Reproduksi
Kekerasan Komunal
Bernando
J Sujibto ; Aktif di Peace Generation Yogyakarta
Sumber :
SUARA KARYA, 27 Juni 2012
Kekerasan komunal dari hari ke hari semakin mencekam di bumi
Pertiwi. Kekerasan tipe ini sebenarnya menjadi bagian dari serangkaian praktik
kekerasan yang tak kunjung tertangani secara baik. Papua sekarang kembali
bergolak dengan berbagai macam modus kekerasan di sana. Sementara konflik dan
kekerasan yang terjadi sebelumnya tak pernah tertangani secara tuntas,
misalnya, konflik Mesuji dan Bima yang menjadi bukti tentang wabah kekerasan
yang sebenarnya belum pulih. Kekerasan kita adalah kekerasan yang terus
bereproduksi dari kekerasan laten yang mendera sedemikian lama negeri ini.
Karena, negeri ini secara skeptis pernah disinggung oleh Freek Colombijn dan J
Thomas Lindblad (2002) sebagai 'negara kekerasan' (violent country).
Saya paham kenapa dua peneliti dari Belanda itu mengklaim
Indonesia sebagai violent country.
Salah satu indikator kuat yang bisa ditengarai sebagai bukti adalah munculnya
kekerasan yang tidak pernah tuntas ditangani, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat itu sendiri. Kekerasan yang tumpah ruah dan dibiarkan tidak
dicarikan jalan keluar (solusi) yang non-violence
(nir-kekerasan) akan menabung dan mereproduksi benih kekerasan baru yang suatu
saat nanti bisa lahir. Karena, sikap permisif terhadap kekerasan sama saja
dengan membiarkan kekerasan itu beranak-pinak.
Contoh sederhana yang perlu diperhatikan secara serius adalah
kasus kekerasan yang ditengarai sebagai kekerasan komunal terhadap kelompok
agama paham tertentu di Sampang. Dalam konteks ini, kita belum clear ada masalah apa sebenarnya yang
terjadi di sana. Media mem-blow up
secara gelegar tentang pembakaran terhadap pondokan kelompok tersebut.
Sementara berita yang berkembang di masyarakat lokal Sampang
Madura sendiri menganggap bahwa masalah mereka tidak seglamor dan seseram yang
diberitakan media massa. Mereka bahkan menganggap kasus Sampang adalah kasus
keluarga yang penanganannya tentu lewat cara-cara kekeluargaan dan lokal
setempat pula. Konflik Sampang semakin kalut karena media dan orang ataupun
kelompok yang berkepentingan sama-sama memperparah situasi.
Untuk menghadapi konflik dan kekerasan komunial yang terus
bermunculan, maka perlu digunakan pendekatan purity, yaitu proses investigasi dengan minimal asumsi tentang
konflik dan kekerasan untuk mendapatkan kejernihan suatu masalah. Kita hampir
tidak memakai cara ini karena pendekatan resolusi konflik yang sejauh ini
berjalan adalah blowing-up into public
(terserubut publik) dalam situasi yang masih prematur, sebelum clear di internal. Di sini peran media
yang mengekspos secara berlebihan dan mengeksploitasi korban kekerasan adalah
bentuk lain dari mata rantai kekerasan. Dalam kondisi seperti ini publik
seperti bersama-sama menjadi hakim dengan cara mengutuk dan menggelindingkan
isu secara liar.
Satu sisi saya menyadari kondisi tersebut. Karena, kenyataannya
pihak-pihak berwajib yang harus menjaga dan memelihara perdamaian tidak hadir.
Faktor negara yang lemah, tidak menjamin kenyamanan, keselamatan, ketenteraman
dan kedamaian hidup rakyat banyak, tentu menjadi faktor 'resolusi konflik
ramai-ramai' yang dipraktikkan sejauh ini. Lihat, misalnya, bentuk-bentuk
simpati yang secara kilat ditunjukkan rakyat ketika mereka menemukan
ketidakpuasan terhadap sikap kekerasan yang dilakukan oleh negara, atau sikap
ketidakadilan yang ditunjukkan oleh lembaga hukum.
Bentuk-bentuk 'pengadilan massal' yang melibatkan komentator dan
banyak tangan seperti itu sebenarnya bukan cara yang baik dalam resolusi
konflik. Penyelesaian konflik harus dilihat secara komprehensif, integratif,
dan akomudatif dengan prinsip nir-kekerasan aktif. Namun, sikap elegan seperti
ini tidak akan terjadi bagi negara yang lemah (atau bahkan gagak) dalam mengurus kenyamanan dan ketentraman rakyatnya.
Indonesia masih banyak keteteran dalam menangani konflik dan kekerasan.
Saya sadar itu, karena negara tidak secara penuh mendukung
kedamaian dan kenyamanan hajat rakyat banyak. Namun, negara memihak kepentingan
korporasi dan lembaga asing yang mendanai secara gelap oktom di kalangan elit.
Jelas sangat payah jika semua itu terus terjadi di negara kita. Karena, harus
disadari sejak awal bahwa akar perdamaian melalui proses peace building itu harus dimulai dalam tingkat grass roots, lokal masyarakat sendiri.
Peace building di tingkat lokal harus
segera dipraktikkan dengan memberikan rasa aman, nyaman, dan tenteram bagi
mereka. Ancaman-ancaman dalam bentuk apa pun terhadap rakyat sudah harus
dituntaskan sehingga rakyat bisa menjalani hidup secara normal dan harmonis.
Ruang dialog dan aspirasi harus dibuka secara lebar. Dalam kondisi demikian,
secara bersamaan proses peace keeping
dengan pendekatan lokal kita terus diselaraskan dengan kebutuhan dan dinamika
masyarakat sendiri. Dalam kondisi demikian, kekerasan komunal akan berkurang
pelan-pelan karena kepercayaan dan rasa kebersamaan sudah sudah terbangun.
Solusi yang ditawarkan di atas adalah upaya menuju masyarakat yang
mempunyai moral kemanusiaan baik dalam praktik individu dan lebih-lebih dalam
sosial. Untuk sampai kepada kehidupan sosial yang mempunyai moral humanitas
yang kuat merupakan ikhtiar panjang kita bersama. Media pendukung seperti
pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai moral
kepada setiap anak didik.
Melalui proses di dunia pendidikan, nilai humanisme universal yang
berpijak kepada nilai identitas ketimuran dengan nuansa spritualitas religius
kental, harus mulai diperhatikan. Pendidikan karakter menjadi salah satu
alternatif demi penanaman karakter kepada anak didik. Yang terpenting,
bagaimana perdamaian yang lahir dari kesadaran kemanusiaan dengan lingkungan
sosial secara umum, bisa berjalan sinergi di muka bumi. ●
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^