Lubang
Besar Muhammadiyah
Nasrullah ; Dosen Ilmu
Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber : REPUBLIKA,
23 Juni 2012
Ada yang menarik dari kritik mantan
ketua umum PP Muhammadiyah Amien Rais tentang penguasaan media massa oleh umat
Islam. Dalam dialog tokoh pada Tanwir Muhammadiyah di Bandung, Kamis (21/6),
Amien menyinyalir kesadaran umat Islam, khususnya Muhammadiyah, dalam mengelola
media massa masih rendah. Umat Islam belum mengerti pentingnya media sebagai pilar keempat demokrasi. Secara khusus,
Amien meng ajak warga Muhammadiyah ikut memiliki perasaan berdosa (guilty feeling) bahwa terdapat lubang
besar di tubuh Muhammadiyah, yaitu media
massa (Republika, 22/6).
Sebagai sebuah manifestasi kegelisahan,
pernyataan tokoh reformasi itu bisa dipahami dari tiga sudut pandang, yakni perjalanan
sejarah Muhammadiyah, realitas konglomerasi media saat ini, dan pengalaman
sosio-politik Amien dengan keterlibatannya dalam media.
Pertama, sejak didirikan seabad
lalu, KH Ahmad Dahlan menggerakkan Muhammadiyah dengan menaruh perhatian besar
pada bidang pustaka. Bidang ini menangani publisitas dakwah, pemikiran, dan
gerakan yang dipahami serta dilakukan oleh Muhammadiyah melalui media selebaran
maupun majalah. Majalah Suara Muhammadiyah pun lahir pada awal 1920-an untuk
mewujudkan publisitas dakwah tersebut. Dalam bahasa kekinian, bidang pustaka
itu bisa disebut media massa.
Bidang pustaka merupakan salah satu
dari tiga bidang yang ditangani Muhammadiyah pada masa-masa awal selain bidang tabligh (dakwah), sekolah (pendidikan),
dan pertolongan kesengsaraan oemat
(PKO, bidang kesehatan, dan kesejahteraan sosial). Namun, di tengah perjalanan
sejarahnya, sementara bidang-bidang lain berjalan relatif sukses, tidak
demikian di bidang pustaka.
Bidang tabligh relatif berkembang. Demikian
pula pendidikan. Sebaliknya, di bidang pustaka, Suara Muhammadiyah masih
relatif menjadi pemain yang kesepian, kecuali ditemani media website resmi
Muhammadiyah dan majalah-majalah yang diterbitkan oleh majelis maupun pimpinan
wilayah dan daerah Muhammadiyah di berbagai provinsi.
Dari sisi kualitas, konten media-media
tersebut juga masih belum mampu menjadi sumber utama informasi dan pencerahan
bagi warga Muhammadiyah sendiri. Loyalitas pembaca di kalangan Muhammadiyah
saja masih minim, apa lagi berharap dari pembaca di luar Muhammadiyah.
Akibatnya, dakwah melalui media milik Muhammadiyah bukan hanya sulit menjangkau
umat Islam secara luas, melainkan juga sulit diharapkan pengaruhnya secara
signifikan.
Kedua, sebenarnya kondisi di atas
bukan saja sebagai kelemahan Muhammadiyah mengelola media massa. Siapa pun,
ormas apa pun, saat ini akan kesulitan berhadapan dengan realitas konglomerasi
media dan serbuan media asing yang membabi buta. Publik disuguhi pilihan media
yang teramat banyak, tetapi sesungguhnya pemiliknya itu-itu juga. Data
penelitian Merlina Lym (2011) menyebutkan, saat ini pemilik media terbesar
Indonesia ada di tangan MNC Group (Hary Tanoesoedibjo), Kompas Gramedia Group
(Jacob Oetama), Jawa Pos Group (Dahlan Iskan), Media Group (Surya Paloh), Viva
Group (Bakrie & Brothers), Trans Corp (Chairul Tanjung), Emtek Group (Eddy
Kusnadi Sariatmadja), dan Mahaka Group (Erik Tohir). Tak hanya bermain di media
cetak, sebagian besar mereka juga mengandalkan media televisi, online media, dan radio.
Baik UU Pers No 44/1999 maupun UU
Penyiaran No 32/2002, memiliki semangat demokratisasi media, namun alih-alih
semangat diversity of ownership dan diversity of content yang dijalankan,
justru konsentrasi pemilik dan keseragaman isi media yang terjadi. Lebih miris
lagi ketika kita saksikan secara kasat mata para pemilik media tersebut
bermain-main di ranah politik praktis maka lengkaplah sudah carut sengkarut
sistem media kita ini untuk diuraikan.
Ketiga, pengalaman Amien mendorong reformasi
di negeri ini menyadarkan kepada kita betapa besarnya kekuatan media massa jika diberi ruang yang semestinya
sebagai pilar keempat demokrasi. Reformasi telah mengubah sistem media kita
menjadi sangat liberal sehingga bisa memobilisasi kekuatan massa tanpa menemuhi
kendala kontrol dari penguasa.
Maka, melihat tiga alasan di atas,
kita tak lagi melihat bahwa media merupakan “lubang besar” Muhammadiyah dalam
pengertian yang selalu negatif. Lubang besar itu bukan hanya sebagai sebuah
kesalahan yang tak bisa diperbaiki, melainkan peluang yang di dalamnya bisa
kita tumbuhkan harapan besar.
Pertama, Muhammadiyah memiliki
sejarah merintis media massa dan pernah cukup berhasil pada masanya. Sejarah
pernah mencatat, tulisan tokoh Muhammadiyah Daerah Malang, KH Bedjo Dermoleksono,
tentang “Islam Sontoloyo” sempat
menjadi kritik yang efektif terhadap keberagamaan Presiden Soekarno. Selemah
apapun, media yang di miliki Muhammadiyah tetap penting sebagai arsip
dokumentasi sejarah. Kelak, dari media-media itulah anak cucu kita mengambil
pelajaran.
Kedua, di tengah-tengah derasnya
arus media asing dan konglomerasi media nasional, masih ada harapan mengambil posisi
media komunitas. Jika demokratisasi media nanti bisa ditertibkan maka sebagai
ormas, Muhammadiyah bisa menambah lagi media-media yang digerakkan dan berbasis
pada sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan rumah sakit-rumah sakit. Namun,
pilihan strategis harus tetap kita lakukan sebaik mungkin dengan memilih media
apa yang paling efektif. Di sinilah pentingnya membangun media literacy (melek media) di kalangan warga Muhammadiyah.
Ketiga, selain bermain pada media
komunitas, Muhammadiyah harus bisa menyusup
ke dalam media-media mainstream.
Pamela Shoemaker dan Stephen Reese (1998) menyebutkan, individu di dalam media
merupakan lapisan paling dekat dengan teks media sedangkan level ideologi
merupakan lapisan paling luar. Artinya, individu yang memiliki pandangan dan ideologi
tertentu akan sangat menentukan isi media.
Pada titik inilah, dorongan
Amien agar Muhammadiyah memperbanyak wartawan yang diberi beasiswa ada
relevansinya. Muhammadiyah harus menyiapkan individu-individu andal yang
berkomitmen tinggi pada Islam, berkemajuan menjadi bagian yang berpengaruh pada
teks media. Di sisi lain, sekolah maupun kampus, serta pimpinan Muhammadiyah di
semua lini, harus memiliki hubungan sinergis dengan media massa agar memperoleh
porsi yang proporsional dalam memublikasikan karya-karya Muhammadiyah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar