Rabu, 13 Juli 2022

 

Kisah Anak Ki Hadjar Dewantoro yang Tak Diketahui

Shinta Maharani :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 9 Juli 2022

 

 

                                                           

DARI putra-putri Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara (Raden Ayu Sandiah), hanya putra bungsu, Bambang Sokawati Dewantara, yang agaknya paling aktif menulis. Pasangan pendiri Tamansiswa itu mempunyai enam anak: Ratih Tarbiyah, Syailendra Wijaya, Astri Wandansari, Subroto Aryomataram, Sudiro Alimurtolo, dan Bambang Sokawati Dewantara.

 

Bambang membuat buku biografi ayah, ibu, dan pamannya. Di antaranya Nyi Hajar Dewantara: Dalam Kisah dan Data (diterbitkan Gunung Agung, 1979); Raja Mogok: R.M. Soerjopranoto, buku kenangan tentang RM Suryopranoto, abang kandung Ki Hadjar Dewantara (Hasta Mitra, 1983); R.M. Suryopranoto: Bangsawan, Pendekar, Rakyat Jelata (Roda Pengetahuan, 1983); dan Ki Hadjar Dewantara Ayahku (Pustaka Sinar Harapan, 1989).

 

Semua buku itu ditulis Bambang selepas pembebasannya dari Pulau Buru. Tak banyak yang tahu bahwa putra Ki Hadjar Dewantara ini pernah mengalami siksaan Orde Baru dan kemudian dibuang ke Pulau Buru. Sebelum tertangkap, Bambang tercatat sebagai anggota redaksi Harian Rakyat Minggu. Edisi terakhir Harian Rakyat Minggu bertanggal 3 Oktober 1965 memuat nama Banda Harahap sebagai pemimpin dewan redaksi dan M. Naibaho sebagai penanggung jawab dengan anggota redaksi sastrawan Zubir A.A., Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara.

 

Tatkala di Pulau Buru, Bambang Sokawati sering mengunjungi unit Hersri Setiawan (kini 87 tahun), mantan pamong Tamansiswa dan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Jawa Tengah. “Menurut Pak Hersri, Bambang Sokawati adalah muridnya saat Pak Hersri mengajar sastra di Tamansiswa,” kata Ita F. Nadia, istri Hersri. Pendengaran Hersri sekarang sangat berkurang. Karena itu, pertanyaan kepada Hersri harus dititipkan kepada Ita, yang dengan setengah berteriak akan menyampaikannya di dekat kuping Hersri. Betapapun demikian, ingatan Hersri cukup kuat. Dari cerita Hersri, sedari remaja Bambang senang membaca dan menulis. Dia menjadi anggota Pemuda Pelajar Tamansiswa dan Ikatan Pelajar Indonesia di bawah Pemuda Rakyat.

 

“Dia juga ikut gerakan sastra di Yogya yang dibuat Pak Hersri bernama Remujung Lingkar Studi Sastra. Remujung adalah organisasi sastra dan puisi di bawah Lekra. Di situ Bambang aktif menulis dan membaca puisi,” ujar Ita. Bambang suka menulis di Pusara, majalah Tamansiswa. Dia memiliki passion dalam penulisan sejarah dan sastra. Dia suka mempelajari bahasa Inggris serta Prancis. Dia juga aktif di Sanggar Pelukis Rakyat. Kegiatan-kegiatan seni Bambang selalu didukung Ki Hadjar dan keluarga Tamansiswa.

 

Setelah Ki Hadjar meninggal pada 1959, Bambang pindah dan sekolah di Jakarta. Sejak Bambang tinggal di Jakarta, Hersri tidak mengikuti kegiatan dan perkembangannya. Hersri juga tidak mengetahui aktivitas Bambang di Harian Rakyat. Apalagi pada 1961-1965 Hersri berada di Kolombo, Sri Lanka, sebagai wakil pengarang Indonesia di kantor pusat Persatuan Pengarang Asia-Afrika. Hersri baru bertemu lagi dengan Bambang saat mereka sama-sama berada di Pulau Buru. Bambang ternyata lebih dulu ditangkap dan dikirim aparat ke Pulau Buru. Bambang masuk ke Pulau Buru sebagai angkatan pertama bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan Hersri dikirim ke Pulau Buru pada 1968.

 

“Ketika Bambang Sokawati tahu Hersri ditempatkan di Unit 15, Savana Jaya, sebagai muridnya dia berusaha mencari Hersri,” tutur Ita. Menurut Hersri, unit Bambang jauh dari unitnya. Hersri mengenang, suatu hari, pada 1970, saat ia berada di sawah, tiba-tiba Bambang datang bersama seorang pastor bernama Roving yang tengah mengunjungi Pulau Buru. Kepada sang pastor, Bambang mengatakan ingin diantarkan menemui gurunya.

 

Sesudah pertemuan itu, Bambang selalu berusaha menghampiri unit Hersri. Hersri ingat, di Pulau Buru tidak banyak yang tahu Bambang adalah anak Ki Hadjar Dewantara. Bambang sendiri menutup-nutupi hal itu. Menurut Hersri, Bambang mengalami trauma saat tentara menangkap dan menyiksanya. Tentara bilang tidak mungkin Bambang adalah anak Ki Hadjar karena Partai Komunis Indonesia membunuh para jenderal. 

 

Hersri melanjutkan, saat Bambang bertemu dengan murid-murid bapaknya di Pulau Buru, kepercayaan dirinya mulai tumbuh. “Kamu harus bangga jadi anak Ki Hadjar. Kamu harus bangga mengikuti garis ideologi politik bapakmu,” Hersri mengatakan hal itu kepada Bambang. Bambang kemudian ia perkenalkan kepada konduktor terkenal, Subroto, yang juga dibuang ke Pulau Buru. Bambang piawai bermain biola. Di Pulau Buru, Bambang kemudian belajar bermain musik kepada Subroto, juga Martin Lapanuli. Bambang sampai membuat biola sendiri. Ada dua biola yang ia bikin dan mainkan. “Dia mulai percaya diri. Lalu dia mulai berani menyebut namanya Bambang Sokawati Dewantara,” ucap Hersri.

 

Pada 1978, ketika dibebaskan dari Pulau Buru, Hersri bertemu dengan Bambang di kapal. Bambang ternyata juga dibebaskan pada tahun itu. Hersri lalu berjumpa lagi dengan Bambang di Jakarta saat, untuk mencari nafkah, mendirikan biro penerjemahan bernama Biro Translasi Inkultura bersama sastrawan Rivai Apin dan Joebaar Ajoeb yang juga baru bebas dari Pulau Buru. Biro penerjemahan ini banyak mengerjakan pesanan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). “Di LP3ES kan saat itu ada Gus Dur, Djohan Effendi, Aswab Mahasin. Buku-buku asing yang hendak diterjemahkan LP3ES itulah yang diberikan ke bekas-bekas tahanan politik ini. Para eks tapol ini mampu menerjemahkan bahasa Inggris, Prancis, Belanda. Nah, Bambang Sokawati ikut dalam biro ini,” tutur Ita. 

 

Hersri kerap menugasi Bambang menyerahkan terjemahan ke LP3ES. Bambang senang datang ke LP3ES karena bisa bertemu dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur dan tokoh LP3ES lain menghormati Bambang karena dia anak Ki Hadjar. Itu yang makin membangkitkan kepercayaan diri Bambang. Hersri ingat saat itu kondisi Bambang miskin semiskin-miskinnya. Ke mana-mana dia sering berjalan kaki. Bambang sempat tidak bisa menyewa rumah. Bambang dan istrinya akhirnya tinggal di rumah Hersri di Tebet, Jakarta. Hersri waktu itu belum menikah.

 

Sesudah memiliki anak, Bambang pamit pulang ke Yogyakarta. Bambang kembali ke Yogyakarta karena rumahnya yang berada di Muja Muju kosong. Dia hendak tinggal di sana daripada tak punya rumah di Jakarta. Tapi tak lama kemudian dia bersama istri dan anaknya balik ke Jakarta. Persoalannya, Hersri sudah menikah dengan Jitske Mulder, seorang warga Belanda (istri pertama Hersri), dan memiliki bayi sehingga tidak bisa menampung Bambang dan istrinya. Akhirnya, dia disewakan rumah oleh teman-temannya.

 

Hersri kemudian mencarikan Bambang pekerjaan. Saat itu Hersri mendapat order menulis ensiklopedia Indonesia dari PT Ichtiar Baru Van Hoeve sebanyak tujuh jilid. Untuk menggarap tujuh jilid ensiklopedia ini, dia merekrut Bambang menjadi asistennya. Hampir tiap hari Bambang datang ke tempat Hersri. Bambang mampu membaca teks dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Dia pun rajin mencari data karena penulisan ensiklopedia harus komplet. Seusai pengerjaan ensiklopedia, istri Hersri, Jitske Mulder, sakit kanker. Pada 1982, Hersri pindah ke Belanda demi perawatan istrinya. Sejak saat itu, dia tidak mengetahui nasib Bambang.

 

•••

 

BAMBANG Sokawati Dewantara agaknya terus bertahan hidup dengan menulis. Pada 1983, ia menulis Raja Mogok: R.M. Soerjopranoto. Saat itu orang jarang menulis buku tentang kakak Ki Hadjar Dewantara yang progresif tersebut. “Buku Bambang Sokawati itu referensi pertama saya tentang Suryopranoto. Buku itu menjadi pintu pertama bagi saya dalam membuat skripsi,” kata Budiawan, doktor sejarah dan pengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang menulis skripsi tentang Suryopranoto. Skripsi itu kemudian diterbitkan menjadi Anak Bangsawan Bertukar Jalan (Lembaga Kajian Islam dan Sosial, 2006). “Saya pesan buku Bambang itu langsung dari Hasta Mitra yang menerbitkannya. Saat itu secara sembunyi-sembunyi Hasta Mitra juga menerbitkan novel-novel Pramoedya,” ucap Budiawan

 

Menurut Budiawan, kentara bahwa Bambang sangat mengagumi pamannya. Istilah “Raja Mogok” muncul dari koran Belanda, Bataviaasch Nieuwsblad, karena Suryopranoto aktif menggalang pemogokan buruh untuk menuntut kesejahteraan di pabrik gula Madukismo, perusahaan Pegadaian, dan stasiun kereta Lempuyangan di Yogyakarta. “Sesungguhnya saat itu ada polemik keras antara Suryopranoto dan Semaun soal metode gerakan,” ujar Budiawan. Semaun menginginkan perlawanan buruh yang lebih keras, tidak berhenti pada mogok kerja. Dia ingin para buruh merevolusi dan mengambil alih tempat kerja mereka. Tapi, menurut Suryopranoto, tindakan itu terlalu dini. “Ide-ide Suryo, menurut saya, lebih reformis. Suryo, misalnya, mengajak mogok untuk memperjuangkan kenaikan upah buruh,” tutur Budiawan. 

 

Menurut Budiawan, Bambang Sokawati sangat menokohkan pakdenya tersebut. “Jelas. Dia orang kiri. Untuk menghindari bias, saya lalu melakukan kroscek ke putra-putri Suryopranoto. Kalau saya comot begitu saja dari buku Bambang, saya menyalahi metode sejarah. Harus ada verifikasi. Kritik sumber istilahnya. Saya melihat Bambang agak melebih-lebihkan gerakan Suryopranoto. Bambang berpemikiran kiri, revolusioner, lalu itu diproyeksikan kepada Suryopranoto. Padahal gerakan Suryo tidak serevolusioner itu, tapi reformis,” Budiawan menjelaskan. 

 

Bambang Sokawati wafat pada 1 Desember 1994. Usianya 64 tahun saat itu. Menurut Hersri Setiawan, sebagai anak Ki Hadjar Dewantara, Bambang merasa disingkirkan dari Tamansiswa. Tatkala pada 1978 pulang ke Yogyakarta, dia pun tak diberi tempat di Tamansiswa. Bambang juga pernah meminta pekerjaan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tapi ditolak karena ia diketahui sebagai bekas tahanan politik. “Bambang sangat mengagumi Gus Dur karena saat di LP3ES Gus Dur menerima dia,” kata Hersri. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/selingan/166361/kisah-anak-ki-hadjar-dewantoro-yang-tak-diketahui

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar