Doa
dan Pancasila
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
SUMBER : KORAN
TEMPO, 3 Juni 2012
Pancasila tak sekadar pidato atau perdebatan
pelik soal falsafah negara. Sejarah Pancasila pun menguak doa. Kita bisa
melakukan selisik melalui pengakuan Sukarno. Pancasila mewartakan religiositas
sebagai basis politik Indonesia. Sukarno telah merancang Pancasila sejak
1920-an untuk memberi makna dan mengisahkan Indonesia. Ritus menggali-mengolah
Pancasila memuncak saat menjelang pidato Pancasila: 1 Juni 1945.
Sukarno menerangkan peristiwa religius di
rumah beralamat di Jalan Pengangsaan Timur 56: malam menjelang pidato
Pancasila. Kita bisa turut merasai ritus pendoa untuk mengajukan Pancasila
sebagai falsafah Indonesia. Sukarno (1964) mengisahkan: “Saja keluar di malam
sunji itu dan saja menengadahkan wadjah saja ke langit. Dan, saja melihat
bintang gemerlapan, ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan, di sinilah saja
merasa kecilnja manusia, di situlah saja merasa dhaifnja aku ini, di situlah
aku merasa pertanggungan-djawab jang amat berat dan besar jang diletakkan di
pundak saja, oleh karena keesokan harinja saja harus mengemukakan usul saja
tentang hal dasar apa negara Indonesia merdeka harus memakai.”
Sejarah Pancasila melibatkan tubuh dramatis.
Pancasila memuat pemaknaan ruang dan waktu. Puncak ritus ke arah Pancasila
adalah doa. Urusan Indonesia ada dalam kefasihan dan kekhusyukan doa ala
Sukarno. Ingatan Sukarno terkait hikmah berdoa: “Saudara-saudara, setelah aku
mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saja merasa mendapat ilham. Ilham jang
berkata: Galilah apa jang hendak engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia
sendiri. Maka, malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di
dalam ciptaku, menggali di dalam khajalku, apa jang terpendam di dalam bumi
Indonesia, agar supaja sebagai hasil dari penggalian itu dapat dipakainja
sebagai dasar negara Indonesia merdeka jang akan datang.” Kisah Pancasila
menjadi ketakjuban. Pancasila bergerak di jalan religius.
Yudi Latif (2011) menjelaskan bahwa mekanisme
dan ritus Pancasila memuat sejarah, doa, politik, tubuh, waktu. Historisitas
mengartikan peran Sukarno identik dengan arus religius dan kebangsaan. Kita
mengingat episode historis-religius itu menguatkan basis referensial Pancasila.
Pilihan nama Pancasila saja sudah mengangkut anasir-anasir religius sejak masa
silam. Istilah itu merujuk ke etik-religius Buddha. Kita pun bisa menilik ke
sejarah pilihan istilah saat pidato ihwal Pancasila: 1 Juni 1945. Sukarno tak
memilih istilah Panca Dharma. Kata “dharma” berarti kewajiban. Sukarno memilih
istilah Pancasila. Sila berarti asas atau dasar. Jejak istilah ini mengentalkan
makna-makna religius.
Petilan-petilan sejarah ini mengantarkan kita
ke relasi-sinkronisitas doa dan Pancasila. Doa menjadi pijakan. Indonesia pun
antologi doa. Konstruksi dan pengisahan Indonesia bergerak di arus doa. Sukarno
adalah pendoa. Sukarno memberi makna doa dalam bingkai politik-kultural
Indonesia. Doa Sukarno menarik sejarah silam dan memendarkan pengharapan-optimisme
untuk Indonesia. Kita mafhum bahwa doa menjelma akar Indonesia.
Tamsil tentang Indonesia dan alur religius
diajukan Sukarno di buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia
(1966) susunan Cindy Adams. Idiom-idiom religius dan doa kerap digunakan oleh
Sukarno. Tamsil impresif diajukan Sukarno: “Allah memberi pikiran kepada kita,
agar supaja dalam pergaulan kita sehari-hari kita selalu bergosok, seakan-akan
menumbuk membersihkan gabah, supaja keluar dari padanja beras dan beras itu
akan mendjadi nasi Indonesia jang sebaik-baiknja.” Sukarno terasa fasih
menguak-mewartakan bahasa-bahasa simbolik-religius untuk pemartabatan
Indonesia.
Pengalaman religius Sukarno adalah rujukan
kita untuk mengembalikan Pancasila sebagai ejawantah ekspresif tentang
jejak-jejak pertautan Indonesia dengan pelbagai peradaban dan agama. Doa justru
mengajarkan kepada kita ihwal basis religius negara dan kontinuitas religius
dalam proses berbangsa selama ribuan tahun. Sukarno pun kita mengerti sebagai
sosok pengabar etik-religius di arus sejarah Indonesia. Indonesia merupakan
antologi doa dan politik kendati menanggungkan kolonialisme. Sukarno tampil
untuk pemaknaan Indonesia berbasis doa.
Kita menemukan ejawantah religius memancar di
arus politik. Kondisi ini mengartikan pemisahan agama dan negara tak berlaku di
Indonesia. Agama justru menjadi akar dari konstruksi negara-bangsa. Doa Sukarno
dan Pancasila itu secuil dari selebrasi doa para penggerak bangsa selama
ratusan tahun saat melawan kolonialisme dan mendefinisikan diri. Doa melampaui
nalar politik. Doa tak sekadar ada dalam ranah ibadah. Doa adalah segala.
Ritus doa menjelang Pancasila pun meresap ke
semua pandangan Sukarno: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau
perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, ketuhanan.
Sukarno mengingatkan ada referensi-referensi simbolik dalam Pancasila. Agenda
mengamalkan Pancasila mesti mengandung anutan doa sebagai landasan hidup.
Pancasila tak sekadar rangkaian kata. Pancasila itu jelmaan doa menggerakkan
Indonesia.
Doa dalam pengalaman religius Sukarno adalah
kekuatan: emansipatif dan reflektif. Strategi politik-religius ini representasi
dari pergumulan Sukarno ke jagat ajaran dan praksis Islam. Pandangan Sukarno
tentang Islam mengental selama menanggung hukuman pembuangan di Endeh
(1930-an). Sukarno melakukan korespondensi dan adu argumentasi bersama tokoh
Persatuan Islam di Bandung: T.A. Hasan. Sukarno pun mafhum bahwa Islam adalah
“kemadjoean”. Islam sanggup menjadi energi politik untuk pemerdekaan dan
pemartabatan (Lubis, 2010). Konklusi ini mengantarkan Sukarno atas hikmah doa
dalam mengkonstruksikan falsafah negara: Pancasila. Doa adalah lambaran
religi-politik.
Doa adalah jejak asali manusia. Doa adalah
segala. Kita pun mafhum bahwa pengisahan doa dan Pancasila oleh Sukarno
membuktikan kuasa Tuhan dalam pembentukan-pelanggengan Indonesia. Afirmasi doa
pun hadir dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai deklarasi tentang etik-religius di
arus politik Indonesia. Sukarno adalah pendoa. Indonesia lahir dari doa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar