Proyek
‘Domba’ Pendidikan
Fajar Sidik ; Alumnus Program Pascasarjana
Magister
Administrasi Publik Fisipol UGM
|
REPUBLIKA,
26 Agustus 2014
"Sejumlah kepala
sekolah pernah melawan tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut,
namun tindakan melawan hanya akan berujung pada ancaman terhadap jabatan yang
sedang diemban dan kenyataannya dari beberapa kepala sekolah yang melawan
akhirnya dirotasi dan sekarang hanya menjadi guru biasa (Republika,
14/8)." Petikan hasil wawancara ini menjadi petunjuk bahwa institusi
pendidikan "sakit" karena tersandera oleh kuatnya intervensi
politik.
Kasus
komersialisasi pendidikan yang terbungkus dalam program optimalisasi untuk
siswa miskin yang ditelurkan Dinas Pendidikan Kota Depok, Jawa Barat, perlu
mendapat perhatian secara serius. Alih-alih untuk mengakomodasi siswa miskin
yang belum tertampung masuk sekolah negeri, justru yang terjadi adalah
praktik jual beli kursi kosong dengan nilai menggiurkan kisaran Rp 500 ribu
sampai belasan juta rupiah. Parahnya, transaksi jual beli tersebut dimainkan
oleh anggota DPRD, LSM, wartawan, dan birokrat dinas. Di mana korban (siswa
atau orang tua siswa) yang dimainkan ini sering disebut dengan istilah "domba"
(Republika, 19/8). Yang menarik untuk ditanyakan adalah bagaimana program ini
jika dilihat dari kacamata kebijakan publik? Apa yang menjadi inti
kontradiksi dalam program ini? Lantas dari aktor yang terlibat tersebut,
siapa yang paling dominan dapat dikatakan bersalah?
Pendidikan
secara esensinya adalah untuk mencerdaskan anak bangsa. Pemerintah wajib
hadir untuk menyelenggarakan pendidikan secara merata dengan pelayanan
berkualitas prima dan optimal untuk masyarakatnya. Namun, tidak demikian
halnya seperti yang ditunjukkan pada program optimalisasi tersebut. Jalur
optimalisasi diberlakukan untuk seluruh SMPN dan SMAN di Kota Depok yang
dibuka seusai sistem PPDB resmi (online).
Realitas yang terjadi adalah banyak orang tua siswa yang memasukkan anaknya melalui
mekanisme titipan agar masuk di sekolah negeri. Akibatnya, sekolah negeri overload dari yang semestinya hanya
mampu menampung 10 rombongan belajar terpaksa harus menampung 13 rombongan
belajar. Imbasnya, gudanglah yang menjadi tempat belajar para siswa.
Diskriminasi juga terjadi karena banyak sekolah swasta yang kosong karena
tidak mendapat murid. Paparan tersebut menjadi gambaran kecil kontektualisasi
kasus yang sedang terjadi ini.
Kebijakan salah jalan
Dari
gambaran kasus di atas, pelaksanaan PPDB jalur optimalisasi ini dapat
dikatakan menyimpang dari esensi sebuah kebijakan itu sendiri. Karena, akar
suatu kebijakan sebenarnya diambil dan diputuskan dilatarbelakangi oleh
adanya masalah. Masalah ini muncul ketika antara dunia cita-cita (das sollen) jauh berbeda dengan dunia
nyata (das sein). Untuk itulah,
hadirnya kebijakan pendidikan dibutuhkan untuk mengurangi kesenjangan yang
terjadi (Rohman, 2009). Tegas, bahwa dalih yang dikeluarkan oleh pihak Disdik
setempat terkait program optimalisasi digulirkan untuk mengakomodasi aspirasi
rakyat miskin ternyata tidak menjawab akar permasalahnya.
Dapat
dikatakan demikian karena jika benar jalur otimalisasi ini dikhususkan untuk
warga miskin, mengapa justru sebuah kontradiksi yang terjadi. Sebab, pada
aturan jelas diterangkan bahwa kuota pendaftaran untuk keluarga miskin
sebanyak 20 persen dengan ketentuan penghasilan orang tua di bawah Rp 1 juta
per bulan yang ingin masuk sekolah negeri (PPDB resmi). Faktanya, di luar
PPDB resmi, yaitu jalur optimalisasi, mensyaratkan orang tua siswa membayar
uang sumbangan sukarela dengan besaran rata-rata Rp 5 juta. Bukti ini jelas
kentara, program ini diperuntukkan bukan untuk siswa miskin. Mana mungkin
"miskin" di sini dapat membayar uang sebesar itu dengan penghasilan
saja di bawah Rp 1 juta/bulan.
Pihak Dinas Pendidikan
salah
Jika
rata-rata menunjukkan dana sukarela mencapai Rp 5 juta, bayangkan jika ada
tiga kelas rombel yang masing-masing kelas terisi 35-40 siswa. Dana yang
terjaring mencapai Rp 175 juta - Rp 200 juta untuk satu kelas atau Rp 525
juta- Rp 600 juta untuk tiga kelas. Ini baru yang tersebar di satu sekolah,
belum secara keseluruhan SMPN dan SMAN. Dana sebesar itu sudah cukup untuk
digunakan seorang kepala sekolah yang ingin menjadi kepala dinas. Tentu, potensi
ini bisa terjadi manakala seperti petikan hasil wawancara di awal. Ketika
intervensi politik terlalu kuat terhadap birokrasi pelaksana, yang terjadi
adalah permainan "suap" akan lancar berlaku. Terlebih, permainan
ini disengaja dengan tanpa adanya pertanggungjawaban dan transparansi uang
tersebut diperuntukkan untuk apa.
Sepenuhnya,
jika orang tua yang disalahkan, dalam hal ini saya kurang sependapat. Sebab,
sebuah kebijakan bisa dilaksanakan setelah peraturan dibuat dan ditetapkan
oleh badan pemerintah yang berwenang sebagai pihak yang menyelenggarakan (Riplay, 1982). Maka, dalam konteks ini
jelas sudah bahwa Dinas Pendidikan setempatlah yang paling dominan di antara
aktor-aktor lainnya. Sekolah tidak akan melaksanakan jalur optimalisasi
tersebut tanpa instruksi resmi dan izin yang dikeluarkan oleh Disdik
setempat. Aktor lain, seperti anggota DPRD, wartawan, dan LSM, ini sebenarnya
hanya ikut bermain karena segala kewenangan tetap yang pegang adalah instansi
tersebut.
Menurut
saya, program optimalisasi ini harus ditutup dan berikan beasiswa kepada para
siswa miskin yang tidak tertampung di sekolah negeri untuk sekolah di swasta.
Pemberian beasiswa ini harapannya
adalah agar para siswa miskin tidak mengalami putus sekolah menjadi akar
masalah yang perlu diselesaikan sebagai logika dasarnya. Maraknya
komersialisasi tersebut tanpa sadar dilakukan oleh pihak penyelenggara
pendidikan yang bersangkutan dari sistem kebijakan PPDB yang secara
serampangan dan tidak matang dilaksanakan.
Kekrisuhan
ini bakal selalu terjadi manakala siswa mampu, tetapi nilai UN rendah
berusaha agar mudah masuk sekolah negeri dengan "suap berbiaya
tinggi" karena tidak mampu bersaing di PPDB resmi. Akibatnya, siswa
miskin tidak berdaya untuk menghadapi gempuran-gempuran seperti ini.
Parahnya, pemerintah daerah yang berkewajiban menjamin para siswa miskin
tersebut malah menutup mata dengan menyandera birokrasi (intervensi politik)
dan absen untuk melindunginya. Beasiswa diberikan dan komersialisasi
dihapuskan itu tergantung kuat tidaknya komitmen kepala daerah sebagai
pemilik otoritas tertinggi daerah. Ini hanya soal mau atau tidak mau, niat
atau tidak niat mengambil langkah tersebut! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar