Impor
BBM dan Salah Kebijakan
Kurtubi
; Direktur Center for Petroleum and
Energy Economics Studies
KOMPAS, 29 Juni 2012
Ada logika sangat sederhana yang mestinya
jadi pegangan bagi mereka yang kebetulan duduk sebagai bagian dari pemangku kepentingan/penentu
kebijakan di bidang perminyakan nasional, khususnya yang menyangkut BBM, agar
kebijakan dan langkah yang diambil berada di jalur yang benar.
Di tingkat makro, logika sederhana itu adalah
semakin besar kapasitas ekonomi nasional seperti yang dicerminkan oleh jumlah
dan pertumbuhan PDB setiap tahun, semakin besar pula energi/BBM yang
dibutuhkan. Kebijakan yang benar adalah bagaimana agar energi/BBM bisa selalu
terpenuhi untuk seluruh kebutuhan agar roda perekonomian terus berjalan, bahkan
bisa dipercepat pertumbuhannya guna dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Sebaiknya dihindari kebijakan yang mengekang,
membatasi, menjatah kebutuhan BBM masyarakat. Kebijakan seperti itu berlawanan
dengan tujuan pertumbuhan ekonomi. Adapun masalah ”beban subsidi BBM” sebaiknya
dipecahkan dengan menggunakan kebijakan energi yang benar: diversifikasi dan
menaikkan harga bila dimungkinkan secara sosial politis.
Sementara di tingkat korporat, Pertamina
sebagai perusahaan yang 100 persen dimiliki negara seharusnya selalu berupaya
memenuhi kebutuhan BBM yang terus meningkat itu dengan menambah kapasitas atau
membangun kilang-kilang baru sesuai dengan tuntutan kebutuhan.
Kalau tidak, ketergantungan pada BBM impor
pasti akan terus meningkat dengan segala dampak negatifnya. Cadangan devisa
yang berpengaruh langsung pada nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terkuras.
Lahan ”mafia minyak” tumbuh subur, yang berujung pada inefisiensi impor. Biaya
pokok dan subsidi BBM terus meningkat. Ketahanan energi/BBM makin rawan.
Pasalnya, meski mekanisme impor minyak
(minyak mentah dan BBM) seperti yang diklaim Pertamina selama ini sudah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku (tender yang terbuka, transparan, lewat media
elektronik, dan sebagainya), sepanjang yang memasok atau menjual minyak ke
Pertamina itu adalah trader atau broker, tetap saja cara ini tak efisien alias
merugikan Pertamina dan merugikan negara.
Pembelinya Pertamina
Trader atau broker itu bukan produsen atau
penghasil minyak. Mereka membeli minyak dari produsen untuk dijual kembali. Dan
pembelinya adalah Pertamina! Padahal, kebutuhan impor minyak bersifat permanen
dan nilainya sangat besar, sekitar 35 miliar dollar AS per tahun atau sekitar
Rp 1 triliun per hari!
Maka, agar manajemen BBM nasional lebih
efisien, kebijakan Pertamina yang benar adalah segera membangun kilang baru.
Namun, sayang sekali, data statistik menunjukkan bahwa setidaknya dalam 12
tahun terakhir ini kapasitas kilang Pertamina relatif stagnan pada level
sekitar 1,1 juta barrel per hari.
Faktanya, Indonesia jauh tertinggal dari
negara-negara Asia lain. Dari tahun 2000 hingga 2010, China, India, Taiwan,
Thailand, dan Korea telah menambah kapasitas kilang masing-masing 4.714.000
barrel, 1.484.000 barrel, 465.000 barrel, 354.000 barrel, dan 114.000 barrel.
Kapasitas kilang Indonesia hanya sekitar 31.000 barrel, sementara kebutuhan BBM
sangat besar dan terus melonjak.
Dari data yang tersua di tabel, terlihat
bahwa meski margin membangun kilang itu konon ”relatif kecil” dibandingkan
dengan margin sektor hulu, China, India, Taiwan, Thailand, dan Korea tetap
membangun kilang-kilang baru karena ada manfaat lain yang sangat penting. Ia
menciptakan lapangan kerja, menimbulkan efek multiplikasi yang tinggi bagi
perekonomian dalam negeri, dan meningkatkan ketahanan energi/BBM negara yang
bersangkutan.
Menghapus Perburuan Rente
Bagi Indonesia, pembangunan kilang baru yang
ditujukan untuk berswasembada BBM dalam jangka panjang akan dapat menghapus
peluang dijadikannya impor BBM sebagai ajang perburuan rente. Keengganan
Pertamina membangun kilang merupakan kesalahan kebijakan: identik dengan
melanggengkan ketergantungan pada BBM impor. Kebijakan menghindari membangun
kilang baru sebaiknya segera diakhiri. Pemerintah harus menjadikan swasembada
BBM sebagai program nasional.
Sedangkan ketergantungan pada minyak mentah
impor kemungkinan besar akan bersifat permanen. Ini mengingat produksi minyak
mentah terus anjlok karena langkanya penemuan cadangan baru setelah
Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001. Meski secara geologis sumber daya
migas di perut bumi Nusantara relatif melimpah (minyak 50 miliar-80 miliar
barrel dan gas sekitar 350 triliun kaki kubik), cadangan terbukti yang
diproduksikan saat ini hanya sekitar 3,9 miliar barrel yang akan habis sekitar
12 tahun ke depan!
Sangat sulit bagi Indonesia keluar dari
perangkap importir neto minyak selama UU Migas tidak diganti atau dicabut.
Soalnya, dengan UU Migas, menurut survei Fraser Institute Canada tahun 2011,
kondisi investasi dan industri migas Indonesia menempati peringkat ke-114 dari
145 negara di dunia dan paling buruk di Asia dan Oceania. Lebih buruk dari
Timor Leste, Papua Niugini, atau Filipina. Satu-satunya penemuan cadangan baru
yang akan bisa meningkatkan produksi minyak mentah secara signifikan adalah Blok
Cepu yang ditemukan sebelum UU Migas ada.
Pembangunan kilang baru sebaiknya
diintegrasikan dengan strategi Pertamina Sektor Hulu untuk berekspansi ke luar
negeri dengan mengakuisisi lapangan-lapangan produksi di luar negeri yang dapat
mendukung dan memperkuat ketersediaan minyak mentah untuk diolah di kilang-
kilang Pertamina.
Selama ini strategi akuisisi atau membeli
lapangan migas dalam negeri yang dilakukan Pertamina kuranglah tepat. Selain
langkah itu tak punya dampak terhadap tingkat produksi minyak nasional, juga
tak mampu mengurangi ketergantungan Indonesia pada minyak mentah impor. Karena
itu, kebijakan dan strategi pembangunan kilang ke depan sebaiknya secara
terintegrasi ditujukan mengurangi ketergantungan pada BBM impor sekaligus
mengurangi ketergantungan pada minyak mentah impor karena lapangan minyaknya di
luar negeri dimiliki oleh Pertamina! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar