Menanti
Capres Stok Baru
R
Siti Zuhro ; Peneliti Senior LIPI
Sumber :
SINDO, 26 Juni 2012
Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014 masih dua tahun lagi.Tetapi, ingar-bingarnya sudah
mulai terasa. Sesuai konstitusi, SBY tak bertarung lagi. Sejauh ini calon presiden
(capres) Partai Demokrat masih gelap.
Yang
sudah jelas Partai Golkar, Gerindra, Hanura, dan PAN. Masing-masing mengusung
ketua umumnya dan merupakan tokoh stok lama. Bahkan, sebagian telah sibuk
bersafari. Yang menarik, beberapa di antaranya pernah gagal berkontestasi. Ini
menunjukkan tersendatnya regenerasi elite. Kalaupun ada, siklus elitenya
berputar di sekitar mereka saja. Salah satunya karena faktor ”gizi politik”.
Umum diketahui bahwa suasana kongres partai mirip arena perjudian. Besar-kecilnya
”gizi politik” sangat menentukan.
Umumnya tokoh stok lama sulit untuk ditandingi karena jaringan kapitalnya yang luas dan kuat. Gerakan Reformasi 1998 telah melahirkan demokratisasi. Salah satunya ditandai dengan tumbuh suburnya partai politik (parpol). Tetapi, harga demokrasi tidak murah seperti kebutuhan untuk membangun infrastruktur parpol. Yang terjadi kemudian adalah sulitnya membedakan antara politik dan bisnis sebab untuk masuk ke politik memerlukan tiket. Pemilihan kepala daerah (pilkada) pun cenderung menjadi ”panggung ketoprak” yang penuh ”kepura- puraan” karena berbalut ”bisnis” ketimbang ”panggung rakyat”yang gratis.
Konon, untuk paket hemat pemilihan gubernur (pilgub) di Jawa Barat, misalnya, setidaknya memerlukan Rp80 miliar.Padahal, gaji gubernur sekitar Rp8,7 juta. Atas dasar itu, pernyataan bahwa kedaulatan politik berada di tangan rakyat hanya sebuah retorika, apalagi dalam pencapresan. Secara tersurat konstitusi tidak memberikan akses pada publik untuk menentukan calonnya sebab ini hak prerogatif parpol sebagai ”agen”(lembaga politik) yang sah. UUD NKRI 1945 Pasal 6A ayat (2) hanya memberikan hak tersebut kepada parpol.
Ibarat dagangan, konsumen tak punya pilihan lain, kecuali membeli produk yang ditawarkan agen-agen resmi. Ketentuan tersebut bukan tak bisa digugat. Pertama, partai politik (parpol) adalah representasi publik yang berperan sebagai penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan publik.Dengan demikian, kedaulatan politik seharusnya ada di tangan publik. Kedua, konstitusi juga memberikan jaminan. Pasal 28 ayat 3 UUD NRI 1945 menyatakan, ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Karena itu, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih,baik calon DPR, DPD, bupati, gubernur, maupun presiden.Bila pilkada membolehkan ada calon independen, mestinya demikian pula halnya dengan pilpres. Lepas dari itu,dalam sistem pilpres langsung, parpol tak bisa menafikan aspirasi publik. Kecerdasan dalam membaca aspirasi publik sangat menentukan. Karena itu, menyuguhkan capres stok lama cenderung lebih berisiko.Persoalannya bukan karena usia, melainkan lebih karena model kepemimpinan dan rekam jejaknya (track record) yang telah diketahui publik dan sejauh ini umumnya dipandang tidak pro rakyat.
Sama dengan pemerintah, mereka lebih mengedepankan ”politik pencitraan” untuk kepentingannya ketimbang untuk kepentingan publik. Contoh paling jelas adalah masalah korupsi. Dalam hal ini, semua parpol menyatakan komitmennya pada pemberantasan korupsi, tetapi faktanya nyaris tak ada yang bebas dari persoalan tersebut sebab ”gizi politik” menjadi sebuah keniscayaan. Sulit terbantahkan bahwa persoalan terbesar Indonesia adalah masalah korupsi. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena itu. Predikat Indonesia sebagai negara terkorup bukan hal baru.
Belum lama ini survei persepsi korupsi 2011 terhadap pelaku bisnis yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hong Kong juga menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia-Pasifik. Tanpa menafikan faktor lainnya, kemenangan SBY pada Pilpres 2009 tak lepas dari kepiawaiannya dalam mengelola isu ”politik bersih”. Isu ini akan tetap penting pada Pilpres 2014. Yang juga tak kalah penting adalah isu pluralisme, toleransi, kebebasan agama, kemiskinan, serta isu ekonomi kerakyatan.
Kasus korupsi Bank Century dan Wisma Atlet, kasus kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah, kasus tabung gas dan kelangkaan premium, kasus sengketa tanah Mesuji, kasus TKI, dan kasus perburuhan adalah contoh kecil kasus sensitif yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Tetapi, sejak awal terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2, pemerintahan SBY dinilai gagal mengatasi isu-isu tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari indeks kepuasan publik. Juli 2009, misalnya, tingkat kepuasan publik tercatat 85%, tetapi kemudian menurun jadi 75% pada November 2009 dan 70% pada Januari 2010. September 2011 Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat bahwa tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan menjadi hanya 37,7%. Meskipun hasil survei yang dirilis The Fund for Peace (FFP) baru-baru ini yang menyebutkan Indonesia masuk kategori negara gagal urutan ke-63 dari 178 negara (www.sindonews.com, 20 Juni 2012), publik masih punya optimisme. Setidaknya karena tak ada tanda-tanda akan berulangnya peristiwa politik 1998.
Kalaupun ada sejumlah demonstrasi, hal tersebut masih dalam konteks kritik membangun. Dalam sistem demokrasi langsung optimisme publik untuk memperoleh capres yang relatif aspiratif cukup mendasar. Sementara itu, sejumlah partai masih belum menentukan capresnya. Melihat capres yang ada, bukan tak mungkin ada partai yang berani menampilkan tokoh stok baru yang populis, bersih,dan monumental. Di tengah rendahnya tingkat kepuasan publik pada pemerintah dan pimpinan partai, kesempatan tokoh stok baru cukup terbuka.
Dibandingkan tokoh stok lama, tingkat resistensi tokoh stok baru relatif lebih rendah. Apalagi bila diusung oleh partai yang tingkat resistensinya masih rendah, bersih, nonsektarian, dan memiliki mesin partai yang baik. Hal ini antara lain, ditunjukkan oleh SBY dan Partai Demokratnya dalam Pilpres 2004 dan 2009. Persoalannya, tokoh stok baru tersebut umumnya berada di luar partai. Tantangannya, apakah partai baru berani merangkul stok baru tersebut untuk Pilpres 2014? ●
Umumnya tokoh stok lama sulit untuk ditandingi karena jaringan kapitalnya yang luas dan kuat. Gerakan Reformasi 1998 telah melahirkan demokratisasi. Salah satunya ditandai dengan tumbuh suburnya partai politik (parpol). Tetapi, harga demokrasi tidak murah seperti kebutuhan untuk membangun infrastruktur parpol. Yang terjadi kemudian adalah sulitnya membedakan antara politik dan bisnis sebab untuk masuk ke politik memerlukan tiket. Pemilihan kepala daerah (pilkada) pun cenderung menjadi ”panggung ketoprak” yang penuh ”kepura- puraan” karena berbalut ”bisnis” ketimbang ”panggung rakyat”yang gratis.
Konon, untuk paket hemat pemilihan gubernur (pilgub) di Jawa Barat, misalnya, setidaknya memerlukan Rp80 miliar.Padahal, gaji gubernur sekitar Rp8,7 juta. Atas dasar itu, pernyataan bahwa kedaulatan politik berada di tangan rakyat hanya sebuah retorika, apalagi dalam pencapresan. Secara tersurat konstitusi tidak memberikan akses pada publik untuk menentukan calonnya sebab ini hak prerogatif parpol sebagai ”agen”(lembaga politik) yang sah. UUD NKRI 1945 Pasal 6A ayat (2) hanya memberikan hak tersebut kepada parpol.
Ibarat dagangan, konsumen tak punya pilihan lain, kecuali membeli produk yang ditawarkan agen-agen resmi. Ketentuan tersebut bukan tak bisa digugat. Pertama, partai politik (parpol) adalah representasi publik yang berperan sebagai penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan publik.Dengan demikian, kedaulatan politik seharusnya ada di tangan publik. Kedua, konstitusi juga memberikan jaminan. Pasal 28 ayat 3 UUD NRI 1945 menyatakan, ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Karena itu, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih,baik calon DPR, DPD, bupati, gubernur, maupun presiden.Bila pilkada membolehkan ada calon independen, mestinya demikian pula halnya dengan pilpres. Lepas dari itu,dalam sistem pilpres langsung, parpol tak bisa menafikan aspirasi publik. Kecerdasan dalam membaca aspirasi publik sangat menentukan. Karena itu, menyuguhkan capres stok lama cenderung lebih berisiko.Persoalannya bukan karena usia, melainkan lebih karena model kepemimpinan dan rekam jejaknya (track record) yang telah diketahui publik dan sejauh ini umumnya dipandang tidak pro rakyat.
Sama dengan pemerintah, mereka lebih mengedepankan ”politik pencitraan” untuk kepentingannya ketimbang untuk kepentingan publik. Contoh paling jelas adalah masalah korupsi. Dalam hal ini, semua parpol menyatakan komitmennya pada pemberantasan korupsi, tetapi faktanya nyaris tak ada yang bebas dari persoalan tersebut sebab ”gizi politik” menjadi sebuah keniscayaan. Sulit terbantahkan bahwa persoalan terbesar Indonesia adalah masalah korupsi. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena itu. Predikat Indonesia sebagai negara terkorup bukan hal baru.
Belum lama ini survei persepsi korupsi 2011 terhadap pelaku bisnis yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hong Kong juga menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia-Pasifik. Tanpa menafikan faktor lainnya, kemenangan SBY pada Pilpres 2009 tak lepas dari kepiawaiannya dalam mengelola isu ”politik bersih”. Isu ini akan tetap penting pada Pilpres 2014. Yang juga tak kalah penting adalah isu pluralisme, toleransi, kebebasan agama, kemiskinan, serta isu ekonomi kerakyatan.
Kasus korupsi Bank Century dan Wisma Atlet, kasus kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah, kasus tabung gas dan kelangkaan premium, kasus sengketa tanah Mesuji, kasus TKI, dan kasus perburuhan adalah contoh kecil kasus sensitif yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Tetapi, sejak awal terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2, pemerintahan SBY dinilai gagal mengatasi isu-isu tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari indeks kepuasan publik. Juli 2009, misalnya, tingkat kepuasan publik tercatat 85%, tetapi kemudian menurun jadi 75% pada November 2009 dan 70% pada Januari 2010. September 2011 Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat bahwa tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan menjadi hanya 37,7%. Meskipun hasil survei yang dirilis The Fund for Peace (FFP) baru-baru ini yang menyebutkan Indonesia masuk kategori negara gagal urutan ke-63 dari 178 negara (www.sindonews.com, 20 Juni 2012), publik masih punya optimisme. Setidaknya karena tak ada tanda-tanda akan berulangnya peristiwa politik 1998.
Kalaupun ada sejumlah demonstrasi, hal tersebut masih dalam konteks kritik membangun. Dalam sistem demokrasi langsung optimisme publik untuk memperoleh capres yang relatif aspiratif cukup mendasar. Sementara itu, sejumlah partai masih belum menentukan capresnya. Melihat capres yang ada, bukan tak mungkin ada partai yang berani menampilkan tokoh stok baru yang populis, bersih,dan monumental. Di tengah rendahnya tingkat kepuasan publik pada pemerintah dan pimpinan partai, kesempatan tokoh stok baru cukup terbuka.
Dibandingkan tokoh stok lama, tingkat resistensi tokoh stok baru relatif lebih rendah. Apalagi bila diusung oleh partai yang tingkat resistensinya masih rendah, bersih, nonsektarian, dan memiliki mesin partai yang baik. Hal ini antara lain, ditunjukkan oleh SBY dan Partai Demokratnya dalam Pilpres 2004 dan 2009. Persoalannya, tokoh stok baru tersebut umumnya berada di luar partai. Tantangannya, apakah partai baru berani merangkul stok baru tersebut untuk Pilpres 2014? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar