Perlunya
“Affirmative Action” bagi Pelaut Perikanan
Soen’an
Hadi P ; Dosen
Sekolah Tinggi Perikanan (STP),
Sekretaris Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN)
Sumber :
SINAR HARAPAN, 27 Juni 2012
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
menetapkan 23 Juni sebagai World Seafarer
Day atau Hari Pelaut Sedunia. Pelaut bukan semata mereka yang bekerja di
kapal niaga, melainkan termasuk pula pelaut lain, seperti di kapal wisata, atau
nelayan pencari ikan. Bahkan di Indonesia, secara kuantitatif jumlah pelaut
perikanan adalah 2.231.700 orang, jauh lebih besar dari pelaut niaga.
Tulisan ini mengulas masalah yang dihadapi
para pelaut perikanan maupun para nelayan, yang dikategorikan menjadi tiga:
pelaut perikanan yang bekerja di kapal penangkap ikan milik bangsa asing,
pelaut perikanan pada industri perikanan dalam negeri, dan pelaut perikanan
tradisional atau nelayan tradisional.
Pelaut Perikanan di Kapal Asing
Para pelaut perikanan Indonesia banyak
bekerja di kapal ikan Jepang, Korea Selatan, Spanyol, dan beberapa negara
lainnya. Jepang makin bergantung pada pelaut Indonesia. Pemuda Jepang enggan
bekerja di laut.
Walau orang Jepang senang mengonsumsi ikan,
bekerja di laut dianggap rendah; kikken,
kikui, dan kitanai, artinya
kasar, berisiko tinggi, dan kotor.
Masalah “keselamatan” pelaut perikanan juga
mendapat perhatian dunia. Menurut data Food
and Agriculture Organization, setiap tahun di dunia terdapat 24 juta
kecelakaan pada pelaut perikanan, di antaranya 24.000 kecelakaan yang merenggut
nyawa. Dengan demikian, rata-rata kecelakaan fatal para pelaut perikanan
mencapai 80 orang per 100.000 nelayan.
Dalam hal keselamatan di laut ini, International Maritime Organization
(IMO) telah menetapkan STCW bagi pelaut niaga dan STCW-F (Standard of Training and Certification for Watchkeeping Personnel at
Fishing Vessel) bagi pelaut perikanan. Lalu International Labor Organization juga mengeluarkan Konvensi No 188
tentang Work in Fishing Convention.
Hanya saja, bagi negara berkembang ada
perkecualian melalui Pasal 3, yang karena kondisi ekonomi belum memungkinkan
untuk menerapkannya, asalkan disepakati tiga pihak, yakni unsur pemerintah,
perusahaan, dan pelaut perikanan di negara bersangkutan.
Indonesia juga belum meratifikasi dua
konvensi di atas. Akibatnya para pelaut perikanan kita di luar negeri tergolong
kelas rendah, dengan konsekuensi upah mereka juga rendah.
Ditelan Ombak Besar
Di Indonesia tingkat kecelakaan pelaut
perikanan relatif tidak tinggi, namun tergantung lokasinya. Djodjo Suwardjo,
dalam kajiannya (2008-2009) mendapati nelayan Cilacap yang menggunakan alat
tangkap mini long-line mempunyai
angka kecelakaan fatal yang cukup besar, yaitu 235 orang per 100.000 nelayan.
Alat tangkap jenis ini dalam pengoperasiannya tidak berisiko, namun kondisi
perairan selatan Pulau Jawa termasuk ganas.
Nelayan Tegal yang menggunakan alat cantrang dengan pengoperasian yang
relatif berisiko, namun dalam perairan yang relatif tenang di Laut Jawa, masih
menunjukkan angka kecelakaan yang agak tinggi, yakni 115 orang per 100.000
nelayan.
Ini berarti di dua lokasi yang dikaji
memiliki angka kecelakaan fatal yang lebih tinggi dari
angka rata-rata dunia.
Namun, sebagian besar kecelakaan fatal tersebut terjadi dalam kondisi ombak
besar, yakni 87,5 persen.
Melihat fenomena tersebut, kiranya perlu
dikaji serius untuk segera meratifikasi STCW-F
maupun Work in Fishing Convention.
Dipelajari cara-cara penerapannya, dan diusahakan pemecahannya apabila terdapat
hal-hal yang berdasarkan pertimbangan sosial dan ekonomi masih belum
memungkinkan diterapkan. Upah para pelaut perikanan di dalam negeri juga harus
ditingkatkan, mengingat tingginya risiko.
Nelayan Tradisional
Bagi nelayan tradisional, selain menghadapi
keganasan alam mereka juga miskin. Hidup para penghuni pesisir dan pulau-pulau
kecil di Indonesia dipengaruhi dari tiga faktor. Pertama, sebagai negara yang
berbentuk kepulauan, tentu wilayahnya sebagian besar berupa laut.
Kedua, sebagai negara tropis memiliki curah
hujan yang relatif tinggi. Ketiga, adanya pergerakan posisi matahari ke utara
dan selatan khatulistiwa menyebabkan terjadinya perubahan musim, ada musim
barat dan musim timur.
Pada pergantian tahun lalu, banyak pelaut
perikanan selama lebih dari tiga bulan tak melaut karena ombak besar. Para
penghuni pulau kecil banyak yang terisolasi kehabisan suplai logistik. Pelaut
perikanan yang menggunakan kapal besar, kalau ombak tidak terlalu tinggi masih
bisa mengalihkan daerah penangkapan ikan. Pada musim timur menangkap ikan di
Selat Karimata, dekat Sumatera. Adapun saat musim barat beralih ke Masalembo,
dekat Sulawesi. Adapun nelayan kecil lebih memilih tinggal di rumah, hidup dari
utang, atau mencari mata pencarian alternatif.
UUD 1945 hasil amendemen Pasal 25A berbunyi:
“Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri
nusantara.” Untuk implementasi amanat konstitusi, harus ada komitmen dan
keberpihakan atau affirmative action
terhadap realita negara kita sebagai negara maritim.
Permukiman nelayan yang senantiasa terancam
bencana alam, mitigasi bencana secara sistemis perlu dilakukan. Kesejahteraan
pelaut perikanan dan keluarganya perlu ditingkatkan. Di beberapa tempat,
koperasi yang dikelola dengan benar terbukti mampu menyejahterakan nelayan. Koperasi
dapat mendukung pemasaran, asuransi kecelakaan, permodalan, maupun jaminan
paceklik.
Terkait peningkatan kesejahteraan ini, pelaut
perikanan yang menetap di tempat terpencil dan pulau-pulau kecil mengalami
kesulitan transportasi serta fasilitas lainnya. Fasilitas pendidikan dan
kesehatan sering kali memprihatinkan sehingga meningkatkan angka putus sekolah
serta tingginya angka kematian.
Desa Binaan
Peningkatan kompetensi nelayan tak bisa
ditunda, mengingat proporsi nelayan kecil yang sangat besar jumlahnya, dengan
tingkat pendidikan rendah. Pelatihan on the spot atau mobile training bisa
menjadi alternatif utama. Para pelatih yang harus mendatangi perkampungan
nelayan lalu memutuskan bersama jenis pelatihan yang dibutuhkan. Kegiatan
semacam ini banyak dilakukan sejak 1970-an.
Perguruan tinggi atau lembaga penelitian,
pendidikan, dan pelatihan sebaiknya memilih beberapa desa nelayan menjadi “desa
mitra”-nya, atau yang di era Orde Baru dulu terkenal dengan sebutan Desa
Binaan.
Lembaga yang memiliki tenaga ahli dan
fasilitas ini dapat secara fokus menjadi mitra pengembangan desa nelayan yang
tertinggal. Pola pemberdayaan desa ini banyak dilakukan pada 2000-2006, yang
kini kiranya perlu diaktifkan kembali.
Guna memutus rantai kemiskinan dan
keterbelakangan, program affirmative
action terhadap putra-putri nelayan bisa diteruskan. Namun tetap harus
melihat realitas kondisi tingkat pendidikan terakhir anak nelayan yang
mayoritas rendah, serta untuk menjaga kualitas perguruan tinggi agar tetap
berstandar mutu internasional, affirmative
action ini dilakukan dengan jumlah yang proporsional.
Misalnya untuk tingkat sekolah menengah
kejuruan 40 persen dari siswa yang diterima, tingkat diploma-3 25 persen dari
calon mahasiswa, tingkat diploma-4 atau strata-1 10 persen, sedangkan tingkat
strata-2 5 persen. Tentu saja bagi anak nelayan yang memang sudah berkemampuan
akademis baik dapat diterima, tanpa harus dimasukkan sebagai peserta yang
berdispensasi khusus. ●
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^