Dendam
dan Tragedi Aswatama
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 25 Agustus 2014
Dalam
lakon Karna Tanding, Prabu Salya, sang mertua, mengendalikan kereta perang
Karna. Dengan keagungan dewata, dia seanggun Batara Kresna yang mengendalikan
kereta perang Arjuna. Di dalam kereta itu ada Aswatama yang memperhatikan
dengan cermat jalannya perang dan secara khusus melihat bagaimana Prabu Salya
mengendalikan kereta menantunya.
Memang
benar, Prabu Salya mertua Karna, tapi dia juga paman Arjuna. Menantu dan
keponakan sama beratnya. Kurawa dan Pandawa, dua-duanya “keluarga”. Kepada
siapa dia akan memihak? Ini perkara pelik. Tidak mudah baginya untuk
mengambil keputusan jelas, tanpa keraguan, tanpa dilema. Tiba-tiba Karna
memintanya menjadi kusir untuk mengimbangi kemegahan Kresna yang menjadi kusir
Arjuna. Ini juga permintaan dilematis. Tak ada secuil pun kemuliaan baginya
menjadi kusir itu, terutama karena dia akan melihat Arjuna kemungkinan
terkena panah sakti menantunya.
Tapi
Prabu Salya tak mau membiarkan dirinya di dalam ketidakjelasan yang menyiksa.
Dia menerima permintaan menantunya untuk menjadi kusir senapati agung.
Keraguan pun terpecahkan. Kini posisinya jelas: memihak Kurawa dan jelas
turun ke medan laga di barisan senapati pihak Kurawa. Dalam serang-menyerang
dengan panah dewata yang mengerikan, kedua pihak, Karna maupun Arjuna, sama
hebatnya. Tapi ada momen-momen pendek mengerikan: panah Karna jelas bakal
memenggal leher Arjuna yang sedetik sedang lengah, yaitu ketika dia sadar
rambutnya terpanah dan “mahkota” kesatriaannya rontok.
Saat
itu Prabu Salya tahu, panah sang menantu berikutnya jelas akan menghabisi
riwayat keponakannya. Dalam situasi menegangkan itu, secara kilat, yang tak
diketahui siapa pun, kecuali oleh Aswatama, dia berusaha melindungi
keponakannya. Kereta digenjot, kuda-kuda penariknya tak terkendali, dan
akibatnya panah Karna yang melesat dengan kecepatan angin itu, yang
seharusnya secara matematis pasti memenggal leher Arjuna, ternyata melenceng,
bergeser beberapa jengkal dari sasaran. Dan saat itu Kresna menyuruh Arjuna
membalas serangan dengan kecepatan melebihi kedipan mata. Panah Arjuna
memenggal leher Karna.
Dikisahkan,
berkat ketajaman panah Arjuna yang disebut pitung pencukur, yaitu tujuh kali
lebih tajam daripada silet, Karna masih tetap tegak. Lehernya yang sudah
terputus masih menempel pada tubuhnya. Kecurangan Prabu Salya dilaporkan oleh
Aswatama kepada Duryudana dalam suatu sidang darurat. Semua pihak kaget
mendengarnya. Tapi Aswatama kalah wibawa menghadapi Prabu Salya, mertua sang
raja. Aswatama sadar, tampaknya dia akan kalah. Banyak pihak yang membenarkannya
dalam hati, tapi tak satu pun yang memihak kepadanya.
Akhirnya
dia lari masuk hutan, menghindari amukan Prabu Salya yang kejahatannya
diketahui umum. Di hutan, Aswatama sendirian. Hatinya penuh kemarahan dan
dendam. Dia tak habis pikir, mengapa laporannya, yang jelas berisi kebenaran,
tak memperoleh telinga yang bisa mendengarnya? Bagaimana kebenaran yang tak
ditoleh telinga bakal masuk ke dalam hati dan membentuk suatu sikap? Dia
sadar, sang raja yang serakah dan menyembunyikan kebenaran memang mustahil
bersedia menerima kebenaran tanpa prasangka.
Di
sekitarnya, orang yang bertindak benar malah celaka. Selain tak didengar
rajanya, kebenaran selalu dicemooh orang-orang di kiri kanannya. Duryudana
berada dalam lingkaran kemunafikan “agung”, yang dihalalkan oleh para
pendukungnya, yaitu orangorang yang mencari selamat dan kedudukan duniawi
yang tak boleh tergoyah. Aswatanma tak pandai menyanyikan tembang-tembang
yang disukai rajanya. Dia hanya menyanyi jika baginya ada yang layak
dinyanyikan. Tembangtembang yang tak cocok dengan hati sang raja dibuang dan
dilupakan.
Raja
hanya membutuhkan pujian, bukan mencari kebenaran. Mengapa Aswatama tak
memujinya? Satria perkasa itu bersembunyi di dalam kesunyian hutan sampai ada
terbetik kabar, raja telah gugur, perang dimenangi pihak Pandawa dan kurawa
luluh lantak jadi debu. Ini kebenaran. Mengapa mereka kalah dan mengapa
Pandawa menang, sudah jelas tak mungkin diganggu gugat lagi. Panas hati
Aswatama. Dia tak mau menerima kekalahannya karena dia masih bisa berbuat
sesuatu. Tapi apakah berbuat sesuatu di sini dibenarkan oleh aturan dan
hukum-hukum perang? Lagipula, bukankah perang telah selesai? Dia tak peduli.
Pada
malam sepi, ketika keluarga Pandawa dan sedikit pendukungnya sudah kelelahan
dan merasa aman, semua tertidur. Dengan pedang yang menyalakan dendam di
tangannya, dia menebas semua orang, tanpa kecuali, yang sedang nyenyak dalam
kenyamanan tidur masing-masing itu. Lalu dia mendatangi satu titik cahaya,
titik terpenting: bayi Dewi Utari, Parikesit, yang bakal menjadi penerus
dinasti Pandawa. Dia terkam bayi itu dengan pedangnya yang berdarah- darah
dan penuh dendam tadi.
Tapi
entah bagaimana, bayi itu bergerak, kakinya menyenggol tangkai keris didekatnya,
dan keris pun menyambar leher Aswatama yang lalu jatuh tak berdaya di kaki
tempat tidur sang bayi, dalam posisi antara hidup dan mati dan penuh sesal,
mengapa tak cukup puas membunuh semua yang dewasa dan lari dengan selamat ke
hutan? Dalam sekarat yang menyakitkan, Aswatama diterkam rasa dendam yang lebih
dalam karena tak bisa tampil di depan umum,
di
tengah jiwa masyarakat yang hancur sesudah perang, bahwa dia telah menghabisi
musuh-musuhnya. Dia menyesali kebodohannya dan kini tunduk dalam pelukan
tragedi yang begitu getir. Dia merasakan, betapa sisa malam itu begitu
panjang dan melelahkannya. Dia tak berdaya, tapi juga tak mampu memadamkan
dendam, yang masih membakarnya, tanpa ampun, dari dalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar