Rabu, 13 Juli 2022

 

Rabindranath Tagore di Tamansiswa

Pito Agustin Rudiana :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 9 Juli 2022

 

 

                                                           

16 November 1938. Pendapa Agung Tamansiswa diresmikan. Pendapa yang kita saksikan kokoh bertahan sampai sekarang. Dalam sebuah foto lama dapat kita lihat, untuk acara peresmian, disajikan sebuah tarian bernuansa Hindu. Tiga orang tampil: perupa Rusli; RAj Kustihadi, putri Raden Wedana Hatmodidjojo (cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VI); dan putra Ki Hadjar Dewantara, Ki Subroto Aryomataram.

 

Kostum yang dikenakan RAj Kustihadi (kemudian lebih dikenal sebagai Nyi Kustihadi Hadisukatno atau Bu Katno) tampak sekali mirip dengan kostum penari India. “Saat itu Rusli baru pulang dari Shantiniketan, Bolpur, India. Dia belajar menari dan melukis di Shantiniketan dan kemudian mengajarkannya di Tamansiswa,” kata Ki Prijo Mustiko.

 

Pada 1927, Rabindranath Tagore berkunjung ke Tamansiswa. Karena kunjungan ini, Ki Hadjar mengirim murid-muridnya, yakni Ki Soebroto, Ki Rusli, dan S. Harahap, ke Shantiniketan untuk meneruskan pendidikan di bawah asuhan Tagore. Sekembali dari Shantiniketan, mereka menjadi pamong atau guru di Ibu Pawiyatan Tamansiswa di Yogyakarta.

 

Tagore bersama rombongan datang ke Tamansiswa tepatnya pada Agustus 1927. Tagore saat itu disambut dengan panembrama, yaitu paduan suara berbahasa Jawa yang dibawakan untuk menyambut tamu kehormatan. Panembrama dengan iringan gamelan Jawa itu dinyanyikan murid-murid Tamansiswa. Tagore duduk di muka beranda. Adapun rombongannya yang dipimpin Profesor Doktor Chatterjee mengunjungi kelas-kelas untuk mengetahui seluk-beluk sistem pendidikan Tamansiswa.

 

Kunjungan Tagore ke Yogyakarta didahului kedatangan Doktor A.A. Bake bersama istrinya untuk mencari tahu lokasi mana saja di Jawa yang layak dikunjungi peraih Hadiah Nobel itu. Dua di antaranya adalah Perguruan Tamansiswa di Yogyakarta dan Pura Mangkunegaran di Surakarta, Jawa Tengah.

 

Selama berada di Yogyakarta, selain ke Tamansiswa, Tagore berkunjung ke Muallimin Muhammadiyah, lembaga pendidikan yang berkembang di Yogyakarta pada masa itu. “Jadi bukan khusus ke Tamansiswa,” ucap Supardi, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta yang menulis disertasi doktoral tentang pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Rabindranath Tagore. Surakarta menjadi jujugan kedua setelah Yogyakarta. Di Pura Mangkunegaran, Tagore dan rombongan disambut Kanjeng Gusti Arya Pangeran Mangkunegara VII berikut persembahan tari-tarian Jawa dan alunan gamelan. 

 

•••

 

AGAKNYA Rabindranath Tagore sangat terkesan akan Tamansiswa. Setelah menerima murid-murid dari Tamansiswa di Shantiniketan, Tagore mengirim para “santrinya” untuk mempelajari tarian Jawa dan membatik di Yogyakarta. Seperti dapat dibaca dalam artikel Ki Hadjar Dewantara di Warta Majalah Poesara Januari 1939 berjudul “Tamoe-Tamoe Kita dari India”, awalnya Tagore ingin mengirim cucunya sendiri yang bernama Quinny bersama murid perempuan lain, Mrinalini Swaminathan.

 

Lantaran Quinny sakit, kemudian Mrinalini yang dikirim ditemani ibunya, Ammu Swaminathan. Ammu adalah pemimpin pergerakan kaum perempuan India dan pernah mengetuai All Indian Women Conference. Mereka tiba pada 28 Mei. “…tamoe-tamoe mana datang ke Mataram ini semata-mata oentoek mempeladjari tarian dan musik Djawa jang amat disoekai oleh marhoem Rabindranath Tagore, hingga akan dimasoekkan ke dalam peladjaran kesenian pada Shanti Niketan itoe,” tulis Ki Hadjar.

 

Atas nasihat Mangkunegara VII dan keinginan Tagore, para tamu tersebut tinggal di asrama murid perempuan di Tamansiswa, yakni Wisma Rini, selama beberapa bulan. Pada 9 Juni, guru musik dan tari Shantiniketan, Shanti Dev Ghose, tiba untuk memperdalam ilmunya selama enam bulan di Tamansiswa. Biaya tiga tamu tersebut selama tinggal di Wisma Rini dibantu Sultan Yogyakarta. Gedung Wisma Rini kini telah menjadi bangunan perpustakaan Tamansiswa. “Bangunannya dulu tidak seperti ini. Sudah dipugar,” kata Agus Purwanto, pengelola perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya Tamansiswa.

 

•••

 

RABINDRANATH Tagore wafat pada 7 Agustus 1941. Ki Hadjar Dewantara tampak sangat kehilangan. Pada bulan itu, ia menuliskan kenangannya bertemu dengan Tagore di Majalah Poesara. Dalam edisi itu juga dicantumkan telegram ucapan belasungkawa dari Tamansiswa.

“Telegram berdoekatjita

 

Pada hari 9 Agoestoes jbl., setelah kami mendengar wafatnja Sang Poedjangga Rabindranath Tagore, teroes kami mengirimkan soerat-soerat jang boenjinja sebagai berikoet:

 

Santhi Niketan Bengal Balpur, Tagore’s passing a way distress whole Taman Siswa, Gurudeva’s spirit lives forever. Taman-Siswa.”

 

Alumnus Shantiniketan dari Tamansiswa, Soebroto dan Rusli, menulis obituari. Bahkan pamong Soewandhie membacakan pidato mengenai Tagore di hadapan murid-murid Tamansiswa. Dalam tulisannya, Ki Hadjar seperti menuturkan kilas balik kunjungan Tagore ke Tamansiswa dan Mangkunegaran. Ki Hadjar ingat bagaimana ekspresi Tagore saat menyaksikan pertunjukan gamelan. “…pada saat itoe djoega, beliau berkata akan memasoekkan tarian-tarian dan gending Djawa ke dalam ashramanja, Shanti Niketan,” tulis Ki Hadjar.

 

Kemudian, saat melihat pertunjukan wayang orang dengan lakon Langen Mandra Wanara (diambil dari kisah Ramayana), Ki Hadjar ingat Tagore berkata dalam bahasa Belanda: “Ge hebt van onze Ramayana iets gemaakt, waartoe wij zelf nooit in staat zouden zija.” Artinya kira-kira orang Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu sebagai tonil (sandiwara) daripada orang Hindu sendiri.

 

Kunjungan Tagore tersebut diakui Ki Hadjar berpengaruh besar bagi perkembangan Perguruan Tamansiswa. Tamansiswa saat itu baru berusia lima tahun. “Sedjak koenjoengan itoelah laloe banjak orang terpaksa memperhatikan oesaha kita dan…… (Ki Hadjar memberi jeda dengan titik enam titik) banjaklah dari pada mereka itoe lalu mengerti, bahwa ada ‘wilde school’ jang tidak boeas,” tulisnya.

 

Setelah pulang ke India, Tagore merekomendasikan kunjungan ke Tamansiswa bagi banyak tokoh pendidikan. Lantas datanglah Profesor Pandia dari Kolombo, Sri Lanka; Profesor Khair dari Bombay; Profesor Doktor Bunche yang dikenal sebagai juru damai di Palestina; Rektor Amsterdams Lyceum, Belanda, Doktor Gunning; juga Profesor Bosquet dari Aljazair. Bahkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru pernah berkunjung. Dalam kunjungannya, Nehru menghadiahkan uang senilai f 5.000 kepada Tamansiswa.

 

Nehru menyatakan uang itu berasal dari kantong pribadinya, bukan dari saku seorang perdana menteri. Ternyata Nehru telah lama mengenal Tamansiswa, termasuk ajarannya yang melarang menerima hadiah dari siapa pun apabila menyebabkan berkurangnya kemerdekaan lahir-batin. Bagi Ki Hadjar, jumlah uang yang diberikan bukanlah hal penting. Justru yang menarik adalah bagaimana setelah Nehru datang Ki Hadjar lewat tulisannya mengoreksi pernyataan Nehru yang menyamakan Tamansiswa dengan Shantiniketan. Ia menghargai Tamansiswa sebagai perguruan nasional yang sama dengan Shantiniketan.

 

“Tidak pernah kita merasa bertingkat di bawah Shanti Niketan. Jang njata ialah adanja pernjataan itu keluar dari mulut seorang pemimpin besar dari luar negeri. Semoga pernjataan itu memboeka matanja sekalian mereka, jang belum dapat menghargai perguruan nasional kita, Taman Siswa. Sedjak berdirinja pada tahoen 1922 tidak pernah memakai dasar-dasar selain dasar kebudajaan bangsa sendiri,” tulis Ki Hadjar (Poesara, Agustus 1950).

 

•••

 

SAYANGNYA, tak ada dokumentasi foto Rabindranath Tagore ketika berkunjung ke Tamansiswa. Pun tak ada arsip surat-menyurat antar Ki Hadjar Dewantara dan Tagore. “Tidak ada dokumentasi (kunjungan 1927) yang disimpan di perpustakaan,” tutur Agus Purwanto, pengelola perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya. Yang ada hanyalah lukisan foto Tagore dan Maria Montessori setengah badan yang dipajang bersebelahan di pojok dinding ruang sisi barat dalam bangunan Museum Dewantara.

 

Dulu kedua lukisan itu dipajang di Pendapa Agung. Montessori berkunjung ke Tamansiswa pada 1940. Montessori adalah pendidik anak dari Italia yang kemudian pindah ke India karena negara fasis Italia saat itu mengekang pendidikan merdeka. Baik Tagore maupun Montessori dianggap Ki Hadjar sebagai penunjuk jalan baru dunia pendidikan. “Sampai saat ini kami tidak tahu siapa pelukisnya,” kata Agus Purwanto. “Yang jelas, yang meminta (pemasangan gambar Tagore dan Montessori di Pendapa Agung Tamansiswa) adalah Ki Hadjar,” ucap Supardi.

 

Menurut Supardi, ketimbang Montessori, Shantiniketan lebih terlihat menginspirasi Ki Hadjar. Saat meneliti Tagore, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta ini tiga kali datang ke India, yaitu pada 2013, 2014, dan 2018. Ia mengikuti International Conference on India-Indonesia Bilateral Ties di Jawaharlal Nehru University, New Delhi. Pada kunjungan 19-20 November 2014, Supardi diminta mempresentasikan makalah berjudul “The Thoughts of Rabindranath Tagore and Ki Hadjar Dewantara about Education”.

 

•••

 

SEJAUH riset Supardi selama ini, ia tidak menemukan tulisan Rabindranath Tagore yang mengutip atau menceritakan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Lebih banyak tulisan Ki Hadjar yang menyebut Tagore sebagai inspirasi Tamansiswa. Tatkala berkunjung ke Museum Shantiniketan, Supardi sempat membaca dokumen surat-surat Tagore.

 

Tagore menulis buku Letters from Java, Rabindranath Tagore’s Tour of South-East Asia. Dalam buku itu, Supardi mengungkapkan, Tagore tidak menuliskan secara khusus kunjungan ke Tamansiswa. Tagore lebih banyak menuliskan kekagumannya terhadap Candi Borobudur dan kedatangannya ke Surakarta. Saat masih berada di Batavia pada 21 Agustus 1927, Tagore, misalnya, menulis sajak tentang Borobudur. “Surakarta banyak disebut. Bahkan ia ikut dalam peresmian Jalan Rabindranath Tagore di Solo yang saat ini sudah tak ada,” ujar Supardi.

 

Tempo pernah berkunjung ke Shantiniketan beberapa tahun lalu. Letak Shantiniketan sekitar 200 kilometer dari Kolkata. Suasana perdesaan masih terasa tatkala memasuki kawasan Shantiniketan. Waktu perjalanan dengan mobil lebih-kurang tiga jam. Di Kolkata terdapat Jorosanko Thakurbari, rumah keluarga besar Tagore dan tempat Tagore menghabiskan masa kecil yang kini menjadi museum dan dapat dikunjungi. 

 

Selain mengunjungi universitas, pengunjung yang singgah di Shantiniketan dapat mendatangi mansion atau rumah yang pernah ditinggali Tagore di area yang disebut Uttarayana. Tagore membangun lima rumah peristirahatan bersuasana meditatif dengan taman yang luas di sana. Ia mendesain sendiri bangunan tersebut. Semuanya bergaya campuran arsitektur kolonial dan India. Rumah-rumah berwarna putih dengan beranda lapang itu berdekatan dan memiliki fungsi sendiri-sendiri.

 

Mansion terbesar diberi nama Udayana Bari (Rumah Udayana). Menurut Samit Das, penulis buku Architecture of Santiniketan, Tagore’s Concept of Space, di sinilah Tagore dulu sering menggelar pentas drama dan komposisi musik yang ia karang untuk tamu-tamu khusus. Sebuah mobil kuno berpelat nomor WBA 689 dengan dua lampu besar di depan milik Tagore saya lihat masih diletakkan di garasi samping rumah ini. Mansion terbesar kedua bernama Konark. Memasuki rumah ini, ada plakat yang menerangkan bahwa di sinilah Tagore sering membacakan sajak-sajaknya. Rumah ketiga disebut Shyamali, tempat Tagore pernah menjamu Mahatma Gandhi. Gandhi menginap di rumah ini dan berdialog dengan Tagore. Rumah keempat bernama Punascha. Adapun rumah kelima yang memiliki banyak jendela disebut Udichi.

 

Sebelum memasuki kawasan rumah Tagore, di Uttarayana kita bisa mengunjungi sebuah museum bernama Rabindra Bhavan. Didesain oleh Rathindranath, putra Tagore, museum ini menyajikan manuskrip dan foto Tagore, cendera mata hasil perjalanan Tagore berkeliling dunia, surat tulisan tangan Tagore, juga replika medali Hadiah Nobel Sastra yang ia peroleh pada 1913. Di sinilah surat Tagore di Jawa yang aslinya berbahasa Bengali dan berjudul “Java-Jatir Patra” disimpan. Selain surat itu, ada foto Tagore bersama Mangkunegara VII. Foto itu diambil tatkala Tagore berkunjung ke Surakarta pada 1927.

 

Bagi Tagore, perjalanannya ke Bali dan Jawa adalah perjalanan ziarah. Tagore meyakini terdapat suatu kesinambungan artistik tradisi dan agama di India dengan di Jawa dan Bali. Menyaksikan upacara-upacara dan tari-tarian di Jawa-Bali, Tagore mengungkapkan bahwa dia merasakan semua itu adalah kebudayaan India yang telah lama hilang. Krishna Dutta dan Andrew Robinson, penulis buku Tagore: The Myriad-Minded Man, menceritakan, begitu sampai di Bali, Tagore diantar dengan mobil bersama seorang pendamping tapi tanpa penerjemah.

 

Keduanya sama-sama diam karena tidak memahami bahasa masing-masing. Namun, tatkala melewati pinggir lautan, orang Bali yang mendampingi Tagore secara spontan seraya menunjuk ke arah laut mengatakan kepada Tagore: “Samudra!” Tagore terkesiap. Sebab, “samudra” adalah kata Sanskerta untuk “laut”. Tagore juga terkesima mengetahui bahwa di Jawa bukunya, Gitanjali, sudah dikenal melalui terjemahan penyair Noto Soeroto yang pernah tinggal di Belanda dan bertemu dengannya di negeri tersebut. Saat mengunjungi Candi Prambanan, ia kaget mendapati relief Ramayana terpahat lengkap di sana, sesuatu yang tak ada pada candi-candi di India. Tagore menulis bahwa Syiwa sudah menjadi guru besar di Jawa.

 

Pada suatu waktu memang terjadi hubungan antara Tamansiswa dan Shantiniketan. Sayangnya, hubungan itu kini hilang. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/selingan/166359/rabindranath-tagore-di-tamansiswa

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar