Pro-Kontra
Kilang BBM
Ari
Soemarno ; Mantan Dirut Pertamina,
Konsultan Migas
KOMPAS, 29 Juni 2012
Sudah sering kita baca beragam pernyataan
ihwal pentingnya pembangunan kilang minyak baru di Indonesia. Fakta yang
dihadapi: konsumsi BBM naik terus, sementara kapasitas kilang dalam negeri
sangat terbatas sehingga impor bahan bakar cair/minyak meningkat saban tahun.
Sebenarnya dalam 15 tahun ini Pertamina,
operator utama kegiatan hilir minyak di Indonesia, telah membuat banyak kajian
untuk menambah kapasitas kilang. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, BUMN ini
telah menandatangani beberapa nota kesepahaman dengan beberapa negara produsen
minyak mentah: Arab Saudi, Libya, Iran, dan Kuwait. Banyak pula pihak swasta
yang berminat investasi pembangunan kilang.
Mengapa sampai hari ini tiada realisasinya?
Bahkan, terlihat seolah-olah ada ”kekesalan” di kalangan pemerintah, yang
tampak dalam pernyataan bahwa pemerintah sendiri akan langsung melakukan
investasi dan segera menyediakan dana Rp 1 triliun untuk kajian dan rekayasa
awal.
Faktor Keekonomian
Dalam dunia perminyakan setidaknya tersua dua
argumentasi pembangunan kilang: keekonomian dan ketahanan energi. Keekonomian
atau penciptaan nilai tambah dihitung dari pendapatan yang dihasilkan dikurangi
biaya pengadaan bahan baku (minyak mentah) dan biaya variabel, termasuk bahan
bakar. Hasilnya dikenal sebagai margin pengilangan (MP).
MP sangat fluktuatif, mengikuti fluktuasi
harga pasar minyak mentah dan produk hasil olahan kilang. Fluktuasi lebih dari
70 persen dalam satu tahun atau 40 persen dalam satu bulan lumrah belaka.
Sebagai gambaran, MP di Singapura, salah satu pusat kilang dunia, dalam
1998-2010 bergerak antara minus 1 dollar AS dan plus 10 dollar AS per barrel.
Inilah salah satu masalah utama dalam membaca keekonomian bisnis kilang:
stabilitas profitabilitas investasinya sulit diperhitungkan.
Sementara itu, pembangunan kilang adalah
bisnis padat modal dan berjangka waktu panjang. Diperlukan investasi 8 miliar-9
miliar dollar AS, masa pembangunan 5-6 tahun, untuk proyek kilang baru dengan
kapasitas olah 400.000 barrel minyak mentah per hari, kapasitas optimal saat
ini. Masa investasi kembali 10 bahkan 15 tahun. Wajar bila investor minta
keterjaminan profitabilitas bagi investasinya.
Negara pengundang investor umumnya bersedia
memberi untung (IRR) untuk investasi kilang sekitar 15 persen, bahkan dapat
lebih tinggi lagi, dengan masih memperoleh MP rata-rata 5 dollar AS per barrel
selama masa pengembalian pendanaan proyek. Kondisi keekonomian seperti inilah
yang menarik bagi investor sekaligus bagi dunia perbankan yang akan terlibat.
Kondisi di atas umumnya bisa dicapai kalau
pemerintah memiliki visi keekonomian yang kuat, dilengkapi kesadaran bahwa
keberadaan kilang penting menjamin ketahanan energi di dalam negeri sebab bila
hanya mengikuti kondisi pasar minyak dan produk minyak saja, bisnis kilang tak
menarik bagi investor.
Faktanya, bila hanya berdasarkan harga pasar
komoditas minyak dan BBM, maka IRR 8 persen saja. Insentif berupa pembebasan
sementara pajak, pembebasan bea masuk, dan lain-lain paling banyak hanya dapat
menaikkan IRR sekitar 2 persen.
Contoh realisasi kilang baru adalah Red Sea
Refinery di Arab Saudi yang sedang dalam konstruksi. Rencana operasi akhir
2014. Kapasitasnya 400.000 barrel per hari dan investasi awalnya 8 miliar
dollar AS, tapi diperkirakan dapat membengkak menjadi 12 miliar dollar AS.
Kilang ini merupakan patungan Saudi Aramco
(63 persen) dan BUMN Migas China Sinnopec (37 persen). Bisnis bisa berjalan
karena Saudi Aramco berani menjamin IRR 15 persen dan MP neto 5 dollar AS per
barrel. Jaminan itu adalah dalam bentuk rabat harga minyak mentah antara 4 dan
8 dollar AS per barrel. Mengapa Saudi mau melakukan hal ini dan mengapa BUMN
China bisa menjalankannya? Jawabnya: adanya pertemuan antara keekonomian dan
kepentingan jaminan pasokan BBM. Itulah argumentasi ketahanan energi.
Mari kita lihat fakta pembangunan kilang lain
yang dilakukan BUMN migas China, CNPC, di Jieyang, Guandong, (40 persen
dimiliki PDVSA-Venezuela) berkapasitas 400.000 barrel per hari dengan investasi
9,3 miliar dollar AS. Karena minyak mentahnya diimpor dari Venezuela dengan
harga pasar, jaminan untuk IRR diberikan Pemerintah China dalam bentuk premium
sebesar 20-25 persen di atas harga pasar produk BBM yang dihasilkan.
Bisnis Kilang Global
Fakta lain yang harus diperhitungkan
Pemerintah Indonesia adalah kecenderungan kelebihan pasokan produk hasil kilang
dunia, khususnya Asia Pasifik dalam beberapa tahun ini. Dengan mulai
beroperasinya kilang baru di Timur Tengah, China, dan India, mulai 2015
kelebihan akan bertambah. MP akan tertekan. Data perminyakan menunjukkan bahwa
tingkat utilitas kapasitas kilang Asia Pasifik saat ini rata-rata hanya bisa
75-85 persen.
Akibatnya, banyak kilang lama di negara
industri maju (AS, Jepang, dan Eropa Barat) yang berhenti operasi karena tak
ekonomis, kalah kompetitif dengan kilang baru yang lebih modern dan efisien. Di
sana hampir dalam 20 tahun terakhir tak ada lagi kilang baru yang dibangun.
Selain keekonomiannya rendah, konsumsi BBM di sana juga menurun sebagai hasil
dari peningkatan efisiensi dan diversifikasi energi.
Karena profitabilitasnya kian rendah,
perusahaan migas utama dunia seperti BP, ExxonMobil, dan Chevron memperkecil
portofolio bisnis kilang dan hilir minyak secara keseluruhan. Namun, negara
industri baru seperti China dan India terus melakukan pembangunan kilang baru.
Bila tahun 2000 kapasitas kilang di China 5,4 juta barrel per hari dan India
2,2. Maka, saat ini China 9,5 dan India 3,6. Kapasitas meningkat meski dari
segi keekonomian pasar tak mendukung.
Demikian juga terjadi di negara produsen
minyak bumi seperti Arab Saudi dan Kuwait. Pertimbangan mereka adalah ketahanan
energi. Pemerintahnya memberi insentif dan menciptakan kondisi dengan berbagai
langkah strategis agar keekonomian investasi tercapai dan terjamin untuk jangka
panjang, khususnya melalui BUMN migasnya.
Kilang BBM diposisikan sebagai infrastruktur
esensial untuk menyediakan komoditas energi yang strategis, tidak saja bagi
kegiatan perekonomian, tetapi juga dari aspek pertahanan dan keamanan, di
samping pertimbangan bisnis jangka panjang.
Bila ingin seluruh kebutuhan BBM diproduksi
di dalam negeri, diperlukan saat ini kilang baru dengan kapasitas sekitar
600.000 barrel per hari. Dengan tingkat kenaikan konsumsi 5 persen per tahun,
akan diperlukan tambahan kapasitas kilang sekitar 400.000 barrel per hari
setiap 5 tahun. Dari segi keekonomian murni, jelaslah proyek kilang baru di
Indonesia pasti tidak layak. Jadi, hal ini hanya bisa dilakukan kalau
kebutuhannya adalah untuk ketahanan energi.
Alasan yang menyatakan bahwa penambahan
kapasitas kilang dalam negeri akan memperbaiki neraca impor dan ekspor migas
ataupun harga BBM akan bisa lebih murah: sesat pikir.
Pertama, tambahan kapasitas kilang memang
mengurangi impor BBM, tetapi impor minyak mentah akan meningkat (dari dalam
negeri tidak tersedia). Kedua, harga BBM keluar dari kilang 85-90 persen
ditentukan oleh harga minyak, sedangkan kontribusi biaya total operasional
kilang 10-15 persen saja.
Keberadaan kilang di dalam negeri akan
mengurangi ketergantungan dari operasi kilang dan pasar BBM di luar negeri. Di
pihak lain, ketergantungan pada impor minyak mentah meskipun bertambah,
pasarnya lebih stabil dan juga pasokannya lebih bisa dipastikan melalui
keterlibatan produsen minyak dalam investasi kilang dan/atau kontrak pembelian
jangka panjang yang dijamin secara ”pemerintah ke pemerintah”.
Perlu disadari, penyediaan minyak dari sumber
dalam negeri di masa depan masih sulit diharapkan. Produksi saat ini hanya
900.000 barrel per hari dan cenderung terus menurun. Konsumsi BBM sekarang
sudah setara minyak 1,3 juta barrel per hari dan akan terus meningkat sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan produksi hanya mungkin dengan
penemuan cadangan baru yang signifikan. Kalaupun itu ditemukan hari ini, produksinya
baru 5-10 tahun mendatang dan 10 tahun lagi konsumsi BBM sudah akan mencapai 2
juta barrel per hari setara minyak. Tidaklah mungkin kita bisa mencapai
produksi setinggi itu. Kita perlu menyadari benar dan mengubah pola pikir
secara mendasar bahwa ke depan kita akan terus menjadi importir neto minyak.
Ke Depan
Karena kilang salah satu elemen penting
infrastruktur hilir untuk meningkatkan ketahanan energi, penambahan kapasitas
dalam negeri harus dilakukan. Kelayakan keekonomiannya harus dapat diciptakan
untuk jangka panjang agar menarik bagi investor dan dapat memperoleh pendanaan
dari perbankan.
Terdapat berbagai cara untuk
merealisasikannya. Pertama, dibiayai penuh oleh pemerintah seperti kilang
Dumai, Balikpapan, dan Cilacap pada 1980-an (didanai APBN sekitar 4 miliar
dollar AS). Namun, waktu itu kita masih eksportir neto minyak dalam jumlah
besar dan mendapat windfall revenue
dari melonjaknya harga minyak. Kedua, memberdayakan Pertamina dengan
menggandeng investor lain, khususnya produsen minyak. Kondisi dasar harus
diciptakan: bagaimana IRR dapat dijamin.
Kita perlu melihat apa yang dilakukan negara
lain yang berhasil membangun kilang. Ada banyak jalan ke Roma. Perlu
kesepakatan semua pihak terkait bahwa kilang mutlak diperlukan untuk ketahanan energi
negara kita. Ketahanan identik dengan keterjaminan kelangsungan pasokan, dan
keterjaminan selalu perlu biaya tambahan, premium. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar