Jakarta
dan Edukasi Politik Etis
AM
Fatwa ; Anggota
DPD RI
KORAN TEMPO, 28 Juni 2012
Sebentar lagi Jakarta akan menggelar pesta
demokrasi keduanya sepanjang sejarah Reformasi. Kendati baru akan dilaksanakan
pada 11 Juli mendatang, antusiasme masyarakat sudah sangat terasa sejak saat
ini. Beragam fenomena yang terjadi belakangan semakin mengukuhkan prediksi para
pengamat bahwa pemilukada DKI akan berlangsung lebih dramatis dibanding
pemilukada sebelumnya.
Sebagai satu-satunya mekanisme demokrasi
untuk meraih jabatan politik, pemilukada tidak boleh dipandang sebatas sarana
untuk meraih kekuasaan. Pasalnya, pandangan semacam ini tidak hanya berpotensi
menghadirkan praktek-praktek kotor ala Machiavelianisme yang menghalalkan
segala cara. Lebih dari itu, ia juga dapat mereduksi makna pemilukada dari
sebuah aktivitas luhur untuk mendapatkan legitimasi publik menjadi rutinitas
lima tahunan untuk memperebutkan jabatan politik.
Ketika ditarik ke dalam konteks masyarakat
Indonesia yang masih menjalani proses transisi menuju kehidupan berdemokrasi
yang lebih cerdas dan bermartabat, pemilukada DKI bisa menjadi momen yang tepat
untuk memberikan edukasi politik etis bagi seluruh penduduk Indonesia.
Setidaknya, ada tiga alasan yang membuat pemilukada DKI memiliki potensi dan
posisi strategis dalam masalah ini.
Pertama, Jakarta pernah menjadi prototipe
penyelenggaraan pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007.
Ketika undang-undang tentang penyelenggaraan pemilihan umum di mana pilkada
dimasukkan dalam rezim dan resmi diberi nama pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah--atau disingkat pemilukada--ditetapkan, Jakarta adalah
daerah pertama yang memiliki kesempatan untuk mengimplementasikan undang-undang
tersebut. Sebab, secara kebetulan, jabatan gubernur yang disandang Sutiyoso
berakhir pada tahun yang sama.
Pada momen krusial itu Jakarta berhasil
menyelenggarakan pemilukada demokratisnya dengan baik, sehingga menjadi
referensi yang representatif bagi penyelenggaraan pemilukada selanjutnya di
daerah-daerah lain di seluruh penjuru Nusantara.
Jika lima tahun yang lalu Jakarta memiliki
momen untuk menjadi contoh bagi pelaksanaan pemilukada yang demokratis, pada
tahun ini Jakarta kembali memiliki momen untuk memberikan contoh proses
pelaksanaan pemilu demokratis yang etis dan bermoral. Hal ini sangat penting
untuk mendewasakan masyarakat Indonesia agar tidak terjebak pada sisi gelap
demokrasi yang cenderung menguntungkan kandidat yang memiliki dana besar.
Kedua, sebagai ibu kota negara, Jakarta tidak
hanya berhasil memainkan peran vitalnya sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan
ekonomi, tapi juga menjelma menjadi kiblat peradaban sosial dan budaya. Dengan
begitu, sangat wajar kalau semua peristiwa yang terjadi atau fenomena yang
berkembang di Jakarta cepat tersebar luas dan berdampak nasional, walaupun
tentu saja intensitasnya tidak sebesar di Jakarta.
Kalau posisi ini diimbangi dengan kerja keras
segenap komponen masyarakat Jakarta untuk mewujudkan pemilukada yang tertib,
aman, dan jujur, bukan hanya ekses positifnya yang akan dinikmati oleh
masyarakat Jakarta. Lebih dari itu, sikap dan perilaku politik mereka
berpeluang besar untuk ditiru oleh masyarakat di wilayah-wilayah yang lain.
Begitu juga sebaliknya, kalau pemilukada DKI
diwarnai dengan tindakan-tindakan bernuansa Machiavelistik yang melanggar etika
dan moralitas politik, tidak tertutup kemungkinan modus-modus kotor tersebut
akan ditiru oleh elemen-elemen politik di daerah lain. Jika kesalahan ini yang
ditiru, sengketa pemilukada yang bermuara di Mahkamah Konstitusi lama-kelamaan
akan menjadi episode yang tak terpisahkan dalam setiap penyelenggaraan
pemilukada.
Ketiga, pemilukada Jakarta tahun ini mempersilakan
enam pasang kandidat untuk bertarung secara sportif memperebutkan jabatan orang
nomor satu di Ibu Kota. Keenam pasang kandidat tersebut tidak semuanya berasal
dari Jakarta, atau dari etnis Betawi penduduk asli daerah DKI.
Realitas ini harus dipandang positif karena
mengandung nilai-nilai pendidikan yang bisa menyempurnakan wawasan demokrasi
dan nasionalisme masyarakat Indonesia. Realitas ini juga bisa menyadarkan
masyarakat akan tujuan ideal yang ingin dicapai demokrasi, yaitu menyeleksi figur
yang memiliki kapasitas, kapabilitas, profesionalitas, dan integritas terbaik
untuk memimpin suatu daerah.
Bukankah, untuk mendapatkan pemimpin terbaik,
masyarakat harus mengedepankan kualitas kandidat sebagai bahan pertimbangan
memilih, serta mengabaikan aspek-aspek emosional yang dilandasi kesamaan
primordial, seperti suku, agama, ras, dan lain sebagainya? Pada titik inilah,
keberagaman latar belakang etnis dan sosio-kultural kandidat Gubernur DKI bisa
menjadi modal berharga untuk menyuburkan semangat nasionalisme, serta mengikis
segenap potensi sektarianisme sempit yang berporos pada unsur SARA.
Dengan segenap kelebihan yang dimiliki dan
momentum yang akan segera tiba, Jakarta memiliki kesempatan emas untuk mengukir
prestasi sebagai daerah percontohan perilaku politik etis bagi seluruh penduduk
Indonesia. Tentu saja, butuh kerja sama integral di antara semua elemen
masyarakat dan seluruh komponen politik untuk meraih prestasi tersebut. Namun,
dengan tingkat kearifan yang semakin membaik, rasanya tak kan ada kesulitan
berarti bagi penduduk Jakarta untuk mewujudkan prestasi tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar