Permasalahan
Buku dan Pemihakan Pemerintah
St
Sularto ; Wartawan Senior KOMPAS
KOMPAS, 29 Juni 2012
Dalam perubahan super cepat industri
buku—konvensional kertas, digital, ataupun elektronik (electronic book)—di manakah letak peranan pemerintah? Karena mindset (baca: kecurigaan) pemerintah,
buku berarti bisnis, sekian jenis pajak dikenakan. Jumlah jenis pajak pun
terbanyak dibanding sektor industri lain.
Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia
(Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada
keberpihakan pemerintah. Masyarakat memang mengapresiasi pembentukan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya
belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal
persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan
menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif
lain, sebesar 17,5 persen.
Di saat yang sama, serupa pada industri media
massa cetak, ramalan Thomas Meyer bahwa industri cetak akan mati, tetap jadi
prediksi yang terus menghantui. Cetak tidak akan mati, ya, tetapi ketika tren
penurunan media cetak termasuk buku terus merosot, yang diperlukan bukan hanya
keyakinan, malainkan juga upaya supaya tidak melorot dan apalagi benar-benar
habis.
Banyak dilakukan terobosan yang di kalangan
industri media massa dikembangkan strategi multimedia,
multiplatform, multichannel (3M). Kehadiran digital dan elektronik menjadi
komplementer dan tidak saling mengerkah. Sinergi menjadi keniscayaan agar bisa
bertahan dan berkembang. Strategi tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun lebih
awal dibanding Indonesia oleh para penerbit luar negeri.
Dari pameran tahunan perbukuan dunia, Frankfurt Bookfair, selalu terpajang
jutaan penerbit buku dunia bergulat mempelajari perkembangan dan kecenderungan,
seperti teknologi, desain, minat pembaca, bahkan trik-trik pemasaran buku.
Dari pameran terakhir, Oktober 2011, tersaji
terjadinya perubahan signifikan yang menyangkut teknologi dan kebiasaan
pembaca. Industri buku dunia—dari sisi ekonomis—sejak beberapa tahun lalu sudah
dirasakan terus merosot. Terjadi misalnya di Inggris sebesar 6,1 persen,
Amerika Serikat (AS) 5,7 persen, Spanyol 2,3 persen. Jepang, negara dengan
kultur baca tinggi baik lewat cetak maupun elektronik, walaupun penjualan buku
naik 1 persen, tetapi pendapatan turun 1,5 persen (Patricius Cahanar, Kompas,
9/12/2011).
Lewat Internet
Di banyak negara mulai berlangsung bentuk
baru penjualan lewat media internet, elektronik, ataupun cetak. Hadirnya media
sosial, seperti Facebook dan Twitter, pun dijadikan sarana memperluas pasar.
Bermunculan penerbit buku independen, yakni penulis sekaligus menjadi penerbit,
bahkan provider menjadi penerbit. Amazon misalnya, tidak hanya mengunggah
naskah ke internet, tetapi juga menjadi penerbit—tren yang semakin menonjol
terjadi di Jerman dan AS.
Di Indonesia tidak ada data pasti tentang
jumlah judul dan eksemplar yang terbit setiap tahun. Akan tetapi, angka
berkisar pada 15.000-25.000 judul dengan rata-rata cetak setiap judul
3.000-4.000 eksemplar.
Sementara itu data di Ikapi Pusat tahun 2010
mematok angka sekitar 25.000 judul buku baru di Indonesia, 16.000 di Malaysia,
189.295 di China, AS 75.000, India 60.000, Jepang 40.000, Vietnam 15.000, dan
Malaysia 10.000 judul.
Lemahnya Budaya Baca?
Benarkah kondisi perbukuan di Indonesia
disebabkan oleh, antara lain, lemahnya budaya baca? Barangkali begitu, apalagi
ketika mulai berkembang budaya baca bersamaan dengan budaya omong berkembang
pula budaya elektronik. Yang terjadi adalah besarnya pemakaian telepon seluler.
Kisaran jumlah judul tidak beranjak dari
tahun ke tahun, begitu juga jumlah eksemplar, tetapi dengan semakin lebarnya
ratio jumlah penduduk, jumlah judul buku, dan jumlah eksemplar, dunia perbukuan
di Indonesia semakin merosot. Sementara itu di saat yang sama, melonjak
pemakaian telepon seluler.
Tidak hanya merosot dari sisi kuantitas,
merosot pula jumlah penulis dan mereka yang ingin melakoni kerja sebagai
penulis buku. Menjadi penulis buku menuntut kesiapan bahan lebih komprehensif
dibandingkan dengan menjadi penulis koran atau majalah, begitu juga penulis
berbagai gaman lain. Dituntut sikap
kerja asketis. Dituntut napas panjang, sementara perolehan dari sisi finansial
kurang sebanding dengan menulis artikel pendek.
Gelapkah industri perbukuan? Tidak, asalkan
dipenuhi beberapa syarat, termasuk bagaimana menghidupkan perpustakaan dan toko
buku, yang melayani tiga sarana media sekaligus, yakni multimedia, multichannel, dan multiplatform.
Pertama, peningkatan peran pemerintah dalam
mengembangkan industri perbukuan. Perlu dekonstruksi mindset , bahwa industri buku selain bisnis juga idealisme. Dengan
mindset itu menjadi keharusan meninjau kembali jenis-jenis pajak ataupun
besaran persentase yang dikenakan pada industri buku.
Kedua, terus dikembangkan dan diperluas
strategi 3M seperti yang sudah dikembangkan dalam industri media cetak.
Strategi 3M diperlukan, selain sebagai bagian dari jurus terus bertahan agar
tidak cepat mati, juga bagian dari memberikan sumbangan besar industri ilmu
pengetahuan sebagai bagian dari peradaban manusia.
Ketiga, karena industri buku berjalan seiring
dengan tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan—beberapa negara maju hasil ilmu-ilmu
baru sebanding dengan perkembangan jumlah judul dan eksemplar buku—penghargaan
pada pemangku profesi keilmuan yang bekerja dalam sepi, jauh dari hiruk-pikuk
publikasi dan terus tekun bersemangat asketis, memperoleh perhatian yang
dijabarkan dalam bentuk konkret kesejahteraan.
Keempat, di saat yang sama perlu diberikan
perlindungan pada para pemegang hak cipta intelektual, dan memberikan sanksi
yuridis bagi para pelanggar ataupun pelaku pembajakan. Pembajakan memang salah
satu penghambat berkembangnya profesi penulis, perilaku yang dalam kenyataan
selalu pembajak lebih diuntungkan daripada penggugat, penerbit yang bukunya
dibajak.
Kelima, hadirnya Yayasan Reproduksi Cipta
Indonesia, sebuah yayasan nirlaba yang tujuannya memberikan perlindungan kepada
pemegang hak cipta, dan Yayasan Nusa Membaca—sesama yayasan nirlaba—yang ingin
ikut serta terlibat dalam pengembangan minat baca masyarakat, merupakan dua
gerakan yang perlu memperoleh dukungan luas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar