REFLEKSI
TANWIR MUHAMMADIYAH :
Pahlawan
yang Terlupakan
Lukman
Hakiem ; Ketua PP
Persaudaraan Muslimin Indonesia
Sumber :
REPUBLIKA, 25 Juni 2012
Pada
1 Maret 1945, diben tuk Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI) dengan anggota sebanyak 60 orang,
plus enam orang anggota tambahan, dan tujuh wakil pemerintah militer Jepang
sebagai anggota istimewa. Saat melantik BPUPKI, kepala pemerintahan militer
Jepang di Indonesia (saikoo sikikan) melemparkan
pertanyaan penting kepada BPUPKI soal dasar negara Indonesia.
Menurut
saikoo sikikan, mendirikan negara
merdeka bukanlah usaha mudah, lebih-lebih jika tidak mempelajari, menyelidiki,
dan merencanakan dengan saksama segala usaha untuk meneguhkan kekuatan
pertahanan dan dasar negara. Menjelang detik-detik kemerdekaan Indonesia,
tentara pendudukan Jepang membagi anggota BPUPKI menjadi lima golongan, yakni
pergerakan, Islam, birokrat (kepala-kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil
residen, bupati, dan wali kota), serta minoritas (peranakan Belanda, Tionghoa,
dan Arab).
Dengan
penggolongan itu, terdapat 12 orang yang mewakili golongan Islam.
Mereka adalah Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim, dan Dr Soekiman Wirjosandjojo (Syarikat Islam), KH Ahmad Sanoesi (al-Ittihadiyat al-Islamiyah), KH Abdoel Halim (Perserikatan Umat Islam), Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH Mas Mansoer, dan KH Abdoel Kahar Moezakir (Muhammadiyah), KH Masjkoer dan KH A Wahid Hasjim (Nahdlatul Ulama), AR Baswedan (Partai Arab Indonesia), dan KH A Fatah Hasan (lulusan Al-Azhar, Mesir). Mereka inilah yang gigih berjuang agar dasar negara Indonesia tidak menutup diri terhadap “intervensi“ wahyu.
Mereka adalah Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim, dan Dr Soekiman Wirjosandjojo (Syarikat Islam), KH Ahmad Sanoesi (al-Ittihadiyat al-Islamiyah), KH Abdoel Halim (Perserikatan Umat Islam), Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH Mas Mansoer, dan KH Abdoel Kahar Moezakir (Muhammadiyah), KH Masjkoer dan KH A Wahid Hasjim (Nahdlatul Ulama), AR Baswedan (Partai Arab Indonesia), dan KH A Fatah Hasan (lulusan Al-Azhar, Mesir). Mereka inilah yang gigih berjuang agar dasar negara Indonesia tidak menutup diri terhadap “intervensi“ wahyu.
Saat
dibentuk panitia kecil BPUPKI yang terdiri atas delapan anggota (disebut dengan
panitia delapan), Ki Bagoes Hadikoesoemo dipilih menjadi salah seorang
anggotanya. Tugas panitia ini mengumpulkan saran dan usul para anggota yang
akan dibahas dalam sidang pada Juli 1945. Panitia delapan mencatat tujuh usul
mengenai dasar negara Indonesia. Dan, usulan yang terbanyak adalah ketuhanan,
kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Karena
itu, tidak mengejutkan jika dalam rumusan Preambule
hasil panitia sembilan (pengganti panitia delapan) tertanggal 22 Juni 1945
(yang dikenal sebagai Piagam Jakarta), “ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,“
menjadi dasar yang pertama dari susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat. Rancangan ini dalam rapat BPUPKI pada 16 Juli 1945,
diterima dengan suara bulat sebagai dasar negara dan batang tubuh UUD.
Di
panitia sembilan, ada kader Muhammadiyah, KH A Kahar Moezakir.
Hanya, sampai sekarang dokumen perdebatan di panitia sembilan belum ditemukan. Usai sidang pada 16 Juli 1945, keberadaan BPUPKI digantikan dengan PPKI yang beranggotakan 27 orang. Di PPKI, empat anggota berasal dari Islam, yakni Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH A Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo (aktivis Jong Islamieten Bond dan Muhammadiyah), dan Mr TM Hasan (Ikhwanus Safa Indonesia).
Hanya, sampai sekarang dokumen perdebatan di panitia sembilan belum ditemukan. Usai sidang pada 16 Juli 1945, keberadaan BPUPKI digantikan dengan PPKI yang beranggotakan 27 orang. Di PPKI, empat anggota berasal dari Islam, yakni Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH A Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo (aktivis Jong Islamieten Bond dan Muhammadiyah), dan Mr TM Hasan (Ikhwanus Safa Indonesia).
PPKI
yang dibentuk pada 7 Agustus 1945 baru bersidang pada 18 Agustus 1945. Situasi
pada pagi 18 Agustus itu sungguh sangat krusial karena muncul keinginan untuk
menghapus `tujuh kata' yang sebelumnya telah diterima bulat.
Menurut
Prawoto Mangkusasmito, pada rapat 18 Agustus itu, beban berat diletakkan di
bahu kader Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo. Sebab, Wahid Hasjim masih
dalam perjalanan dari Jawa Timur. Sementara, Kasman Singodimedjo sebagai
anggota tambahan belum mendalami persoalan. Seluruh tekanan psikologis tentang
berhasil atau tidaknya penetapan UUD diletakkan di pundak Ki Bagoes sebagai
satu-satunya eksponen perjuangan Islam di PPKI.
Tidak
mudah meyakinkan Ki Bagoes untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule UUD. Sesudah Bung Hatta gagal
meyakinkan Ki Bagoes, dia meminta TM Hasan untuk melobi Ki Bagoes. Hasan
ternyata juga tidak mampu melunakkan hati Ki Bagoes. Saat situasi kritis itu,
Hatta meminta Kasman membujuk Ki Bagoes. Dengan menggunakan bahasa Jawa halus,
Kasman melobi Ki Bagoes. Kasman mengingatkan Ki Bagoes, karena kemerdekaan
sudah diproklamasikan maka UUD harus cepat ditetapkan. Apalagi, posisi
Indonesia terjepit karena masih adanya tentara Jepang dan sekutu.
Kasman
bertanya kepada Ki Bagoes, apakah tidak bijaksana jika kita sebagai umat Islam
yang mayoritas `mengalah' dengan menghapus tujuh kata itu demi kemenangan
bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat,
adil makmur, tenang tenteram, diridai Allah.
Ki
Bagoes dapat menerima argumen Kasman dan setuju, “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya“, dihapus dan diganti dengan kalimat “ketuhanan Yang Maha Esa“. Bersamaan
dengan itu, Ki Bagoes meminta supaya anak kalimat “menurut dasar“ di dalam Preambule UUD dihapus sehingga
penulisannya dalam Preambule UUD
menjadi “.... Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan seterusnya.“
Pada
saat-saat kritis dalam proses penetapan konstitusi negara, terbukti tiga tokoh
Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kahar Moezakir, dan Kasman Singodimedjo,
telah menorehkan peranan signifikan. Anehnya, sampai hari ini pemerintah belum
mengakui ketiga tokoh ini sebagai pahlawan nasional.
Yang
lebih mengenaskan adalah Kasman Singodimedjo. Pada 12 Agustus 1992, ketika
Presiden Soeharto memberikan Bintang Mahaputera kepada sejumlah mantan anggota
BPUPKI dan PPKI, Kasman Singodimedjo dilewatkan.
Tidak syak lagi, ini pastilah karena sikap kritis Kasman kepada pemerintahan
Orde Baru, terutama keikutsertaannya dalam Pernyataan
Keprihatinan (Petisi 50).
Dengan jasa mereka yang begitu besar,
ditambah kesaksian Jenderal Nasution yang amat objektif terhadap Kasman
Singodimedjo, belum layakkah Ki Bagoes, Pak Kahar, dan Pak Kasman ditetapkan
menjadi pahlawan nasional? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar