Kisah Anak Ki Hadjar
Dewantoro yang Tak Diketahui Shinta Maharani : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
DARI putra-putri Ki Hadjar
Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara (Raden Ayu Sandiah), hanya putra bungsu,
Bambang Sokawati Dewantara, yang agaknya paling aktif menulis. Pasangan
pendiri Tamansiswa itu mempunyai enam anak: Ratih Tarbiyah, Syailendra
Wijaya, Astri Wandansari, Subroto Aryomataram, Sudiro Alimurtolo, dan Bambang
Sokawati Dewantara. Bambang membuat buku
biografi ayah, ibu, dan pamannya. Di antaranya Nyi Hajar Dewantara: Dalam
Kisah dan Data (diterbitkan Gunung Agung, 1979); Raja Mogok: R.M.
Soerjopranoto, buku kenangan tentang RM Suryopranoto, abang kandung Ki Hadjar
Dewantara (Hasta Mitra, 1983); R.M. Suryopranoto: Bangsawan, Pendekar, Rakyat
Jelata (Roda Pengetahuan, 1983); dan Ki Hadjar Dewantara Ayahku (Pustaka
Sinar Harapan, 1989). Semua buku itu ditulis
Bambang selepas pembebasannya dari Pulau Buru. Tak banyak yang tahu bahwa
putra Ki Hadjar Dewantara ini pernah mengalami siksaan Orde Baru dan kemudian
dibuang ke Pulau Buru. Sebelum tertangkap, Bambang tercatat sebagai anggota
redaksi Harian Rakyat Minggu. Edisi terakhir Harian Rakyat Minggu bertanggal 3
Oktober 1965 memuat nama Banda Harahap sebagai pemimpin dewan redaksi dan M.
Naibaho sebagai penanggung jawab dengan anggota redaksi sastrawan Zubir A.A.,
Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara. Tatkala di Pulau Buru,
Bambang Sokawati sering mengunjungi unit Hersri Setiawan (kini 87 tahun),
mantan pamong Tamansiswa dan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Jawa
Tengah. “Menurut Pak Hersri, Bambang Sokawati adalah muridnya saat Pak Hersri
mengajar sastra di Tamansiswa,” kata Ita F. Nadia, istri Hersri. Pendengaran
Hersri sekarang sangat berkurang. Karena itu, pertanyaan kepada Hersri harus
dititipkan kepada Ita, yang dengan setengah berteriak akan menyampaikannya di
dekat kuping Hersri. Betapapun demikian, ingatan Hersri cukup kuat. Dari cerita
Hersri, sedari remaja Bambang senang membaca dan menulis. Dia menjadi anggota
Pemuda Pelajar Tamansiswa dan Ikatan Pelajar Indonesia di bawah Pemuda
Rakyat. “Dia juga ikut gerakan
sastra di Yogya yang dibuat Pak Hersri bernama Remujung Lingkar Studi Sastra.
Remujung adalah organisasi sastra dan puisi di bawah Lekra. Di situ Bambang
aktif menulis dan membaca puisi,” ujar Ita. Bambang suka menulis di Pusara,
majalah Tamansiswa. Dia memiliki passion dalam penulisan sejarah dan sastra.
Dia suka mempelajari bahasa Inggris serta Prancis. Dia juga aktif di Sanggar
Pelukis Rakyat. Kegiatan-kegiatan seni Bambang selalu didukung Ki Hadjar dan
keluarga Tamansiswa. Setelah Ki Hadjar
meninggal pada 1959, Bambang pindah dan sekolah di Jakarta. Sejak Bambang
tinggal di Jakarta, Hersri tidak mengikuti kegiatan dan perkembangannya.
Hersri juga tidak mengetahui aktivitas Bambang di Harian Rakyat. Apalagi pada
1961-1965 Hersri berada di Kolombo, Sri Lanka, sebagai wakil pengarang
Indonesia di kantor pusat Persatuan Pengarang Asia-Afrika. Hersri baru
bertemu lagi dengan Bambang saat mereka sama-sama berada di Pulau Buru.
Bambang ternyata lebih dulu ditangkap dan dikirim aparat ke Pulau Buru.
Bambang masuk ke Pulau Buru sebagai angkatan pertama bersama sastrawan
Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan Hersri dikirim ke Pulau Buru pada 1968. “Ketika Bambang Sokawati
tahu Hersri ditempatkan di Unit 15, Savana Jaya, sebagai muridnya dia
berusaha mencari Hersri,” tutur Ita. Menurut Hersri, unit Bambang jauh dari
unitnya. Hersri mengenang, suatu hari, pada 1970, saat ia berada di sawah,
tiba-tiba Bambang datang bersama seorang pastor bernama Roving yang tengah
mengunjungi Pulau Buru. Kepada sang pastor, Bambang mengatakan ingin
diantarkan menemui gurunya. Sesudah pertemuan itu,
Bambang selalu berusaha menghampiri unit Hersri. Hersri ingat, di Pulau Buru
tidak banyak yang tahu Bambang adalah anak Ki Hadjar Dewantara. Bambang
sendiri menutup-nutupi hal itu. Menurut Hersri, Bambang mengalami trauma saat
tentara menangkap dan menyiksanya. Tentara bilang tidak mungkin Bambang
adalah anak Ki Hadjar karena Partai Komunis Indonesia membunuh para
jenderal. Hersri melanjutkan, saat
Bambang bertemu dengan murid-murid bapaknya di Pulau Buru, kepercayaan
dirinya mulai tumbuh. “Kamu harus bangga jadi anak Ki Hadjar. Kamu harus
bangga mengikuti garis ideologi politik bapakmu,” Hersri mengatakan hal itu
kepada Bambang. Bambang kemudian ia perkenalkan kepada konduktor terkenal,
Subroto, yang juga dibuang ke Pulau Buru. Bambang piawai bermain biola. Di
Pulau Buru, Bambang kemudian belajar bermain musik kepada Subroto, juga
Martin Lapanuli. Bambang sampai membuat biola sendiri. Ada dua biola yang ia
bikin dan mainkan. “Dia mulai percaya diri. Lalu dia mulai berani menyebut
namanya Bambang Sokawati Dewantara,” ucap Hersri. Pada 1978, ketika
dibebaskan dari Pulau Buru, Hersri bertemu dengan Bambang di kapal. Bambang
ternyata juga dibebaskan pada tahun itu. Hersri lalu berjumpa lagi dengan
Bambang di Jakarta saat, untuk mencari nafkah, mendirikan biro penerjemahan
bernama Biro Translasi Inkultura bersama sastrawan Rivai Apin dan Joebaar
Ajoeb yang juga baru bebas dari Pulau Buru. Biro penerjemahan ini banyak
mengerjakan pesanan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial (LP3ES). “Di LP3ES kan saat itu ada Gus Dur, Djohan Effendi, Aswab
Mahasin. Buku-buku asing yang hendak diterjemahkan LP3ES itulah yang
diberikan ke bekas-bekas tahanan politik ini. Para eks tapol ini mampu
menerjemahkan bahasa Inggris, Prancis, Belanda. Nah, Bambang Sokawati ikut
dalam biro ini,” tutur Ita. Hersri kerap menugasi
Bambang menyerahkan terjemahan ke LP3ES. Bambang senang datang ke LP3ES
karena bisa bertemu dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur dan tokoh
LP3ES lain menghormati Bambang karena dia anak Ki Hadjar. Itu yang makin
membangkitkan kepercayaan diri Bambang. Hersri ingat saat itu kondisi Bambang
miskin semiskin-miskinnya. Ke mana-mana dia sering berjalan kaki. Bambang
sempat tidak bisa menyewa rumah. Bambang dan istrinya akhirnya tinggal di
rumah Hersri di Tebet, Jakarta. Hersri waktu itu belum menikah. Sesudah memiliki anak,
Bambang pamit pulang ke Yogyakarta. Bambang kembali ke Yogyakarta karena
rumahnya yang berada di Muja Muju kosong. Dia hendak tinggal di sana daripada
tak punya rumah di Jakarta. Tapi tak lama kemudian dia bersama istri dan
anaknya balik ke Jakarta. Persoalannya, Hersri sudah menikah dengan Jitske
Mulder, seorang warga Belanda (istri pertama Hersri), dan memiliki bayi
sehingga tidak bisa menampung Bambang dan istrinya. Akhirnya, dia disewakan
rumah oleh teman-temannya. Hersri kemudian mencarikan
Bambang pekerjaan. Saat itu Hersri mendapat order menulis ensiklopedia
Indonesia dari PT Ichtiar Baru Van Hoeve sebanyak tujuh jilid. Untuk
menggarap tujuh jilid ensiklopedia ini, dia merekrut Bambang menjadi
asistennya. Hampir tiap hari Bambang datang ke tempat Hersri. Bambang mampu
membaca teks dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Dia pun rajin
mencari data karena penulisan ensiklopedia harus komplet. Seusai pengerjaan ensiklopedia,
istri Hersri, Jitske Mulder, sakit kanker. Pada 1982, Hersri pindah ke
Belanda demi perawatan istrinya. Sejak saat itu, dia tidak mengetahui nasib
Bambang. ••• BAMBANG Sokawati Dewantara
agaknya terus bertahan hidup dengan menulis. Pada 1983, ia menulis Raja
Mogok: R.M. Soerjopranoto. Saat itu orang jarang menulis buku tentang kakak
Ki Hadjar Dewantara yang progresif tersebut. “Buku Bambang Sokawati itu
referensi pertama saya tentang Suryopranoto. Buku itu menjadi pintu pertama
bagi saya dalam membuat skripsi,” kata Budiawan, doktor sejarah dan pengajar
di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang menulis skripsi tentang
Suryopranoto. Skripsi itu kemudian diterbitkan menjadi Anak Bangsawan
Bertukar Jalan (Lembaga Kajian Islam dan Sosial, 2006). “Saya pesan buku
Bambang itu langsung dari Hasta Mitra yang menerbitkannya. Saat itu secara
sembunyi-sembunyi Hasta Mitra juga menerbitkan novel-novel Pramoedya,” ucap
Budiawan Menurut Budiawan, kentara
bahwa Bambang sangat mengagumi pamannya. Istilah “Raja Mogok” muncul dari
koran Belanda, Bataviaasch Nieuwsblad, karena Suryopranoto aktif menggalang
pemogokan buruh untuk menuntut kesejahteraan di pabrik gula Madukismo,
perusahaan Pegadaian, dan stasiun kereta Lempuyangan di Yogyakarta.
“Sesungguhnya saat itu ada polemik keras antara Suryopranoto dan Semaun soal
metode gerakan,” ujar Budiawan. Semaun menginginkan perlawanan buruh yang
lebih keras, tidak berhenti pada mogok kerja. Dia ingin para buruh merevolusi
dan mengambil alih tempat kerja mereka. Tapi, menurut Suryopranoto, tindakan
itu terlalu dini. “Ide-ide Suryo, menurut saya, lebih reformis. Suryo,
misalnya, mengajak mogok untuk memperjuangkan kenaikan upah buruh,” tutur
Budiawan. Menurut Budiawan, Bambang
Sokawati sangat menokohkan pakdenya tersebut. “Jelas. Dia orang kiri. Untuk
menghindari bias, saya lalu melakukan kroscek ke putra-putri Suryopranoto.
Kalau saya comot begitu saja dari buku Bambang, saya menyalahi metode
sejarah. Harus ada verifikasi. Kritik sumber istilahnya. Saya melihat Bambang
agak melebih-lebihkan gerakan Suryopranoto. Bambang berpemikiran kiri,
revolusioner, lalu itu diproyeksikan kepada Suryopranoto. Padahal gerakan
Suryo tidak serevolusioner itu, tapi reformis,” Budiawan menjelaskan. Bambang Sokawati wafat
pada 1 Desember 1994. Usianya 64 tahun saat itu. Menurut Hersri Setiawan,
sebagai anak Ki Hadjar Dewantara, Bambang merasa disingkirkan dari
Tamansiswa. Tatkala pada 1978 pulang ke Yogyakarta, dia pun tak diberi tempat
di Tamansiswa. Bambang juga pernah meminta pekerjaan di Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, tapi ditolak karena ia diketahui sebagai bekas tahanan
politik. “Bambang sangat mengagumi Gus Dur karena saat di LP3ES Gus Dur
menerima dia,” kata Hersri. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/166361/kisah-anak-ki-hadjar-dewantoro-yang-tak-diketahui |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar