Rio20
Ingkari Janji Kemajuan yang Hakiki
Maria
Hartiningsih ; Wartawan
KOMPAS
Sumber :
KOMPAS, 27 Juni 2012
Langkah masa depan berkelanjutan telah
dideklarasikan dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pembangunan
Berkelanjutan (Rio+20) di Rio de Janeiro, Brasil, 22 Juni 2012. Namun, dokumen
akhir itu mundur dalam soal pengakuan terhadap kesetaraan jender dan
pemberdayaan perempuan, khususnya hak-hak atas kesehatan reproduksi.
Berbagai media mengabarkan, Menteri Luar
Negeri Brasil Antonio de Aguiar Patriota kecewa karena ”hak atas kesehatan
reproduksi” dikeluarkan dari dokumen. Namun, hal itu harus terjadi demi
kompromi.
Dalam perundingan internasional, kata adalah
panglima. Negosiasi berarti menaruh realitas sosial yang direduksi menjadi
kata-kata sebagai pertaruhan untuk mencapai kesepakatan.
Teks awal dalam dokumen Rio+20 berbunyi,
”Kami berkomitmen untuk menjamin akses setara bagi perempuan dan anak perempuan
pada pendidikan, pelayanan dasar, kesempatan ekonomi, dan pelayanan kesehatan
dasar, termasuk dalam kesehatan reproduksi dan seksual perempuan dan hak-hak
reproduksi perempuan.”
Dalam teks terakhir, kata komitmen dilemahkan
dengan mempromosikan. ”Hak-hak reproduksi” dihilangkan setelah ditolak beberapa
negara anggota G-77, Takhta Suci dan negara-negara pendukungnya.
Menolak Mengakui
Dokumen Rio+20 mengakui kesepakatan
Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo
tahun 1994 dan Konferensi Dunia mengenai Perempuan dan Pembangunan di Beijing
(WCWD) tahun 1995. Namun, menolak mengakui bahwa hak atas kesehatan reproduksi
sangat krusial dalam pembangunan berkelanjutan. Dari awal perundingan, hak atas
kesehatan reproduksi ditentang beberapa negara karena dianggap ”tak ada
kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan”.
Bagi banyak negara, perdagangan, pembiayaan
pembangunan, keamanan pangan, dan ekonomi hijau ”jauh lebih penting” ketimbang
hak atas kesehatan reproduksi.
Kerasnya perdebatan juga mengingatkan pada
pertarungan ideologi moral antara Takhta Suci—didukung Timur Tengah—AS, dan
beberapa negara Eropa dalam ICPD 1994. Tanpa mempertimbangkan fakta sosial, isu
itu selalu dikaitkan dengan aborsi.
Sikap AS dalam Rio+20 berubah. Dalam
pidatonya, Menlu AS Hillary R Clinton menyatakan dukungannya pada kesehatan
reproduksi dan seksual, hak-hak reproduksi perempuan, serta akses universal
pada keluarga berencana untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Blog The
Global Fund for Women mengutip berbagai kajian menyatakan, pertumbuhan
penduduk sangat krusial dalam isu lingkungan dan pembangunan. Jaminan atas hak
dan akses pada pelayanan kesehatan reproduksi akan mengurangi emisi global
karbon dioksida 8 persen sampai 15 persen.
Ekonomi hijau dalam konteks pembangunan
berkelanjutan berkelindan dengan penghapusan kemiskinan, pertumbuhan penduduk,
dan hak asasi manusia. Pembangunan hanya akan berkelanjutan kalau hak dan
pelayanan kesehatan reproduksi mendapat prioritas.
Menelisik Sejarah
Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan
Pembangunan (Earth Summit, 1992)
mengakui, makhluk hidup adalah pusat dari gagasan Pembangunan Berkelanjutan.
Perempuan merupakan satu dari sembilan kelompok penting dalam Program Aksi
Agenda-21.
Prinsip pembangunan berkelanjutan, yang
mengintegrasikan pendekatan pembangunan dengan tujuan keadilan sosial, ekonomi,
dan lingkungan, dikuatkan kembali dalam Pertemuan Puncak Pembangunan
Berkelanjutan di Johannesburg, 2002.
Terkait dengan itu, ICPD 1994 menegaskan,
lingkungan, pola produksi-konsumsi, dan hak asasi manusia saling berkait dan
berlindan.
ICPD menempatkan kebutuhan dan hak individu
lebih dari target demografi. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan terkait
pelayanan dan hak atas kesehatan reproduksi sangat penting bagi kemajuan
individu ataupun pembangunan berkelanjutan.
Pertumbuhan, kepadatan penduduk, dan migrasi
semakin menekan kondisi lingkungan karena meningkatnya kebutuhan sumber daya alam.
Seluruh target dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) tahun 2015 terkait dengan
itu semua.
Dengan jumlah penduduk 7 miliar, penolakan
hak-hak atas kesehatan reproduksi akan berdampak signifikan. Data Dana
Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menyatakan, saat ini terdapat
1,8 miliar penduduk berusia 10-24 tahun yang sangat membutuhkan akses pelayanan
kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Kurangnya akses pada pelayanan kesehatan
seksual dan reproduksi membuat rantai kemiskinan antargenerasi sulit diputus
dan ketidaksetaraan jender semakin dalam. Tahun 2008, sekitar 358.000 perempuan
meninggal karena komplikasi kehamilan dan saat melahirkan, 7 juta lainnya
mengalami penderitaan terkait kehamilan.
Sekitar 90 persen kematian ibu dan bayi di
negara berkembang disebabkan kurangnya sumber daya serta prioritas bagi
kesetaraan jender dan pelayanan kesehatan reproduksi. Antara tahun 2000 dan
2008, Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) terkait hal itu turun dari 8,2 persen
menjadi 3,2 persen. Hampir bisa dipastikan banyak negara tak akan mencapai
tujuan MDG-5, yakni menurunkan angka kematian ibu sampai 75 persen dari kondisi
tahun 1990 pada 2015.
Seperti dikatakan Sekjen PBB 1997-2006 Kofi A
Annan, pembangunan berkelanjutan dan target MDG tak bisa dicapai kalau
pertanyaan tentang kependudukan dan kesehatan reproduksi tak segera dijawab.
Itu berarti, dibutuhkan komitmen kuat untuk
mengakui hak-hak perempuan serta investasi lebih besar bagi pendidikan dan
kesehatan. Rio+20 gagal menjawabnya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar