Jalan
Sutra Maritim
Evi Fitriani ; Ketua Departemen Ilmu Hubungan
Internasional FISIP Universitas Indonesia; Co-founder ASEAN Study Center,
FISIP UI
|
KOMPAS,
25 Agustus 2014
KETIADAAN visi
kemaritiman para pemimpin selama ini membuat ide presiden terpilih Joko
Widodo untuk membangun Indonesia sebagai kekuatan maritim disambut hangat.
Entah ada hubungannya atau tidak, inisiatif untuk mengembangkan potensi
maritim negara sudah lebih dulu dicanangkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping
satu tahun yang lalu.
Dalam kunjungannya ke
Indonesia pada Oktober 2013, Presiden Xi memaparkan rencana Tiongkok untuk
membangun the 21st Century Maritime Silk Road (MSR). Tujuannya, seperti jalan
sutra yang sudah ada sejak abad ke-2 Masehi (Bouldois 2012), menyebarkan
perdamaian dan kesejahteraan di sepanjang jalurnya.
Bagaimana Indonesia?
Luasnya wilayah laut
dan keterbatasan sumber daya membuat Indonesia tidak mempunyai pertahanan
negara dan keamanan laut yang dapat diandalkan.
Belakangan ini, atas
nama Operation Sovereign Border, kapal negara Australia berkali-kali keluar
masuk wilayah teritoral Indonesia untuk mendorong kembali kapal-kapal
pengungsi ke daratan Indonesia dan kita tak mampu mencegahnya.
Sudah menjadi rahasia
umum pula kapal-kapal selam negara lain hilir mudik di bawah perairan
Indonesia tanpa izin. Belum lagi masalah bajak laut, penyelundupan manusia,
narkotika, senjata, kayu, dan barang lain di perairan Indonesia.
Secara ekonomi, kelemahan
kekuatan maritim kita juga sangat merugikan negara, seperti pencurian ikan
dan hasil laut, serta perampokan harta situs-situs kapal karam di perairan
Indonesia.
Sangat aneh bila
Indonesia mengabaikan potensi lautnya karena sebagian besar wilayah Indonesia
adalah laut dan Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia.
Banyak warga Indonesia
yang tinggal di pesisir, menggantungkan hidupnya pada kekayaan laut, dan
berpotensi mengembangkan ekonomi kelautan.
Prioritas membangun
sektor kelautan juga dapat membuka isolasi daerah-daerah terpencil, dapat
menghidupkan wilayah-wilayah perbatasan, dapat meningkatkan koneksitas
ekonomi dan nonekonomi antara Jawa dengan luar Jawa.
Tiongkok yang
wilayahnya sebagian besar daratan saja berkeinginan untuk menjadi kekuatan
maritim lewat program MSR.
Program ini
diinspirasi oleh jalur perdagangan laut kuno yang menghubungkan Tiongkok dan
pusat perekonomian Eropa melalui perairan Asia Tenggara, Samudra India, dan
Laut Mediterania. Perdagangan laut sepanjang jalur ini tidak hanya
menciptakan persahabatan, tetapi juga menciptakan pusat-pusat ekonomi
termasuk di Sumatera dan Semenanjung Malaya (Wang 2014).
Perdana Menteri
Tiongkok Li Keqiang dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Tiongkok Ke-16 di
Brunei tahun 2013 menyatakan bahwa MSR baru akan menghubungkan Tiongkok dan
negara-negara ASEAN untuk memperkuat kerja sama kedua pihak di segala
dimensi, termasuk saling mendukung pembangunan ekonomi.
Asia Tenggara dianggap
mitra strategis bagi Tiongkok sehingga dalam Neighboring Policy Tiongkok yang
baru, negara-negara ASEAN menjadi prioritas (Han 2014).
Dalam satu forum
dialog di Nanning, Tiongkok, Juni 2014, para ilmuwan Tiongkok menjelaskan
bahwa MSR juga akan menguntungkan negara-negara ASEAN karena mendukung
jaringan produksi regional dan menjembatani kesenjangan ekonomi antarnegara
ASEAN. Mereka memaparkan beberapa program dalam MSR, termasuk komitmen
Tiongkok untuk membentuk China-ASEAN Maritime Cooperation Fund dan menjaga
keamanan sepanjang jalur MRS.
Sinergi visi maritim
Indonesia tidak perlu
khawatir dengan MSR karena tiga alasan. Pertama, Indonesia bukan musuh
Tiongkok, bahkan Tiongkok menganggap Indonesia mitra paling penting di Asia
Tenggara.
Kedua, Indonesia dapat
menyinergikan kebijakan pengembangan maritimnya dengan inisiatif MSR. Ketiga,
inisiatif MSR Tiongkok wajar mengingat kekuatan dan potensi negara tersebut.
Tiongkok berhak mengembangkan program-program yang mendukung keberlanjutan
pembangunan ekonominya, sebagaimana dilakukan negara-negara besar lain
termasuk Amerika Serikat.
Yang penting,
program-program dalam MSR tidak boleh ditentukan dan diputuskan hanya oleh
Tiongkok, harus ada dialog dan kesepakatan dengan negara-negara ASEAN.
Consent ini harus diakomodasi oleh Tiongkok jika ingin MSR-nya mendapat
dukungan.
Untuk itu perlu
disuarakan kepentingan-kepentingan Indonesia dan negara-negara lain di Asia
Tenggara terutama agar MSR tidak dijadikan Tiongkok sebagai pembenaran untuk
memperkuat armada perangnya.
Bagi ASEAN, MRS abad
ke-21 yang dicanangkan Tiongkok dapat menjadi remedy dari kebijakan land-connectivity
yang dicanangkan beberapa tahun lalu. Konektivitas darat tersebut
direncanakan memperlancar transportasi dan logistik kota-kota di selatan
Tiongkok dengan negara-negara ASEAN yang berada di daratan Benua Asia dan
Semenanjung Malaya.
Kebijakan koneksitas
ASEAN dengan Tiongkok ini akan sangat menguntungkan perekonomian
negara-negara ASEAN kecuali Indonesia dan Filipina. Maka, gagasan MSR abad
ke-21 dapat memperlancar koneksitas Indonesia dengan negara-negara ASEAN
lainnya, selain dengan Tiongkok.
Bagi Indonesia, MSR
abad ke-21 dapat disinergikan dengan program pembangunan kekuatan maritim
untuk kepentingan pertahanan-keamanan dan ekonomi kelautan.
Indonesia harus dapat
mengambil manfaat dari inisiatif Tiongkok tersebut untuk membangun
infrastruktur kelautan yang selama ini terkendala keterbatasan sumber daya,
sekaligus meningkatkan ekspor dan mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi
terkait laut, misalnya membangun galangan dan industri kapal, perikanan, dan
jasa-jasa sektor kelautan.
Dengan demikian, kita
perlu menyikapi ide MSR abad ke-21 Tiongkok secara proporsional. Yang lebih
penting adalah menjaga komitmen untuk membangun kekuatan maritim Indonesia
secara konsisten dan memahami prioritas Indonesia dalam pembangunan sektor
kelautan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar