Organisasi,
Modal Riza Membangun Jakarta
Madina
Nusrat dan Fransisca Romana ; Wartawan KOMPAS
Sumber :
KOMPAS, 26 Juni 2012
Mencalonkan diri sebagai wakil gubernur, bagi
Ahmad Riza Patria bukan berarti menjadi orang nomor dua ataupun sekadar menjadi
pemain yang duduk di bangku cadangan. Bersama Hendardji Soepandji, pengusaha
jasa konsultan konstruksi ini yakin dapat turut serta membangun Ibu Kota
Jakarta yang lebih merakyat.
”Selama saya mengenal Pak Hendardji, dia
merupakan sosok yang bijak. Itu sebabnya, saya mau dipinang sebagai wakilnya di
bursa Pemilihan Gubernur DKI,” kata Riza, saat dijumpai di tempat tinggalnya di
sebuah apartemen di Jalan Casablanca.
Riza mengaku sudah mengenal Hendardji sejak
tahun 2007. Keduanya dipertemukan dalam sebuah forum ekonomi dan di dalam acara
itu, Riza hadir sebagai pengusaha muda yang bergerak dalam bidang jasa
konsultan konstruksi.
Keyakinan Riza masuk dalam bursa Pemilihan
Gubernur DKI tahun 2012 itu juga didukung pengalamannya selama ini yang sudah
malang melintang di dunia organisasi kepemudaan, kewirausahaan, dan juga
politik. Apalagi keterlibatannya dalam setiap organisasi itu juga selalu
mengambil peranan penting, yakni menjadi pemimpin.
”Pengalaman memimpin organisasi menempa saya
memecahkan segala macam masalah di berbagai kelompok masyarakat,” katanya.
Dari pengalamannya itu, menurut Riza, sudah
saatnya pembangunan di Jakarta turut melibatkan warganya. Apalagi warga Ibu
Kota ini terdiri atas beragam etnis dan golongan yang memiliki latar belakang
dan kepentingan yang beragam, dengan kompleksitas yang cukup tinggi.
”Pembangunan Jakarta yang merakyat ini akan
dimulai dengan merevitalisasi agen-agen kepemudaan. Kemudian melangkah pada
peremajaan kota dengan melibatkan masyarakat,” jelasnya.
Pemerintah Provinsi DKI selama ini, kata
Riza, kurang melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Bahkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pun tidak disampaikan pemerintah kepada
masyarakat secara transparan, termasuk pembagian komposisi anggarannya.
Sementara APBD DKI yang mencapai Rp 41
triliun itu sebagian besar tersedot untuk belanja pegawai. Komposisi anggaran
untuk pembangunan hanya tersedia sebagian kecil.
Untuk itu, kata Riza, dibutuhkan inovasi agar
penggunaan anggaran bisa efisien. Pada saat yang sama dibutuhkan
terobosan-terobosan agar pembangunan di Ibu Kota ini dapat turut dibiayai
investor sehingga sektor riil dapat bergerak. Dengan demikian, akan terbuka
lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Pasar-pasar tradisional juga harus dihidupkan
kembali agar interaksi masyarakat dapat berjalan baik. Selain dapat mendorong
tumbuhnya ekonomi kerakyatan, pasar tradisional ini juga memiliki kelebihan
dalam membangun interaksi yang konsisten antara penjual dan pembeli. Lewat
interaksi itu, dengan sendirinya akan terbangun sentimen sosial di kalangan
masyarakat Jakarta yang majemuk ini.
”Di pasar, terjadi interaksi positif antara
pembeli dan penjual. Tawar-menawar itu sangat manusiawi. Dengan sendirinya
dapat mengurangi kesenjangan sosial,” jelas Riza.
Sementara yang terjadi saat ini di Jakarta
malah sebaliknya. Dengan komposisi penduduk masih didominasi warga miskin,
pasar yang dibangun lebih banyak adalah pasar modern, seperti mal dan
minimarket. Tak hanya menyebabkan munculnya ketimpangan sosial, tetapi pendirian
mal di Jakarta telah menyingkirkan ruang terbuka hijau.
”Dampak lainnya tak hanya mengakibatkan ruang
terbuka hijau menghilang. Anak-anak di Jakarta sekarang ini juga jadi lebih
banyak menghabiskan waktunya di mal dibandingkan bermain di taman dan berkunjung
ke museum,” jelas suami dari Ellisa Sumarlin ini.
Pengalamannya dalam organisasi kemasyarakatan
memang telah membentuk pola pikir Riza untuk memandang masyarakat sebagai
potensi pembangunan. Dalam konteks Jakarta, lanjutnya, masyarakat merupakan
potensi yang harus dikembangkan kemampuannya.
”Apalagi sejarah telah menunjukkan, Jakarta
sangat potensial dikembangkan sebagai kota jasa. Sejak kolonial Belanda hingga
saat ini, Jakarta selalu ramai didatangi pedagang,” jelasnya.
Untuk mendukung Jakarta sebagai kota jasa,
perlu dikembangkan kemampuan warga di kota itu. Aksesibilitas warga terhadap
pendidikan harus dibuka seluas-luasnya sehingga tingkat pendidikan warga
Jakarta dapat meningkat. Warga yang memiliki keterampilan tertentu juga semakin
banyak sehingga mereka bisa menjangkau lapangan pekerjaan dengan mudah.
Mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa,
menurut Riza, juga perlu dimengerti dahulu kompleksitas di Ibu Kota ini. Untuk
itu, lanjutnya, dibutuhkan pemimpin yang kuat. ”Kita tahu di kota ini ada banyak
kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda. Untuk itu, dibutuhkan pemimpin
yang kuat seperti Hendardji dan saya siap membantunya karena saya juga memiliki
kepribadian yang kuat,” jelasnya.
Dalam menjaga keseimbangan dengan beragam
kelompok yang berbeda, Riza memang sudah memiliki bekal untuk itu. Bahkan untuk
saat ini, selain aktif sebagai anggota Majelis Pemuda Indonesia di Komite
Nasional Pemuda Indonesia, Riza juga menjabat sebagai salah satu Ketua Dewan
Pimpinan Pusat Gerindra dan juga anggota Badan Seleksi Organisasi Partai
Gerindra.
”Di Gerindra, saya aktif menjalin komunikasi
dengan partai politik lainnya. Ini sudah tidak jadi masalah meski saya
mencalonkan diri dari jalur perseorangan,” katanya.
Namun, relasi yang sudah terbangun dengan
partai-partai politik itu, ditegaskan Riza, tidak akan membuat dia berpaling
dari masyarakat dalam membuat kebijakan pemerintah. ”Sebagai calon
perseorangan, saya akan tetap memperjuangkan kepentingan masyarakat Jakarta,
bukan kepentingan segolongan orang atau partai politik,” jelasnya.
Kalau dari Gerindra, kenapa mendaftar sebagai
calon wakil gubernur dari jalur perseorangan? Riza memaparkan bahwa pengurus di
Partai Gerindra memberikan keleluasaan bagi dirinya untuk ikut dalam bursa
Pilgub DKI meski itu lewat jalur perseorangan. ”Meski Gerindra mengusung Ahok
(Basuki Tjahaja Purnama) sebagai cawagub dengan Joko Widodo, Ketua Dewan
Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto memberikan restu untuk maju dalam
jalur perseorangan,” jelasnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar