Kriteria
Cagub DKI Jakarta
Paul
Sutaryono ; Alumnus MM-UGM Yogyakarta
Sumber :
SUARA KARYA, 26 Juni 2012
DKI Jakarta segera menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada),
diikuti enam pasangan cagub-cawagub periode 2012-2017. Calon tersebut terdiri
dari empat pasangan dari koalisi parpol, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama, Alex Noerdin-Nono Sampono, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Hidayat Nur
Wahid-Didik J Rachbini. Dua pasangan lainnya dari jalur perorangan adalah Faisal
Basri-Biem Benjamin dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria. Bagaimana
kriteria yang jitu bagi calon Gubernur DKI Jakarta?
Dalam sejarah Pilkada DKI Jakarta, baru kali ini terdapat calon
gubernur dari jalur perorangan. Langkah ini sudah barang tentu menjadi sinar
harapan baru bagi pilkada di daerah lain untuk meniru. Karena, suka tidak suka,
apa pun yang dilakukan oleh Pemprov DKI akan ditiru oleh daerah lain di
Indonesia.
Tengok saja, moda transportasi TransJakarta yang dikenal busway,
kini banyak ditiru oleh daerah lain. Yogyakarta pun sekarang sudah memiliki
busway walaupun kota mahasiswa itu belum macet seperti Jakarta. Busway telah
dianggap sebagai salah satu alternatif dalam mengatur moda transportasi di
kota-kota besar di Nusantara.
Sesungguhnya yang ditiru bukan hanya model transportasi. Tetapi,
busway juga telah mengajarkan kepada publik bagaimana harus antri dengan
disiplin ketika masuk dan keluar bus. Penumpang bus yang keluar lebih
diutamakan daripada penumpang yang akan masuk bus. Kedisiplinan semacam itu
pasti menjadi seni baru bagi sebagian besar penumpang bus kota di kota mana pun
di Indonesia.
Lantas, bagaimana kriteria Cagub DKI Jakarta?
Pertama, mampu menjadi solusi. Mau tidak mau, Cagub DKI Jakarta
harus lebih hebat daripada daerah lain. Mengapa? Karena, DKI Jakarta selain
sebagai ibu kota juga sebagai pusat pemerintahan.
Itu berarti DKI Jakarta adalah pusat politik, perdagangan,
pendidikan dan budaya. Di lain pihak, DKI juga menjadi puat masalah nasional,
misalnya, korupsi, banjir, kemacetan, kriminalitas, pengangguran dan
premanisme.
Dhus, Cagub DKI harus mampu bukan saja memberikan solusi namun
juga menjadi solusi itu sendiri. Calon harus melekat erat pada masalah yang
sedang dihadapi bukan hanya mampu menyampaikan imbauan. Dengan demikian, calon
mampu memberikan dirinya sendiri sebagai solusi. Aneh? Tidak.
Kedua, memberikan darah baru dan udara segar. Cagub DKI harus
mampu memberikan darah baru dan bahkan udara segar bagi seluruh jajarannya dan
segenap warganya. Kalau calon berkampanye mampu mengatasi kemacetan dan banjir,
misalnya, jangan keburu menaruh kepercayaan penuh. Jangan pernah alpa bahwa
calon dari pendatang baru tidak berarti akan mampu memberikan darah baru dan
udara segar. Begitu pula sebaliknya.
Hal yang lebih penting, bagaimana sang calon memberikan alternatif
untuk membereskan masalah-masalah besar yang tiada pernah terselesaikan selama
ini. Telitilah apakah alternatif itu masuk akal dilaksanakan di lapangan,
misalnya, membereskan kemacetan dan banjir dalam waktu setahun. Jadi, jangan
hanya melihat janji-janji belaka, yang mudah untuk disampaikan.
Ketiga, memiliki pengalaman konkret. Teliti sebelum membeli. Itu
anjuran secara umum. Ingat, cermati pula pengalaman selama ini ketika calon
menjadi kepala daerah. Apakah selama itu si calon diterima dan bahkan dicintai
oleh rakyatnya sendiri.
Amati pula bagaimana pengalaman sang calon dalam mengatasi
masalah-masalah sosial, misalnya, dalam menangani pedagang kali lima. Menggusur
itu lebih mudah dan cepat daripada memindahkan mereka dengan hati. Apakah
langkahnya selama ini dilakukan dengan pendekatan keamanan semata atau dengan
jurus manusiawi?
Keempat, berani mengambil risiko. DKI selama ini menghadapi
berbagai tantangan seperti kemiskinan kota. Namun, penduduk di luar kota memandang
Jakarta sebagai kota penuh kemewahan sehingga mereka berbondong-bondong masuk
DKI untuk ikut menikmati kue kemewahan itu.
Oleh karena itu, setiap saat DKI Jakarta kedatangan tamu dari
daerah lain untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang memiliki kompetensi tinggi
akan lebih mudah memperoleh pekerjaan yang layak. Celakanya, mereka yang tidak
mempunyai kompetensi memadai akan menjadi benalu mengingat persaingan di Ibu
Kota untuk memperoleh pekerjaan sangat sengit dan bahkan tanpa emosi. Akhirnya,
mereka menjadi bagian dari kemiskinan kota.
Kemiskinan inilah yang menjadi akar segala masalah DKI Jakarta.
Apa saja? Kita sebut beberapa, misalnya, pengangguran absolut dan pengangguran
tersamar dan premanisme. Kondisi ini mengakibatkan tingginya tingkat kriminalitas
di DKI Jakarta.
Oleh sebab itu, Cagub DKI harus berani mengambil risiko (risk taker) dalam menghadapi aneka
masalah tersebut. Untuk dapat menyelesaikan suatu masalah, sang calon harus
mampu lebih dulu mengenali dengan tepat apa akar atau sumber masalah itu
sendiri. Tidak hanya asal 'menembak burung di langit biru' alias asal berbuat
padahal tidak menyelesaikan masalah kunci. Mereka yang tidak berani mengambil
risiko di lapangan lebih baik mundur teratur daripada babak belur.
Kelima, mengantongi integritas tinggi. Meskipun butir ini ditaruh
paling belakang bukan berarti ini tidak penting. Sejatinya, justru integritas
tinggi menjadi butir pertama dan utama.
Kok begitu? Karena jabatan kepala daerah sungguh mandi madu yang
berarti sarat dengan godaan besar. Maka, tidak heran banyak orang berlomba
untuk menduduki jabatan semacam itu. Repotnya lagi, kalau ada calon mencari
pekerjaan sebagai motivasi untuk menjadi cagub. Itu sungguh tidak layak.
Dengan mencermati aneka kriteria tersebut, warga DKI hendaknya
tidak terlena dengan janji-janji para calon dalam kampanye selama ini. Alhasil,
segenap pemilih dapat menentukan pilihan mereka dengan tepat sasaran. Tidak
asal nyoblos. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar