“Si
Pitung” yang Sedang Men-jazz-kan Jakarta
Bagus
Takwin dan Niniek L Karim ; Pengajar di Fakultas Psikologi UI
Sumber :
KOMPAS, 25 Juni 2012
”Saya kerja jadi gubernur, pakai target. Ada
semua indikator keberhasilannya…. Jadi saya tidak terlalu ambil pusing jika
orang bilang, ini enggak, ini gagal, ini gagal. Ukuran saya bukan itu, ukuran
saya indikator-indikator itu.”
Ucapan Fauzi Bowo ini mewakili
kepribadiannya. Ada sifat teratur dan disiplin pada dirinya. Fauzi adalah orang
yang berhasrat untuk menjaga segalanya terorganisasi dan tertata. Ia juga orang
yang produktif dan mengedepankan etos kerja. Di sisi lain, ia terkesan tidak
memedulikan apa yang dipikirkan orang tentang dirinya dan apa yang
dikerjakannya. Ia berpegang pada prinsip dan aturan yang diyakini dapat
memberikan kebaikan bagi banyak orang.
Hal ini mengingatkan kita lagi kepada si
Pitung, legenda Betawi itu. Ia cenderung bereaksi negatif terhadap kritik yang
tak disertai argumentasi dan tanpa solusi. Ekspresi wajah yang tak menggubris
itu bisa menyinggung pihak lain. Tidak gampang dipengaruhi opini atau keluhan
tak mendasar, tetapi ia siap mendengar dari para ahli.
Latar belakang keluarga dan pendidikan Fauzi
Bowo membiasakannya menjadi orang disiplin dan teratur sejak kecil. Dari ayah,
ia mendapat kebiasaan hidup disiplin, teratur, dan teliti. Dalam wawancara kami
dengan Fauzi, ia menyatakan; ”Ayah saya sangat meticulous (hati-hati, peka terhadap detail, teliti)… sifat itu
saya dapat dari dia.” Ketekunan dan kegigihan menjalani pekerjaan hingga
memperoleh hasil yang baik merupakan contoh yang ditunjukkan oleh ayahnya.
Pengaruh terbesar didapat Fauzi dari ibunya.
”Ibu saya, barangkali, dia driving force
(daya dorong) buat saya sejak kecil. Jadi dia yang memotivasi, mendorong, juga
memfasilitasi antara hobi, main, dan agama.” Banyak nilai yang ditanamkan ibu,
tetapi yang dianggapnya paling penting dan ia pegang adalah ”jika kamu
mengerjakan sesuatu, kerjakan sungguh-sungguh”. Itu diterapkan di berbagai
aspek.
Pada masa kecilnya, Fauzi didorong untuk
mengetahui dan mempelajari banyak hal. Di rumah lelang milik kakek dan
neneknya, Fauzi melihat banyak hal yang kemudian menggugahnya untuk punya minat
luas. Sejak kecil ia sudah menekuni banyak hobi, seperti mengumpulkan prangko
dan koin, mendengarkan musik, serta mengoleksi karya seni.
Ibunya selalu memberi penekanan, ”Kalau kamu
mengoleksi sesuatu, kamu harus tahu apa yang kamu koleksi.” Oleh sang ibu, ia
didorong untuk banyak membaca. Di rumahnya ada banyak buku, termasuk
ensiklopedia. Sejak SD ia sudah dibiasakan membaca Britannica Encyclopedia dan
ensiklopedia berbahasa Belanda. Dua ensiklopedia ini menjadi referensinya waktu
kecil. Keterbukaannya terhadap pengalaman dan hal baru sudah terbentuk sejak
kanak-kanak.
”Saya ingin Jakarta seperti jazz. Setiap
warganya ikut aktif bermain.” Ucapan Fauzi ini menyiratkan keterbukaannya
kepada banyak hal.
Jazz adalah musik yang menuntut pemain dan
pendengarnya memiliki keterbukaan yang tinggi. Riset mengenai hubungan musik
dan kepribadian menunjukkan bahwa orang yang menyukai jazz memiliki apresiasi
tinggi terhadap seni, memanfaatkan emosi, suka bertualang, memiliki ide yang
tak biasa, dan imajinatif, serta punya rasa ingin tahu yang besar. Sifat
terbukanya ia proyeksikan kepada Jakarta. Apa yang Fauzi inginkan dari Jakarta
mencerminkan yang ingin ia lakukan bagi dirinya.
Jakarta yang kompleks bisa diibaratkan musik
jazz. Beragam unsur yang berbeda ada di sana dengan kepadatan luar biasa. Bukan
hanya padat oleh orang, rumah, dan kendaraan, Jakarta juga padat oleh
aktivitas, keyakinan, gagasan, kebutuhan, keinginan, harapan, mimpi,
kepentingan, dan lain-lain.
Bagaimana memadukan semua itu menjadi polyphony (paduan dari beragam bunyi
independen), bukan cacophony
(gonggongan segerombolan anjing), sehingga menghasilkan kebaikan bagi semua
orang merupakan persoalan utama Jakarta. Fauzi menunjukkan ambisi untuk
mencapai polyphony itu lewat
ucapannya, ”Saya ingin Jakarta seperti jazz.”
Untuk memadukan berbagai unsur Jakarta
diperlukan keterbukaan sekaligus keteraturan. Beragam unsur Jakarta tak dapat
dipahami dan dirangkul tanpa keterbukaan. Kompleksitas kota ini membutuhkan
aturan yang ajek dengan tetap meleluasakan warganya menampilkan subyektivitas
masing-masing.
Fauzi punya kualitas itu. Namun, diperlukan
juga sifat pengasuh dan keterampilan interpersonal yang baik untuk mengurus
Jakarta. Beragam orang dengan keinginan berbeda harus dipertemukan dengan
rangkulan yang disertai emosi positif. Mereka ingin didengar dan dianggap
penting.
Jakarta juga memerlukan kehangatan dan
keramahan; sesuatu yang sering kali dikesankan tak ada pada Fauzi Bowo.
Kecenderungannya berlaku seperti akademikus yang kritis dan dingin (kesan yang
biasanya dipancarkan orang pintar) sering ditafsirkan orang sebagai
ketidakpedulian dan arogan. Padahal, itu bukan sifat aslinya. Ia bisa hangat
dan bersahabat pada saat-saat lowong, humoris, dan punya minat sosial yang
tinggi.
Motif Sosial
Kecenderungan Fauzi Bowo untuk lebih fokus
pada tugas dan penyelesaian masalah yang dihadapinya sehingga terkesan ia
mengabaikan perasaan dan kepentingan orang lain. Hal itu karena didorong oleh
motif sosial untuk berprestasi yang tinggi. Kebutuhan untuk berprestasi adalah
pendorong terbesarnya. Didasari oleh nilai ”bermanfaat bagi banyak orang”, ia selalu
berusaha untuk mendapat hasil terbaik. Fauzi cenderung perfeksionistik, sifat
yang umumnya ada pada orang yang dipengaruhi ibu.
Fauzi punya hasrat besar untuk menyelesaikan
tugas seoptimal mungkin dan ingin mencapai sasaran secara realistis dengan risiko
yang diperhitungkan. Untuk itu, ia bekerja keras.
Keinginan untuk bermanfaat bagi banyak orang
mengindikasikan adanya kebutuhan akan kekuasaan pada diri Fauzi Bowo.
Bermanfaat dapat juga dipahami sebagai berpengaruh dan memiliki pengaruh
terhadap orang lain, yang merujuk pada Weber, itu berarti berkuasa.
Pengaruh itu ia hasilkan dari keahlian dan
sifat dapat diandalkan. Fauzi berusaha untuk memahami tugas dan pekerjaannya
sebaik mungkin, menjadi orang terbaik di bidangnya, dan menjadi orang yang
lebih mengerti dari orang lain dalam usahanya memberi pengaruh kepada
masyarakatnya.
Indikasi kebutuhan berkuasa juga terlihat
dalam gayanya yang tak jarang mendominasi diskusi dan pembicaraan. Kebutuhan
ini berkembang dari pengalamannya menjadi orang yang biasa diandalkan dalam
berbagai situasi. Kebutuhan yang mendorongnya selalu siap sigap menerima
tanggung jawab yang diembannya; berperan sebagai orang mengatur dan
mengendalikan orang lain.
Kepercayaan, Pikiran, Penalaran
”Sekarang…, bagaimana kita membuat politik
itu bermanfaat untuk kota ini dan untuk masyarakat.” Dengan pernyataan ini,
Fauzi Bowo menunjukkan kepercayaannya bahwa kehidupan politik adalah ajang
untuk mencapai harmoni. Ia percaya bahwa kehidupan politik dapat memberi
manfaat bagi masyarakat.
Pemahaman Fauzi Bowo mengenai kota dan
permasalahan Jakarta lewat program yang sudah diputuskan seperti MRT,
mengeluarkan obligasi daerah, membangun sea great wall (tembok laut besar)
untuk mengantisipasi kenaikan air setinggi 3 meter pada tahun 2025, yang konon
bisa menenggelamkan Jakarta, mengindikasikan kompleksitas pikiran yang tinggi.
Fauzi mampu melihat berbagai dimensi dari
satu persoalan dan menemukan benang merah dari dimensi itu. Pola penalaran yang
sistematis dapat terlihat dari kecenderungan untuk membahas masalah secara
komprehensif, hati-hati dalam mengidentifikasi masalah, dan menggunakan
prosedur yang terprogram rapi. Ia punya kerangka pikir komprehensif dalam
memandang permasalahan Jakarta dan berpegang pada kerangka itu saat mendekati
dan menyelesaikan masalah.
Keyakinan pada prinsip dan kerangka pikir
tersebut membuatnya percaya diri dan cenderung tidak mudah digugah orang lain.
Memegang disiplin ilmu yang ditekuni yang diyakini kebenarannya, menjadikannya
selektif dalam menerima masukan. Hal ini menyebabkan banyak orang menilainya
tak suka kritik. Kesan itu jadi lebih kuat oleh ucapannya,
”Saya tak mau ambil pusing orang bilang apa.”
Wujud kekuatan, karya, dan hasil kerjanya dalam tahapan terencana yang sudah
dan sedang terproses sering kali tertutup oleh kesan itu. Di periode
berikutnya, jika ia terpilih kembali menjadi gubernur, rasanya perlu bagi Fauzi
Bowo untuk lebih mengembangkan kepeduliannya terhadap reaksi orang, setidaknya
memberi tanggapan emosional yang positif. Dan kita makin teringat kepada si
Pitung, tentu saja si Pitung yang jazzy.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar