Penggemukan
Jumlah Pejabat
Ahmad
Yani ; Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
Sumber :
SINDO, 28 Juni 2012
Sudah
terbukti bahwa organisasi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
yang demikian gemuk, tidak efektif merespons setiap persoalan yang dihadapi
rakyat. Maka
demi efisiensi dan efektivitas, Presiden sebaiknya mengeliminasi jabatan wakil
menteri. Sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) mengoreksi status legal wakil menteri
(wamen), Kabinet Indonesia Bersatu II beranggotakan 34 menteri, dibantu 20
wamen. Masih ada sejumlah badan ad hoc sebagai alat kelengkapan presiden,
seperti Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Komite Ekonomi
Nasional,hingga UKP4. Bukan mengada-ada kalau publik beranggapan organisasi
pemerintahan sekarang ini sangat gemuk.
Karena organisasi pemerintahan yang gemuk itu didukung oleh besaran APBN yang sudah di atas Rp1.000 triliun per tahunnya,kapasitas pemerintahan SBY mestinya menjadi sangat besar, dan bisa sigap merespons serta menyelesaikan setiap persoalan.Pertanyaannya, apakah pemerintahan dengan kapasitas sebesar itu dalam praktiknya bisa menjalankan semua fungsi dan kewajibannya dengan efektif? Jangan gunakan parameter yang rumit-rumit untuk mengukur efektivitas pemerintahan sekarang.
Baru-baru ini, di Kalimantan dan beberapa daerah lain, terjadi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) sehingga warga harus antre panjang untuk mendapat satu-dua liter bensin. Lalu, saat para ahli di perkotaan memperdebatkan putusan MK atas posisi wakil menteri, warga di sejumlah daerah tidak bisa memasak karena terjadi kelangkaan bahan bakar gas elpiji 3 kilogram. Banyak warga desa membuang tabung gas dan beralih ke kayu bakar.
Seorang menteri membela diri dengan mengatakan kelangkaan gas elpiji terjadi karena pengoplosan. Itu contoh kasus terkini yang menggambarkan rendahnya efektivitas pemerintahan sekarang. Untuk contoh kasus lama, acuannya cukup pada rangkaian konflik yang bermuara pada persoalan agraria. Per 2011 lalu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat 14.337 kasus sengketa agraria yang tersebar di banyak daerah. Data ini mengindikasikan rapuhnya stabilitas di sejumlah daerah. Lihat saja,s ementara situasi di Mesuji belum kondusif, pekerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II di Deli Serdang bentrok dengan warga di sekitar areal perkebunan, beberapa waktu lalu.
Ada banyak contoh kasus lain yang bisa dikedepankan untuk memberi gambaran tentang rendahnya efektivitas pemerintahan SBY. Ketika terjadi kelangkaan bensin premium di sejumlah daerah beberapa waktu lalu, Presiden SBY sendiri sempat mengemukakan kekecewaan kepada para pembantunya. Kalau sudah begitu, tentu saja rakyat mempertanyakan apa saja yang dikerjakan oleh organisasi pemerintahan yang begitu gemuk sekarang ini?
Kalau ada klaim bahwa pemerintahan sekarang terus bekerja melayani rakyat, mengapa juga pemerintah selalu lamban merespons sejumlah persoalan; bahkan ada masalah yang tak pernah bisa diselesaikan seperti kasus agraria? Atau, mengapa kelangkaan BBM, gas elpiji, dan pupuk selalu berulang? Kesimpulannya, tidak ada gunanya bagi Presiden melakukan penggemukan jumlah pejabat dalam organisasi pemerintahannya. Wakil menteri dan kepala/ketua ini-itu boleh saja disebut bukan anggota kabinet.
Tetapi per struktur organisasi kementerian dan badan-badan ad hoc lainnya, mereka di peringkat pejabat tinggi negara dengan segala konsekuensi logisnya; dari gaji, tunjangan jabatan,hingga fasilitas pejabat tinggi negara. Bukan hanya konsekuensi anggaran,kehadiran wamen disetiap kementerian pun pasti berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti mengubah pola koordinasi hingga pendelegasian wewenang. Per teori, mengubah semua itu mudah. Tetapi dalam praktiknya, amatlah sulit karena ada faktor psikologis di dalamnya yang harus diperhitungkan.
Dipaksakan
Mengangkat wamen adalah hak eksklusif presiden, karena itu jabatan wamen memang konstitusional. Namun kalau kabinet sekarang harus diperkuat sampai 20 wamen, rasanya terlalu mengada-ada. Sejak jabatan 20 wamen itu diumumkan, sudah muncul keyakinan di ruang publik bahwa jumlah tersebut terlalu dipaksakan. Apalagi, masyarakat sama sekali tidak melihat urgensinya. Salah satu alasan pengangkatan 20 wamen adalah beban pekerjaan yang meningkat pada sejumlah kementerian.
Alasan ini tidak masuk akal, bahkan kontradiktif. Pasalnya, beban kerja dan tanggung jawab kementerian (pemerintah pusat) pada dasarnya sudah banyak berkurang, karena terjadinya pelimpahan wewenang ke daerah dalam konteks otonomi daerah. Bahkan, sebagian beban pembangunan infrastruktur di daerah pun sudah dilimpahkan dan dibebankan ke pundak pemerintah daerah. Sejauh yang dipahami masyarakat, kementerian atau pemerintah pusat kini hanya merumuskan kebijakan.
Dan, setiap daerah hanya diwajibkan menyelaraskan kebijakannya dengan kebijakan pusat. Kalau hanya begitu kerja pemerintah pusat, organisasi pemerintahan yang gemuk di Jakarta menjadi tidak relevan lagi. Kehadiran wamen pada setiap kementerian pun pasti mengubah suasana dan emosi di jajaran internal kementerian. Selama ini, publik tahu bahwa seorang menteri dibantu seorang sekretaris jenderal (sekjen), beberapa direktur jenderal (dirjen), plus seorang inspektur jenderal (irjen). Pembagian atau pendelegasian tugasnya pun sudah sangat jelas.
Sudah terbentuk persepsi bahwa orang “nomor dua” pada setiap kementerian adalah sekjen dengan kewenangan atau uraian tugas yang sangat jelas. Dan, ini sudah menjadi tradisi PNS pada semua kementerian. Kalau kemudian hadir seorang wamen, siapa yang berhak menyandang orang “nomor dua” di kementerian? Apakah kehadiran wamen juga berkonsekuensi pada berkurangnya wewenang sekjen? Merealisasikan pembagian wewenang itu tidak semudah dibicarakan. Dalam praktiknya amat sulit karena berbagai alasan; dari loyalitas kepada atasan lama hingga kecemburuan karena hadirnya orang asing yang tiba-tiba menduduki jabatan tinggi pada organisasi atau unit kerja mereka.
Kecenderungan seperti ini lazim terjadi, termasuk di sektor swasta. Karena itu, kendati pengangkatan wamen sebagai hak konstitusional presiden, penggunaan hak yang satu ini sebaiknya jangan asal-asalan atau dipaksakan. Sebagai kepala eksekutif, presiden sebaiknya lebih memprioritaskan prinsip efisiensi dan efektivitas. Prinsip ini mengharuskan semua kepala eksekutif untuk membentuk organisasi manajemen sesuai kebutuhan. Setelah dikeluarkannya Perpres No 60 Tahun 2012 yang mempertahankan semua wamen, organisasi pemerintahan sekarang tampak sangat gemuk.
Kapasitasnya memang sangat besar, tetapi sudah terbukti bahwa sebagian besar kapasitas pemerintahan Presiden SBY di tingkat pusat tidak terpakai alias idle. Sebanyak 20 wamen adalah jumlah yang sangat besar untuk 34 menteri di kabinet. Mengada-ada dan terlalu dipaksakan. ●
Karena organisasi pemerintahan yang gemuk itu didukung oleh besaran APBN yang sudah di atas Rp1.000 triliun per tahunnya,kapasitas pemerintahan SBY mestinya menjadi sangat besar, dan bisa sigap merespons serta menyelesaikan setiap persoalan.Pertanyaannya, apakah pemerintahan dengan kapasitas sebesar itu dalam praktiknya bisa menjalankan semua fungsi dan kewajibannya dengan efektif? Jangan gunakan parameter yang rumit-rumit untuk mengukur efektivitas pemerintahan sekarang.
Baru-baru ini, di Kalimantan dan beberapa daerah lain, terjadi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) sehingga warga harus antre panjang untuk mendapat satu-dua liter bensin. Lalu, saat para ahli di perkotaan memperdebatkan putusan MK atas posisi wakil menteri, warga di sejumlah daerah tidak bisa memasak karena terjadi kelangkaan bahan bakar gas elpiji 3 kilogram. Banyak warga desa membuang tabung gas dan beralih ke kayu bakar.
Seorang menteri membela diri dengan mengatakan kelangkaan gas elpiji terjadi karena pengoplosan. Itu contoh kasus terkini yang menggambarkan rendahnya efektivitas pemerintahan sekarang. Untuk contoh kasus lama, acuannya cukup pada rangkaian konflik yang bermuara pada persoalan agraria. Per 2011 lalu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat 14.337 kasus sengketa agraria yang tersebar di banyak daerah. Data ini mengindikasikan rapuhnya stabilitas di sejumlah daerah. Lihat saja,s ementara situasi di Mesuji belum kondusif, pekerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II di Deli Serdang bentrok dengan warga di sekitar areal perkebunan, beberapa waktu lalu.
Ada banyak contoh kasus lain yang bisa dikedepankan untuk memberi gambaran tentang rendahnya efektivitas pemerintahan SBY. Ketika terjadi kelangkaan bensin premium di sejumlah daerah beberapa waktu lalu, Presiden SBY sendiri sempat mengemukakan kekecewaan kepada para pembantunya. Kalau sudah begitu, tentu saja rakyat mempertanyakan apa saja yang dikerjakan oleh organisasi pemerintahan yang begitu gemuk sekarang ini?
Kalau ada klaim bahwa pemerintahan sekarang terus bekerja melayani rakyat, mengapa juga pemerintah selalu lamban merespons sejumlah persoalan; bahkan ada masalah yang tak pernah bisa diselesaikan seperti kasus agraria? Atau, mengapa kelangkaan BBM, gas elpiji, dan pupuk selalu berulang? Kesimpulannya, tidak ada gunanya bagi Presiden melakukan penggemukan jumlah pejabat dalam organisasi pemerintahannya. Wakil menteri dan kepala/ketua ini-itu boleh saja disebut bukan anggota kabinet.
Tetapi per struktur organisasi kementerian dan badan-badan ad hoc lainnya, mereka di peringkat pejabat tinggi negara dengan segala konsekuensi logisnya; dari gaji, tunjangan jabatan,hingga fasilitas pejabat tinggi negara. Bukan hanya konsekuensi anggaran,kehadiran wamen disetiap kementerian pun pasti berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti mengubah pola koordinasi hingga pendelegasian wewenang. Per teori, mengubah semua itu mudah. Tetapi dalam praktiknya, amatlah sulit karena ada faktor psikologis di dalamnya yang harus diperhitungkan.
Dipaksakan
Mengangkat wamen adalah hak eksklusif presiden, karena itu jabatan wamen memang konstitusional. Namun kalau kabinet sekarang harus diperkuat sampai 20 wamen, rasanya terlalu mengada-ada. Sejak jabatan 20 wamen itu diumumkan, sudah muncul keyakinan di ruang publik bahwa jumlah tersebut terlalu dipaksakan. Apalagi, masyarakat sama sekali tidak melihat urgensinya. Salah satu alasan pengangkatan 20 wamen adalah beban pekerjaan yang meningkat pada sejumlah kementerian.
Alasan ini tidak masuk akal, bahkan kontradiktif. Pasalnya, beban kerja dan tanggung jawab kementerian (pemerintah pusat) pada dasarnya sudah banyak berkurang, karena terjadinya pelimpahan wewenang ke daerah dalam konteks otonomi daerah. Bahkan, sebagian beban pembangunan infrastruktur di daerah pun sudah dilimpahkan dan dibebankan ke pundak pemerintah daerah. Sejauh yang dipahami masyarakat, kementerian atau pemerintah pusat kini hanya merumuskan kebijakan.
Dan, setiap daerah hanya diwajibkan menyelaraskan kebijakannya dengan kebijakan pusat. Kalau hanya begitu kerja pemerintah pusat, organisasi pemerintahan yang gemuk di Jakarta menjadi tidak relevan lagi. Kehadiran wamen pada setiap kementerian pun pasti mengubah suasana dan emosi di jajaran internal kementerian. Selama ini, publik tahu bahwa seorang menteri dibantu seorang sekretaris jenderal (sekjen), beberapa direktur jenderal (dirjen), plus seorang inspektur jenderal (irjen). Pembagian atau pendelegasian tugasnya pun sudah sangat jelas.
Sudah terbentuk persepsi bahwa orang “nomor dua” pada setiap kementerian adalah sekjen dengan kewenangan atau uraian tugas yang sangat jelas. Dan, ini sudah menjadi tradisi PNS pada semua kementerian. Kalau kemudian hadir seorang wamen, siapa yang berhak menyandang orang “nomor dua” di kementerian? Apakah kehadiran wamen juga berkonsekuensi pada berkurangnya wewenang sekjen? Merealisasikan pembagian wewenang itu tidak semudah dibicarakan. Dalam praktiknya amat sulit karena berbagai alasan; dari loyalitas kepada atasan lama hingga kecemburuan karena hadirnya orang asing yang tiba-tiba menduduki jabatan tinggi pada organisasi atau unit kerja mereka.
Kecenderungan seperti ini lazim terjadi, termasuk di sektor swasta. Karena itu, kendati pengangkatan wamen sebagai hak konstitusional presiden, penggunaan hak yang satu ini sebaiknya jangan asal-asalan atau dipaksakan. Sebagai kepala eksekutif, presiden sebaiknya lebih memprioritaskan prinsip efisiensi dan efektivitas. Prinsip ini mengharuskan semua kepala eksekutif untuk membentuk organisasi manajemen sesuai kebutuhan. Setelah dikeluarkannya Perpres No 60 Tahun 2012 yang mempertahankan semua wamen, organisasi pemerintahan sekarang tampak sangat gemuk.
Kapasitasnya memang sangat besar, tetapi sudah terbukti bahwa sebagian besar kapasitas pemerintahan Presiden SBY di tingkat pusat tidak terpakai alias idle. Sebanyak 20 wamen adalah jumlah yang sangat besar untuk 34 menteri di kabinet. Mengada-ada dan terlalu dipaksakan. ●
penggemukan kambing
BalasHapus