Gagasan
Berbagi dalam Pendidikan 2.0
Iwan
Pranoto ; Guru Besar Institut Teknologi
Bandung
Sumber :
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2012
PADA
Era Industri di abad yang lampau, dunia bisnis berkompetisi satu sama lain.
Satu industri berkompetisi untuk mengalahkan industri pesaingnya.
Untuk
dapat bertahan, industri pesaing harus dikalahkan. Itulah pakem dalam dunia
industri masa itu. Lalu, apakah sifat berkompetisi masih sesuai dengan masa
kini? Lebih penting lagi, apakah sikap berkompetisi itu sejalan dengan dunia
pendidikan masa modern ini? Jika diamati, kehidupan di dunia global masa modern
ini sangat berbeda.
Saat ini kehidupan menuntut manusianya semakin bijak.
Manusia modern dituntut memanfaatkan jagat semesta untuk diwariskan dalam
bentuk yang baik bagi generasi mendatang. Greed
atau keserakahan yang kerap mendasari kehidupan era terdahulu telah
digantikan gagasan berbagi di era saat ini.
Kompetisi Sudah Kuno
Apakah
inovasi Google dan Facebook dipicu kompetisi? Tidak,
inovasi keduanya lahir sama sekali bukan dipicu kompetisi atau semangat ingin
mengalahkan pesaing. Google
diciptakan pada saat belum ada mesin pencari. Jadi, belum punya pesaing. Google dibuat pertama kali dengan tujuan
memudahkan orang dalam menggali informasi di internet.
Facebook diciptakan mulanya hanya untuk
memudahkan mahasiswa berbagi rujukan atau referensi dalam penulisan tugas.
Jadi, inovasi dua perusahaan modern itu dipicu gagasan berbagi. Inovasi modern lain yang fenomenal seperti Youtube, Dropbox, TEDx, Khan Academy, Udacity,
dan banyak lainnya juga dipicu gagasan
berbagi.
Seorang
guru besar dari Universitas Stanford,
Sebastian Thrun, beberapa bulan lalu mengundurkan diri dari Stanford dan memutuskan mengembangkan Udacity, yang menyediakan perkuliahan
gratis secara online. Dalam situs
pribadinya, dia menegaskan pendidikan bermutu harus dapat dirasakan siapa saja,
di mana saja, dan kapan saja.
Salman
Khan pun keluar dari pekerjaannya di Wall
Street untuk membangun pendidikan gratis bagi semua melalui Khan Academy-nya. Itu semua menunjukkan
gagasan berbagi benar-benar sudah menjadi pakem paling penting di kehidupan
modern ini.
Sebaliknya,
semangat mengalahkan orang lain sudah sangat kuno. Dalam filmnya, An Inconvenient Truth, Al Gore menyindir
pemerintahan masa modern yang sering menerapkan old habits plus new technology. Sikap serakah mengeksploitasi alam,
gemar berperang, dan kompetisi untuk mengalahkan orang lain yang subur di masa
lalu, jika diterapkan sekarang dengan menggunakan teknologi modern, dampaknya
akan luar biasa. Jika skala dampak perilaku kuno itu dahulu kecil, dengan
teknologi atau senjata modern sekarang ini, dampaknya dahsyat dan sangat sulit
dikoreksi.
Jika
Indonesia dahulu selalu dibanggakan dalam sifat gotong royongnya, kenyataan
yang tumbuh subur saat ini justru semangat individualistis untuk mengalahkan
orang lain. Mungkin dalam olahraga, spirit mengalahkan orang lain itu wajar.
Namun dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, gagasan berbagi jauh lebih
dibutuhkan bangsa ini.
Pada
masa lalu, semangat kompetisi telah disisipkan dalam dunia pendidikan. Sampai-sampai
bagi sebagian besar orang, kompetisi itu sudah dianggap normal. Keadaan
kompetensi satu anak diadu dengan anak lain dianggap normal. Produktivitas satu
guru diadu dengan guru lainnya juga dianggap normal.
Itu
mirip dengan adu jangkrik. Jangkrik yang kalah dibuang. Sangat mungkin, cara
pandang seperti itu disebabkan menganalogikan sekolah dengan pabrik. Kalau
sebuah pabrik hendak memproduksi kursi, kayu yang tak memenuhi standar tentu
dibuang.
Namun,
pantaskah analogi tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan? Pendidikan tidak
berhadapan dengan benda mati, tetapi manusia. Sungguh tak manusiawi melabel satu
anak manusia sebagai apkiran/produk gagal dalam proses pendidikan, walaupun dia
tak mencapai standar kompetensi yang diharapkan. Perlu dicatat, pendidikan umum
sangat berbeda dengan pelatihan atau ujian profesi.
Pendidikan 2.0
Pengelolaan
pendidikan yang meniru cara mengelola pabrik pada Era Industri -kita sebut saja Pendidikan 1.0--mengidealkan lulusan
yang memiliki kompetensi seragam. Saat itu pendidikan memang dituntut untuk
menghasilkan buruh yang patuh dan berketerampilan seragam yang diperlukan
pabrik. Jadi, semangat kompetisi merupakan gagasan yang cocok saat itu. Keinginan
buruh bekerja keras dengan berkompetisi tentunya juga sangat menyenangkan
pabrik. Lulusan pendidikan yang kreatif dan pemikir kritis tak dibutuhkan pada
masa itu.
Kemudian,
Pendidikan 1.0 yang mendewakan budaya kompetisi membenarkan upaya memacu siswa
agar belajar keras dengan cara mengadu satu siswa dengan siswa lainnya.
Indikator numerik seperti nilai ujian secara sempit menjadi tolok ukur tunggal
yang digunakan untuk mengevaluasi siswa.
Dampaknya,
satu siswa biasa berusaha mengalahkan siswa lain dalam indikator tersebut. Sudah
sangat biasa kita amati seorang siswa kita tidak mau membantu temannya karena
takut nilainya dikalahkan temannya itu. Itulah sikap yang tumbuh di Pendidikan
1.0.
Namun,
pendidikan di era sekarang yang disebut Pendidikan 2.0 sangat berbeda.
Pendidikan 2.0 tidak meletakkan kompetisi sebagai nilai yang paling penting.
Semangat mengalahkan orang lain sudah diganti dengan gagasan berbagi. Dalam
kaitan ini, jika dimaknai sebagai suatu proses rekayasa sosial dalam upaya
menawarkan gagasan alternatif bagi masyarakat, pendidikan berperan sangat
penting dalam pengembangan kebudayaan. Khususnya, jika budaya berkompetisi
serta sifat individualistis dan nafsu mengalahkan orang lain sekarang bertumbuh
subur di masyarakat, itu merupakan tugas Pendidikan 2.0 untuk menawarkan
gagasan alternatif. Gagasan alternatif yang ditawarkan Pendidikan 2.0 ialah
budaya berbagi.
Sekolah di Era Berbagi
Tugas
guru di Pendidikan 2.0 ialah mengajak semua siswa terlibat dalam kegiatan
belajar. Kata `semua' di sini berarti bahwa dari siswa yang paling pandai
sampai yang paling lemah atau yang paling enggan belajar pun harus menjadi
berhasrat terlibat pembelajaran.
Permasalahan
muncul jika kompetisi digunakan dalam pembelajaran. Siswa yang pandai dalam
mata pelajaran tertentu itu memang akan terlibat. Namun, bagaimana dengan siswa
lemah dan yang sudah enggan belajar? Sangat wajar jika siswa-siswa lemah akan
bereaksi menjadi pasif dan tak berminat terlibat aktif dalam kelas yang
bernorma kompetisi.
Kalau
suasana kompetisi antarindividu seperti itu dipaksakan di dalam kelas, siswa
lemah akan semakin enggan belajar dan mereka akan semakin jauh tertinggal.
Dampaknya, siswa-siswa tersebut akan menjadi pasif atau malah bereaksi dengan
mengganggu kelas. Itu reaksi yang manusiawi untuk survive atau bertahan. Apakah tidak ada siswa lemah yang menjadi
giat belajar karena iklim kompetitif? Mungkin saja ada, tetapi peluangnya
sangat kecil. Umumnya, mereka akan semakin tidak ingin terlibat dalam
pembelajaran.
Lalu,
apakah memang tidak boleh sama sekali menggunakan suasana kompetisi dalam
kelas? Jika kompetisi yang dimaksud ialah kompetisi antarindividu, sebaiknya
tidak. Namun, kompetisi antarkelompok itu baik. Keadaan psikologis individu dan
kelompok dalam menghadapi suasana kompetisi sangat berbeda. Terutama, sangat
berbeda pada siswa yang sudah enggan belajar.
Akan
tetapi, walaupun sikap kompetisi mungkin saja punya sisi positif dalam
pendidikan di era sekarang, sikap sekaligus karakter berbagi tetap jauh lebih
relevan dan mulia jika dibandingkan dengan semangat mengalahkan orang lain.
Pendidikan 2.0 perlu mengirimkan pesan ke masyarakat kita bahwa gagasan berbagi
itu prinsip utama dalam era modern ini.
Pesan
ini antara lain dapat dicetuskan melalui sebuah sistem rubrik yang secara tegas
meletakkan sikap membantu orang lain sebagai nilai termulia dan paling dihargai
di sekolah.
Misalnya,
sekolah dapat menetapkan nilai C untuk siswa yang memenuhi standar minimum,
nilai B untuk siswa yang melebihi standar minimum, dan A untuk siswa yang sudah
melebihi standar minimum dan berhasil mengajar siswa lain yang tadinya bernilai
D menjadi C. Dengan sistem rubrik seperti itu, pesan kita sebagai Guru 2.0
sangat jelas, semangat kolaborasi dan membantu orang lain ialah sikap paling
mulia. Pendidikan 2.0 bertanggung jawab menyuburkan budaya berbagi untuk
bangsa. ●
Pak guru besar kita ini terlalu memaksakan mengambil contoh google dan facebook hanya untuk sekedar menjelaskan "Gagasan Berbagi dalam Pendidikan 2.0".
BalasHapusGoogle itu lahir untuk menekuk yahoo yang lamban. Facebook meminggirkan friendster, myspace, dan puluhan lainnya.
Bukan ruh kompetisi yang hilang diganti oleh semangat berbagi. Tapi pada zaman sekarang, berbagi (sharing) adalah kompetisi itu sendiri. Semakin banyak berbagi semakin besar peluang memenangkan kompetisi.
Facebook dan google (sebagai produk) dibagikan gratis. Karena itulah, setidaknya hingga saat ini, mereka jadi pemenang!
Awesome . Although in reeality : [I]n the nature of man, we find three principal causes of discord. First, competition (greed), secondly distrust (fear), thirdly glory (honor). The first makes men invade for gain; the second for safety; and the third for reputation. Sometimes a man is a hell to his neighbour. But on another hand a man actually becoming an angel , a good fellow like a good samaritan(homo homini socius). So what could we do to keep people healthy and to the future of mankind!!By the way the most relliable concept of culture of sharing is Muhammad Yunue THROUGH his Grameen Bank Concept or Mother Teresa from Calcutta,or in Mathematics itself is Grigory Parelman who decline 'Fields Medals' .The Millennium Prize Problems are seven problems in mathematics that were stated by the Clay Mathematics Institute in 2000. On March 18, 2010, the Clay Mathematics Institute awarded Perelman the $1 million Millennium Prize in recognition of his proof.Perelman rejected that prize as well.He is a true mathematician , refusing popularity and money. Parelman also a good role model to us , to everyone. The next is Michael Faraday as a good one as example. At Last we must gratitude to Sir Tims Berners Lee who invent 'WWW' . As aninventor of the World Wide Web(WWW), Berners Lee can gain money but he didn't, he share it to everyone in everywhere.They are angel to the world, who lit up the world and humanity, they push human race forward
BalasHapusRegards ( From Cak Panglos/Charles Harvards)