Kemenangan
Menuntut Pemeliharaan
Connie
Rahakundini Bakrie ; Analis Pertahanan, Direktur
Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Keamanan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia
Sumber :
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2012
KEMAMPUAN
dan ketangguhan dalam membina, mengembangkan, dan mempertahankan kehidupan
politik dari sebuah negara kerap diartikan para ahli sebagai wujud kekuatan
negara. Sementara itu, kekuatan negara pada dasarnya dipengaruhi kekuatan
militer. Dengan demikian, efektivitas kekuatan militer menjadi persoalan yang
penting dalam membangun kekuatan negara.
Jadi,
kekuatan militer akan memperkuat kekuasaan negara, baik secara internal-dalam
rangka ‘menertibkan’ perilaku warga negara--maupun secara eksternal--untuk
tujuan ‘penaklukan’ sumber daya ekonomi-guna membangun kekuatan negara bagi
kesejahteraan penduduk mereka (Paul Strathern: 2001).
Allan
R Millett, Williamson Murray, dan Kenneth H Watman dalam The Effectiveness of Military Organizations menyampaikan salah satu
efektivitas kekuatan militer ialah kekuatan tempur maksimal (maximum combat power) dengan memanfaatkan
seluruh sumber daya fisik dan politik yang ada. Kekuatan tempur sendiri
merupakan kemampuan untuk menghancurkan atau merusak (damage) kekuatan lawan dan sebaliknya mampu membatasi kehancuran di
daerah sendiri.
Di
sisi lain, faktor-faktor penting yang memengaruhi sebuah sistem pertahanan
sebuah negara sangat ditentukan terlaksananya pendidikan dan rekrutmen
prajurit, peningkatan jumlah dan kondisi alutsista (alat utama sistem
persenjataan) ke arah modernisasi, kesiapan operasional, peningkatan fasilitas
pangkalan militer melalui pembangunan, pemeliharaan, perawatan, dan perbaikan,
serta terwujudnya susunan kekuatan yang mampu melaksanakan proyeksi kekuatan
yang bersifat tempur.
Dengan
demikian, ketidaktersediaan dan ketidaksiapan alutsista dan teknologi
peperangan akan menjadi ancaman karena faktor-faktor tersebut merupakan faktor
penting sebuah sistem pertahanan. Di sinilah posisi alokasi anggaran pertahanan
menjadi faktor utama dalam membangun kekuatan militer.
Jadi, mengefektifkan kekuatan militer dalam sebuah postur pertahanan kurang
dapat diterima jika berlandaskan pada kemampuan minimal dengan alasan anggaran.
Itu dapat berakibat fatal terhadap pertahanan dan kelangsungan hidup bernegara.
Kemampuan Pertahanan
Ketika
kita berbicara tentang sebuah pembangunan kemampuan pertahanan, kerap kali itu
diartikan sebatas pembangunan kemampuan pembelian equipment. Karena itu, muncul
anggapan ketika senjata canggih sudah di tangan, dengan serta-merta kemampuan
yang diharapkan sudah dimiliki. Padahal, salah satu kunci penting dalam defence
acquisition ialah `if you have the
equipment, not necessary you have the capability'. Itu sebabnya Departemen
Pertahanan Inggris mengimplementasikan suatu comprehensive model yang disebut sebagai TEPIDOIL yang mencakup
delapan hal prinsip, yaitu training,
equipments, personnel, infrastructure, doctrine, organization, information, and
logistic.
TEPIDOIL
bertujuan membantu agar melihat sesuatu secara komprehensif dalam mencapai operational defence capability. Inggris
belajar dari satu kasus pahit yang terjadi pada 1935 ketika lalai dalam hal logistic support untuk satu peralatan
barunya, yaitu ground-based radar
yang merupakan elemen kunci dari air
defence. Peralatan itu tidak pernah dipakai selama beberapa tahun.
Jadi, baru disadari ketika peralatan akan dipakai pada Battle of Britain pada 1940, logictics
support element teknologi baru tidak tersedia. Sejak saat itu, dari sisi
logistik ditekankan bahwa akuisisi sistem pertahanan harus memperhitungkan
dukungan serta jaminan ketersediaan suku cadang dalam penggunaan, termasuk
kemampuan perawatan hingga akhir usia pakainya.
Setelah
melihat pada kasus jatuhnya pesawat Fokker 27-500 turboprop engine yang telah bergabung di TNI-AU sejak 1976 beberapa
waktu lalu saat latihan profisiensi single
engine, muncul pertanyaan, adakah kaitannya dengan realitas objektif akan
anggaran pertahanan negara yang minim yang berakibat pada kemampuan militer
kita bila dilihat dari dari elemen-elemen prinsip TEPIDOIL?
Karena jika hanya dilihat dari faktor kelayakan terbang, pesawat nahas tersebut saat terjatuh bukan dalam sebuah latihan single engine, melainkan latihan normal pattern untuk sebuah profisiensi rutin.
Karena jika hanya dilihat dari faktor kelayakan terbang, pesawat nahas tersebut saat terjatuh bukan dalam sebuah latihan single engine, melainkan latihan normal pattern untuk sebuah profisiensi rutin.
Dari
sisi elemen penyediaan sarana untuk berlatih, mengembangkan dan memvalidasi
peralatan serta melatih penerapan common
military doctrine untuk mewujudkan military
capability yang diinginkan sama pentingnya dengan alutsista itu sendiri.
Sayangnya,
dalam beberapa training, ada yang
mungkin lalai disiapkan atau terlambat dilakukan. Misalnya, ketika Inggris
melakukan pembelian helikopter dengan sistem elektronik canggih dan sensitif, Apache Attack Helicopter, helikopter
tersebut sudah tiba sebelum training
dilaksanakan sehingga pesawat harus berdiam di hanggar beberapa tahun hingga trained personnel-nya siap.
Dari
sisi latihan, sebenarnya TNI-AU sudah memiliki silabus latihan yang sangat
baik, dimulai dari sekolah penerbang latih dasar dengan pesawat daya dorong
kecil, kemudian latih mula dengan pesawat lebih besar dengan daya dorong lebih
besar, dan dilaksanakan dengan silabus yang lengkap dari pattern take off &
landing, aerobatik (melatih untuk meyakinkan kemampuan pesawat dan kekuatan
badan), instrumen dan terbang malam--latihan terbang malam dan hadapi cuaca
buruk, navigasi--membawa pesawat dari satu landasan ke landasan lain di kota
yang berbeda, hingga terbang rendah dan latihan kedaruratan.
Setelah
itu, pendidikan diikuti latihan transisi ke pesawat jenis tertentu dengan
silabus yang lebih fokus ke jenis pesawat yang akan diawaki seorang penerbang
operasional. Di tingkat itu pun, penerbang dituntut untuk terus berlatih
profisiensi rutin terjadwal, baik untuk normal
operation maupun latihan kedaruratan untuk mencapai jenjang uji kenaikan
kualifikasi, baik element leader
(tempur), kopilot atau kapten pilot, dengan dilakukan uji tertulis dan uji
kemampuan memimpin dan membawa pesawat sendiri yang terus dipantau instruktur
penerbang.
Dari
aspek logistik, seharusnya dapat diukur dari sisi alokasi pembagian anggaran
pertahanan kita, misalnya apakah dukungan akan suku cadang merupakan yang benar
benar dibutuhkan alutsista terkait, apakah lalu terpenuhi dalam aspek kualitas
(asli atau palsu) maupun kuantitas suku cadang yang tersedia.
Dalam
sistem logistik kita, jika ingin dikatakan sebuah kejanggalan, banyak pesawat
yang kita miliki belum punya jam terbang tinggi, tetapi dari sisi usia sudah
memasuki kriteria grounded atau malah
harus sudah harus di-grounded seperti Sky Hawk A4.
Di
sisi lain, F-5 dan MK 53 masih memiliki 9.600 dan 8.000 jam terbang, yang
hingga hari ini rata-rata baru tercapai setengah jam terbang mereka. Artinya,
pesawat-pesawat uzur itu akan terus diterbangkan hingga 2032. Pesawat uzur Fokker 27-500 yang masih memiliki
cadangan jam terbang di atas 14.000--jika dihitung jam operasi yang hanya 250
jam terbang per tahun--dirancang untuk terus terbang hingga 2068! Pertanyaannya
ialah mengapa alokasi anggaran pertahanan yang tersedia tidak dihemat dengan
melaksanakan efisiensi pembelanjaan pada aspek upgrade jam terbang (yang terbilang mahal)? Mengapa alokasi dana upgrade air time akan terbuang pada
pesawat-pesawat yang memasuki area kriteria grounded
atau dipastikan grounded, tidak
dialokasikan saja untuk membeli pesawat baru yang memang masih sangat kurang?
Kenyataan lain dalam sistem logistik kita ialah menumpuknya cadangan suku
cadang di gudang--atau malah masih berdatangan--untuk equipment pesawat yang malah sudah grounded.
Suatu
pesawat sendiri dapat dinyatakan grounded
dengan beberapa pertimbangan. Pertama, jam terbang terlampaui. Kedua, teknologi
yang dipakai sudah tertinggal. Ketiga, usia yang uzur (sekalipun cadangan jam
terbang masih banyak). Keempat, tingginya tingkat kecelakaan pada pesawat
sejenis. Kelima, limitasi yang terlampaui dalam pemeliharaan rutin atau hal
lainnya yang bisa menyatakan pesawat tidak laik terbang. Patut dicatat
laik-tidak laik terbang sebuah pesawat dapat terukur dari pemeliharaan dan
pemeriksaan rutin dilaksanakan baik untuk mesin, airframe, suku cadang, dan seterusnya.
Oleh
karena itu, persoalan pertahanan negara bukanlah persoalan yang mudah, tapi
sangat kompleks. Isu seputar transparansi anggaran dan alutsista hanyalah porsi
kecil dari permasalahan kompleksnya pertahanan Indonesia. Sering kali kita
mengabaikan masalah kebutuhan akan elemen lain pada TEPIDOIL yang sebetulnya
menjadi sumber permasalahan, dan sebenarnya hal itu dapat disikapi secara tegas
jelas jika negara mampu fokus melihat potensi ancaman dan menyamakan persepsi
akan perang yang akan memberikan landasan bagi kaidah postur sebuah tentara
profesional.
Karena
itu, skala ancaman merupakan logika utama bagi pembangunan postur pertahanan
yang disesuaikan dengan kondisi terkini. Elemen skala ancaman yang ditetapkan
secara jujur akan mampu mengidentifikasi strategi penangkalan yang efektif,
dengan di dalamnya organisasi TNI, personel TNI, dan kapabilitas alutsista
berada. Jadi, terpenuhinya komponen-komponen mendasar tersebut bisa sebagai
ukuran, sejauh mana negara dengan seluruh sumber daya fisik dan politik yang
dimiliki mampu mencintai prajurit-prajuritnya yang menjadi garda terdepan
negeri untuk melindungi bangsa dan negara dengan ketangguhan dan kekuatan alut
sista yang mumpuni. Sebagaimana Catullus jauh hari sudah menyatakan, “Amat victoria curam.“ Kemenangan
menuntut pemeliharaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar