Rabindranath Tagore
di Tamansiswa Pito Agustin Rudiana : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
16 November 1938. Pendapa
Agung Tamansiswa diresmikan. Pendapa yang kita saksikan kokoh bertahan sampai
sekarang. Dalam sebuah foto lama dapat kita lihat, untuk acara peresmian,
disajikan sebuah tarian bernuansa Hindu. Tiga orang tampil: perupa Rusli; RAj
Kustihadi, putri Raden Wedana Hatmodidjojo (cucu Sri Sultan Hamengku Buwono
VI); dan putra Ki Hadjar Dewantara, Ki Subroto Aryomataram. Kostum yang dikenakan RAj
Kustihadi (kemudian lebih dikenal sebagai Nyi Kustihadi Hadisukatno atau Bu
Katno) tampak sekali mirip dengan kostum penari India. “Saat itu Rusli baru
pulang dari Shantiniketan, Bolpur, India. Dia belajar menari dan melukis di
Shantiniketan dan kemudian mengajarkannya di Tamansiswa,” kata Ki Prijo
Mustiko. Pada 1927, Rabindranath
Tagore berkunjung ke Tamansiswa. Karena kunjungan ini, Ki Hadjar mengirim
murid-muridnya, yakni Ki Soebroto, Ki Rusli, dan S. Harahap, ke Shantiniketan
untuk meneruskan pendidikan di bawah asuhan Tagore. Sekembali dari
Shantiniketan, mereka menjadi pamong atau guru di Ibu Pawiyatan Tamansiswa di
Yogyakarta. Tagore bersama rombongan
datang ke Tamansiswa tepatnya pada Agustus 1927. Tagore saat itu disambut
dengan panembrama, yaitu paduan suara berbahasa Jawa yang dibawakan untuk
menyambut tamu kehormatan. Panembrama dengan iringan gamelan Jawa itu
dinyanyikan murid-murid Tamansiswa. Tagore duduk di muka beranda. Adapun
rombongannya yang dipimpin Profesor Doktor Chatterjee mengunjungi kelas-kelas
untuk mengetahui seluk-beluk sistem pendidikan Tamansiswa. Kunjungan Tagore ke
Yogyakarta didahului kedatangan Doktor A.A. Bake bersama istrinya untuk mencari
tahu lokasi mana saja di Jawa yang layak dikunjungi peraih Hadiah Nobel itu.
Dua di antaranya adalah Perguruan Tamansiswa di Yogyakarta dan Pura
Mangkunegaran di Surakarta, Jawa Tengah. Selama berada di
Yogyakarta, selain ke Tamansiswa, Tagore berkunjung ke Muallimin
Muhammadiyah, lembaga pendidikan yang berkembang di Yogyakarta pada masa itu.
“Jadi bukan khusus ke Tamansiswa,” ucap Supardi, dosen Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta yang menulis disertasi doktoral tentang
pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Rabindranath Tagore. Surakarta
menjadi jujugan kedua setelah Yogyakarta. Di Pura Mangkunegaran, Tagore dan
rombongan disambut Kanjeng Gusti Arya Pangeran Mangkunegara VII berikut
persembahan tari-tarian Jawa dan alunan gamelan. ••• AGAKNYA Rabindranath
Tagore sangat terkesan akan Tamansiswa. Setelah menerima murid-murid dari
Tamansiswa di Shantiniketan, Tagore mengirim para “santrinya” untuk
mempelajari tarian Jawa dan membatik di Yogyakarta. Seperti dapat dibaca
dalam artikel Ki Hadjar Dewantara di Warta Majalah Poesara Januari 1939
berjudul “Tamoe-Tamoe Kita dari India”, awalnya Tagore ingin mengirim cucunya
sendiri yang bernama Quinny bersama murid perempuan lain, Mrinalini
Swaminathan. Lantaran Quinny sakit,
kemudian Mrinalini yang dikirim ditemani ibunya, Ammu Swaminathan. Ammu
adalah pemimpin pergerakan kaum perempuan India dan pernah mengetuai All
Indian Women Conference. Mereka tiba pada 28 Mei. “…tamoe-tamoe mana datang ke Mataram ini semata-mata oentoek mempeladjari
tarian dan musik Djawa jang amat disoekai oleh marhoem Rabindranath Tagore,
hingga akan dimasoekkan ke dalam peladjaran kesenian pada Shanti Niketan
itoe,” tulis Ki Hadjar. Atas nasihat Mangkunegara
VII dan keinginan Tagore, para tamu tersebut tinggal di asrama murid
perempuan di Tamansiswa, yakni Wisma Rini, selama beberapa bulan. Pada 9
Juni, guru musik dan tari Shantiniketan, Shanti Dev Ghose, tiba untuk
memperdalam ilmunya selama enam bulan di Tamansiswa. Biaya tiga tamu tersebut
selama tinggal di Wisma Rini dibantu Sultan Yogyakarta. Gedung Wisma Rini
kini telah menjadi bangunan perpustakaan Tamansiswa. “Bangunannya dulu tidak seperti ini. Sudah dipugar,” kata Agus
Purwanto, pengelola perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya Tamansiswa. ••• RABINDRANATH Tagore wafat
pada 7 Agustus 1941. Ki Hadjar Dewantara tampak sangat kehilangan. Pada bulan
itu, ia menuliskan kenangannya bertemu dengan Tagore di Majalah Poesara.
Dalam edisi itu juga dicantumkan telegram ucapan belasungkawa dari Tamansiswa. “Telegram
berdoekatjita Pada
hari 9 Agoestoes jbl., setelah kami mendengar wafatnja Sang Poedjangga
Rabindranath Tagore, teroes kami mengirimkan soerat-soerat jang boenjinja
sebagai berikoet: Santhi
Niketan Bengal Balpur, Tagore’s passing a way distress whole Taman Siswa,
Gurudeva’s spirit lives forever. Taman-Siswa.” Alumnus Shantiniketan dari
Tamansiswa, Soebroto dan Rusli, menulis obituari. Bahkan pamong Soewandhie
membacakan pidato mengenai Tagore di hadapan murid-murid Tamansiswa. Dalam
tulisannya, Ki Hadjar seperti menuturkan kilas balik kunjungan Tagore ke
Tamansiswa dan Mangkunegaran. Ki Hadjar ingat bagaimana ekspresi Tagore saat
menyaksikan pertunjukan gamelan. “…pada saat itoe djoega, beliau berkata akan
memasoekkan tarian-tarian dan gending Djawa ke dalam ashramanja, Shanti
Niketan,” tulis Ki Hadjar. Kemudian, saat melihat
pertunjukan wayang orang dengan lakon Langen Mandra Wanara (diambil dari
kisah Ramayana), Ki Hadjar ingat Tagore berkata dalam bahasa Belanda: “Ge
hebt van onze Ramayana iets gemaakt, waartoe wij zelf nooit in staat zouden
zija.” Artinya kira-kira orang Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu
sebagai tonil (sandiwara) daripada orang Hindu sendiri. Kunjungan Tagore tersebut
diakui Ki Hadjar berpengaruh besar bagi perkembangan Perguruan Tamansiswa.
Tamansiswa saat itu baru berusia lima tahun. “Sedjak koenjoengan itoelah laloe banjak orang terpaksa memperhatikan
oesaha kita dan…… (Ki Hadjar memberi jeda dengan titik enam titik)
banjaklah dari pada mereka itoe lalu mengerti, bahwa ada ‘wilde school’ jang
tidak boeas,” tulisnya. Setelah pulang ke India,
Tagore merekomendasikan kunjungan ke Tamansiswa bagi banyak tokoh pendidikan.
Lantas datanglah Profesor Pandia dari Kolombo, Sri Lanka; Profesor Khair dari
Bombay; Profesor Doktor Bunche yang dikenal sebagai juru damai di Palestina;
Rektor Amsterdams Lyceum, Belanda, Doktor Gunning; juga Profesor Bosquet dari
Aljazair. Bahkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru pernah berkunjung.
Dalam kunjungannya, Nehru menghadiahkan uang senilai f 5.000 kepada
Tamansiswa. Nehru menyatakan uang itu
berasal dari kantong pribadinya, bukan dari saku seorang perdana menteri.
Ternyata Nehru telah lama mengenal Tamansiswa, termasuk ajarannya yang
melarang menerima hadiah dari siapa pun apabila menyebabkan berkurangnya
kemerdekaan lahir-batin. Bagi Ki Hadjar, jumlah uang yang diberikan bukanlah
hal penting. Justru yang menarik adalah bagaimana setelah Nehru datang Ki
Hadjar lewat tulisannya mengoreksi pernyataan Nehru yang menyamakan
Tamansiswa dengan Shantiniketan. Ia menghargai Tamansiswa sebagai perguruan
nasional yang sama dengan Shantiniketan. “Tidak pernah kita merasa
bertingkat di bawah Shanti Niketan. Jang njata ialah adanja pernjataan itu
keluar dari mulut seorang pemimpin besar dari luar negeri. Semoga pernjataan
itu memboeka matanja sekalian mereka, jang belum dapat menghargai perguruan
nasional kita, Taman Siswa. Sedjak berdirinja pada tahoen 1922 tidak pernah
memakai dasar-dasar selain dasar kebudajaan bangsa sendiri,” tulis Ki Hadjar (Poesara,
Agustus 1950). ••• SAYANGNYA, tak ada
dokumentasi foto Rabindranath Tagore ketika berkunjung ke Tamansiswa. Pun tak
ada arsip surat-menyurat antar Ki Hadjar Dewantara dan Tagore. “Tidak ada
dokumentasi (kunjungan 1927) yang disimpan di perpustakaan,” tutur Agus
Purwanto, pengelola perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya. Yang ada
hanyalah lukisan foto Tagore dan Maria Montessori setengah badan yang
dipajang bersebelahan di pojok dinding ruang sisi barat dalam bangunan Museum
Dewantara. Dulu kedua lukisan itu
dipajang di Pendapa Agung. Montessori berkunjung ke Tamansiswa pada 1940.
Montessori adalah pendidik anak dari Italia yang kemudian pindah ke India
karena negara fasis Italia saat itu mengekang pendidikan merdeka. Baik Tagore
maupun Montessori dianggap Ki Hadjar sebagai penunjuk jalan baru dunia
pendidikan. “Sampai saat ini kami tidak tahu siapa pelukisnya,” kata Agus
Purwanto. “Yang jelas, yang meminta (pemasangan gambar Tagore dan Montessori
di Pendapa Agung Tamansiswa) adalah Ki Hadjar,” ucap Supardi. Menurut Supardi, ketimbang
Montessori, Shantiniketan lebih terlihat menginspirasi Ki Hadjar. Saat
meneliti Tagore, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta ini tiga kali datang ke India, yaitu pada 2013,
2014, dan 2018. Ia mengikuti International Conference on India-Indonesia
Bilateral Ties di Jawaharlal Nehru University, New Delhi. Pada kunjungan
19-20 November 2014, Supardi diminta mempresentasikan makalah berjudul “The
Thoughts of Rabindranath Tagore and Ki Hadjar Dewantara about Education”. ••• SEJAUH riset Supardi
selama ini, ia tidak menemukan tulisan Rabindranath Tagore yang mengutip atau
menceritakan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Lebih banyak tulisan Ki Hadjar
yang menyebut Tagore sebagai inspirasi Tamansiswa. Tatkala berkunjung ke
Museum Shantiniketan, Supardi sempat membaca dokumen surat-surat Tagore. Tagore menulis buku
Letters from Java, Rabindranath Tagore’s Tour of South-East Asia. Dalam buku
itu, Supardi mengungkapkan, Tagore tidak menuliskan secara khusus kunjungan
ke Tamansiswa. Tagore lebih banyak menuliskan kekagumannya terhadap Candi
Borobudur dan kedatangannya ke Surakarta. Saat masih berada di Batavia pada
21 Agustus 1927, Tagore, misalnya, menulis sajak tentang Borobudur. “Surakarta
banyak disebut. Bahkan ia ikut dalam peresmian Jalan Rabindranath Tagore di
Solo yang saat ini sudah tak ada,” ujar Supardi. Tempo pernah berkunjung ke
Shantiniketan beberapa tahun lalu. Letak Shantiniketan sekitar 200 kilometer
dari Kolkata. Suasana perdesaan masih terasa tatkala memasuki kawasan
Shantiniketan. Waktu perjalanan dengan mobil lebih-kurang tiga jam. Di
Kolkata terdapat Jorosanko Thakurbari, rumah keluarga besar Tagore dan tempat
Tagore menghabiskan masa kecil yang kini menjadi museum dan dapat
dikunjungi. Selain mengunjungi
universitas, pengunjung yang singgah di Shantiniketan dapat mendatangi
mansion atau rumah yang pernah ditinggali Tagore di area yang disebut
Uttarayana. Tagore membangun lima rumah peristirahatan bersuasana meditatif
dengan taman yang luas di sana. Ia mendesain sendiri bangunan tersebut.
Semuanya bergaya campuran arsitektur kolonial dan India. Rumah-rumah berwarna
putih dengan beranda lapang itu berdekatan dan memiliki fungsi
sendiri-sendiri. Mansion terbesar diberi
nama Udayana Bari (Rumah Udayana). Menurut Samit Das, penulis buku
Architecture of Santiniketan, Tagore’s Concept of Space, di sinilah Tagore
dulu sering menggelar pentas drama dan komposisi musik yang ia karang untuk
tamu-tamu khusus. Sebuah mobil kuno berpelat nomor WBA 689 dengan dua lampu
besar di depan milik Tagore saya lihat masih diletakkan di garasi samping
rumah ini. Mansion terbesar kedua bernama Konark. Memasuki rumah ini, ada
plakat yang menerangkan bahwa di sinilah Tagore sering membacakan sajak-sajaknya.
Rumah ketiga disebut Shyamali, tempat Tagore pernah menjamu Mahatma Gandhi.
Gandhi menginap di rumah ini dan berdialog dengan Tagore. Rumah keempat
bernama Punascha. Adapun rumah kelima yang memiliki banyak jendela disebut
Udichi. Sebelum memasuki kawasan
rumah Tagore, di Uttarayana kita bisa mengunjungi sebuah museum bernama
Rabindra Bhavan. Didesain oleh Rathindranath, putra Tagore, museum ini
menyajikan manuskrip dan foto Tagore, cendera mata hasil perjalanan Tagore
berkeliling dunia, surat tulisan tangan Tagore, juga replika medali Hadiah
Nobel Sastra yang ia peroleh pada 1913. Di sinilah surat Tagore di Jawa yang
aslinya berbahasa Bengali dan berjudul “Java-Jatir Patra” disimpan. Selain
surat itu, ada foto Tagore bersama Mangkunegara VII. Foto itu diambil tatkala
Tagore berkunjung ke Surakarta pada 1927. Bagi Tagore, perjalanannya
ke Bali dan Jawa adalah perjalanan ziarah. Tagore meyakini terdapat suatu
kesinambungan artistik tradisi dan agama di India dengan di Jawa dan Bali.
Menyaksikan upacara-upacara dan tari-tarian di Jawa-Bali, Tagore
mengungkapkan bahwa dia merasakan semua itu adalah kebudayaan India yang
telah lama hilang. Krishna Dutta dan Andrew Robinson, penulis buku Tagore:
The Myriad-Minded Man, menceritakan, begitu sampai di Bali, Tagore diantar
dengan mobil bersama seorang pendamping tapi tanpa penerjemah. Keduanya sama-sama diam
karena tidak memahami bahasa masing-masing. Namun, tatkala melewati pinggir
lautan, orang Bali yang mendampingi Tagore secara spontan seraya menunjuk ke
arah laut mengatakan kepada Tagore: “Samudra!” Tagore terkesiap. Sebab,
“samudra” adalah kata Sanskerta untuk “laut”. Tagore juga terkesima
mengetahui bahwa di Jawa bukunya, Gitanjali, sudah dikenal melalui terjemahan
penyair Noto Soeroto yang pernah tinggal di Belanda dan bertemu dengannya di
negeri tersebut. Saat mengunjungi Candi Prambanan, ia kaget mendapati relief
Ramayana terpahat lengkap di sana, sesuatu yang tak ada pada candi-candi di
India. Tagore menulis bahwa Syiwa sudah menjadi guru besar di Jawa. Pada suatu waktu memang
terjadi hubungan antara Tamansiswa dan Shantiniketan. Sayangnya, hubungan itu
kini hilang. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/166359/rabindranath-tagore-di-tamansiswa |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar