Manisnya
Kejahatan
Indra
Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
Sumber :
KOMPAS, 26 Juni 2012
Kejahatan, terutama korupsi, itu manis. Tidak
percaya? Tanyailah para gembong koruptor. Pasti mereka tersipu malu, tetapi tak
bisa menyembunyikan rasa gembira dan bangga atas ”prestasi” kejahatan yang
menjadikannya kaya dan ”terhormat”.
Pada level kaum elite, kejahatan selalu lekat
dengan sikap hipokrit. Ini terkait dengan jiwa yang terbelah. Di satu sisi
orang perlu merawat watak jahat untuk meraih kamukten (kejayaan material yang
berimbas pada kehormatan sosial), di sisi lain orang masih membutuhkan nama
baik atau citra kemuliaan diri. Ruang nilai gelap-terang atau remang-remang pun
menjadi persembunyian yang nyaman.
Rakyat kecil jauh lebih jujur dalam soal
kejahatan. Mereka jauh lebih gagah mengakui dirinya sebagai penjambret,
pengutil, atau pencuri. Dalam humor kartun di majalah yang terbit tahun
1980-an, ada sentilan sosial yang menarik. Seorang hakim bertanya kepada
pencuri kelas recehan, ”Apa sih enaknya jadi pencuri? Kok kamu tak bosan
mencuri?” Pencuri menjawab, ”Wah, kalau tahu enaknya mencuri, bapak tak mau
lagi jadi hakim.”
Kartun itu tak hanya menghadirkan humor
segar, tetapi juga olok-olok terkait praktik-praktik sesat penegakan hukum dan
sangat tipisnya batas pembeda antara pencuri dan pengadil.
Dengan getir pula, kartun itu menyoal semakin
tipisnya moralitas, di mana kejahatan dipahami secara kuantitatif dan teknis,
bukan moral dan etis. Ini tak jauh berbeda dengan pembelaan seorang pembina
sebuah partai politik yang memaknai korupsi secara kuantitatif (berdasar
persentase korupsi), bukan penyimpangan etis dan moral.
Rakyat Pesimistis
Di negeri ini liberalisme tak hanya menyapu
ideologi yang tidak sejalan dengannya, misalnya Pancasila, tetapi juga
mengguncang moralitas. Tindakan yang semula dianggap tabu, tak pantas, dan hina
bisa berubah menjadi tindakan yang dianggap biasa, umum, dan wajar. Begitu pula
kejahatan (korupsi).
Jebolnya moralitas membuat berbagai ukuran
dan nilai menjadi semakin longgar, bias, kabur, dan relatif. Nilai baik dan
buruk yang semestinya merupakan kepastian diseret ke wilayah kemungkinan.
Logika tentang kebaikan dan kebenaran dipelintir demi menabiri kejahatan.
Orang yang berkuasa merasa sah korupsi asal
tidak ketahuan. Korupsi bukannya dikutuk dan dihindari, melainkan justru
”dibenarkan” dengan berbagai argumentasi agar menjadi sah.
Bagi rakyat yang tidak melek hukum pun,
kenyataan pahit itu telah jadi olok-olok. Mereka pesimistis dan sinis terhadap
segala upaya pemberantasan korupsi yang cenderung menjadi kosmetik politik.
Iklan layanan sosial antikorupsi, ”Katakan
tidak pada korupsi” yang menampilkan para penguasa, oleh rakyat dipelesetkan
menjadi ”Katakan tidak pada korupsi jika uangnya kecil”.
Untuk melegalkan korupsi dibutuhkan syarat:
kekuasaan. Maka berlaku prinsip kriminal: orang jahat harus kuat (berkuasa).
Kejahatan terasa manis selama kekuasaan melindunginya.
Aktor-aktor kejahatan bisa leluasa mereguk
dan mengisap ”gizi” yang semestinya menjadi hak publik. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
sebesar apa pun akan menipis dan mengering di tangan ”tukang sulap” kekuasaan
yang kemampuannya melampaui sang ilusionis sejati David Copperfield.
Jika Mas David ”hanya” mampu ”melenyapkan”
Tembok China dan kemudian mengembalikan lagi, maka ”tukang-tukang sulap”
anggaran dan wadya balanya itu mampu menghilangkan uang triliunan APBN dan APBD
dalam waktu sekejap. Hebatnya, uang itu hilang sungguhan.
Krisis Etos dan Etik
Sastrawan Pramudya Ananta Toer bilang,
korupsi merupakan ciri manusia tidak produktif yang selalu mengadakan atau
mengada-adakan proyek demi membuka peluang untuk mencuri. Ucapan ini menegaskan
lemahnya etos dan etik bangsa, terutama para penyelenggara negara, menjadi
faktor determinan atas merebaknya korupsi.
Kejahatan memang lebih dekat dengan para
penguasa manja, malas, rakus, sombong, hipokrit, hedonistis, dan melecehkan
etika-moral daripada penguasa yang sederhana, asketis, rendah hati, jujur, dan
menjunjung kepantasan dan kemuliaan.
Menjadi sangat berbahaya jika kejahatan
menjadi roh kekuasaan dan dijalankan secara sistemik. Lebih berbahaya lagi jika
kejahatan mengalami perubahan semantis menjadi ”kreativitas” untuk menyiasati
keadaan. Dari sana akan lahir banyak eufemisme atas kejahatan, misalnya
”penyesuaian tindakan praprosedur”. Kita khawatir, ke depan korupsi bukan lagi
dimaknai sebagai tindakan mencuri, melainkan ”kreativitas menyiasati anggaran”.
Kiamat moral bangsa bisa bermula dari penghancuran makna bahasa! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar