalam kategori
menyebar kebencian (hate speech)
jika amandemen UU Terorisme ini berhasil dilakukan. Bahkan bisa juga dijerat
dengan UU Intelijen dan UU Darurat berkaitan dengan ancaman terhadap keamanan
nasional.
Keenam, momentum ISIS mengaburkan Perang antar
Jenderal
Beberapa pertanyaan besar seputar fenomena
opini masif dukungan atas ISIS menyiratkan sebuah ganjalan pertanyaan lebih
besar lagi ada apa sebenarnya di balik fenomena opini dukungan atas ISIS?
Di tengah mulai tergambarnya adanya indikasi
rekayasa permainan manipulasi suara Pilpres secara sistemik, tak bisa ditutup
di balik ini antara ‘peperangan konflik kepentingan’antar jendral dan antar
elit dengan melibatkan tim rekayasa politik ‘bahkan tim cyber’ dalam
pelaksanaan Pilpres yang dituding penuh kecurangan.
Tak bisa ditutupi, sesungguhnya perang
kepentingan Pilpres tahun 2014 adalah ’perang intelijen’ dan ‘perang antar
jenderal’ ambisius yang ingin berpolitik. Tak perlu disebut satu-persatu
mereka. Tinggal baca kliping koran, akan nampak siapa lawan siapa, antara
Timses Capres Jokowi dan Prabowo. Ujungnya adalah para ‘jenderal-jenderal
ambisius’.
Sesungguhnya ISIS sendiri tak mungkin begitu
berpengaruh besar bagi umat Islam di Indonesia. Mengingat mayoritas
ormas-ormas Islam di Indonesia memiliki akar kuat yang tak mudah goyah. Hanya
saja, mencari sasaran korban pada ISIS adalah cara mudah mengkaburkan
pandangan masyarakat, atas keterlibatan dan intrik-intrik politik yang
semrawut di Indonesia.
Akhirnya fenomena opini ISIS yang ujungnya
bisa dibaca pada ‘kriminalisasi’ segala hal berbau syariah, tak bisa serta-merta
dibaca benar-benar murni sebagai peristiwa alamiah semata. Terlalu sederhana jika kasus ini dilepas begitu
saja dari peran intelijen yang dalam
banyak kasus dalam sejarah di negeri ini kaya dengan intrik politik dan
rekayasa dalam usaha-usaha melemahkan gerakan Islam. Wallahu a’lam bis showab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar