Mendesain
Insentif Investasi
Haryo Kuncoro ; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta;
Doktor Ilmu Ekonomi lulusan PPs-UGM
Jogjakarta
|
JAWA
POS, 28 Februari 2018
KINERJA
perekonomian sepanjang 2017 tidak menyurutkan optimisme pemerintah untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi pada 2018. Dengan target 5,4%, pemerintah
mengandalkan ekspor dan investasi.
Harapan
tersebut masuk akal. Pemulihan perekonomian global, kendati masih tersendat,
terus memperlihatkan kemajuan positif. Indikatornya, harga beberapa komoditas
andalan ekspor di pasar dunia memperlihatkan perbaikan. Perbaikan rating dari
lembaga pemeringkat internasional mempertebal keyakinan investasi akan
menjadi lokomotif pertumbuhan. Hal ini memerlukan kerja keras lantaran
memerlukan kenaikan investasi setidaknya 7%.
Dalam
perspektif teoretis, pertumbuhan ekonomi yang disokong oleh investasi
menawarkan banyak benefit. Selain lebih berkelanjutan (sustainable),
investasi diikuti dengan transfer teknologi, penciptaan kesempatan kerja, dan
perbaikan distribusi pendapatan. Dengan alur logika ini, pemerintah serius
membangun infrastruktur untuk mengundang investasi lain di berbagai bidang.
Dalam
konteks ini, pemerintah tengah menggodok insentif investasi berupa tax
allowance, tax holiday bagi perusahaan ventura, insentif pajak bagi pelaku
UKM, serta bagi kegiatan penelitian, pengembangan, dan pelatihan vokasi.
Dalam
ranah empiris, efektivitas keempat skema insentif fiskal di atas masih
menjadi perdebatan. Kebijakan tax allowance yang sudah diperkenalkan sejak 10
tahun lalu terbukti tidak menarik banyak peminat.
Situasi
yang sama juga terjadi pada 16 paket deregulasi ekonomi.
Kemudahan berusaha
di berbagai sektor produksi tampaknya belum mampu membangkitkan hasrat
pengusaha segera menanamkan modalnya.
Wacana
tax holiday dalam bentuk dispensasi pembayaran PPh dan/ atau membayar PPh
dengan tarif reduksi juga menyisakan pertanyaan. Penelitian IMF (2012)
menunjukkan pengurangan pajak untuk menarik investasi hanya manjur untuk
negara maju daripada negara berkembang.
Sehimpun
fakta di atas menyarankan perlunya reorientasi dalam merancang insentif
fiskal. Analisis komprehensif atas manfaat dan biaya terhadap pemberlakuan
skema insentif perlu dicermati kembali.
Sebagai
contoh, insentif fiskal niscaya memunculkan potensi kehilangan penerimaan
negara seandainya insentif tidak diberikan. Sementara potensi penerimaan
negara hilang, pemerintah harus mengeluarkan berbagai biaya administrasi dan
ongkos pengelolaan insentif.
Apa
pun bentuknya, insentif pajak akan memangkas biaya penggunaan modal sehingga
mendorong kenai- kan permintaan barang modal. Sayangnya, pasokan barang modal
inelastis. Konsekuensinya, insentif pajak bisa salah sasaran yang menguntungkan
pemasok barang modal alih-alih investor.
Agar
tidak salah sasaran, investor perlu diberi panduan secara detail sektor
tertentu yang berhak mendapatkan insentif. Hal ini penting mengingat
investasi yang berorientasi ekspor, terutama yang mudah berpindah (mobile),
lebih sensitif terhadap insentif pajak.
Lebih
spesifik lagi, insentif perlu diberikan pada level perusahaan. Insentif pajak
tidak bekerja pada perusahaan yang menghadapi kendala keuangan. Pengalaman di
Thailand, misalnya, perusahaan yang mendapat keuntungan dari insentif justru
memiliki rasio keuangan yang lebih lemah daripada yang tidak.
Dalam
skala internasional, pemberian insentif fiskal bisa menyeret masuk pada isu
persaingan fiskal lintas negara. Artinya, insentif fiskal bisa mandul tatkala
negara lain, terutama yang berada di satu kawasan, juga menawarkan insentif
yang sama.
Insentif
fiskal juga bisa ditafsirkan sebagai bagian dari politik dumping, terutama
oleh negara lain yang tidak memberlakukan insentif sejenis. Dalam logika
mereka, insentif membuat harga produk lebih murah sehingga menggerus pangsa
pasar negara pesaing.
Per
definisi, insentif bersifat temporer. Pada suatu saat, insentif fiskal bakal
dicabut. Yang perlu dipikirkan adalah pencabutan insentif tidak otomatis
melepas perusahaan penerima insentif layaknya perusahaan yang tidak menerima
insentif.
Alhasil,
insentif yang bersifat sementara memiliki dampak jangka pendek yang lebih
besar daripada insentif yang permanen. Dalam jangka panjang, inflasi yang
rendah yang merupakan faktor lain di luar keputusan untuk memberikan insentif
berfungsi sebagai subsidi investasi yang baik.
Harus
diakui, insentif sejatinya adalah intervensi pasar. Eksistensi insentif
fiskal terjustifikasi jika mampu mengoreksi inefisiensi pasar. Ketidakmampuan
mengemban misi koreksi membuat insentif berubah menjadi kegagalan pemerintah,
bahkan kegagalan policy.
Aspek
penting lain adalah indikator baku untuk evaluasi. Untuk sektor industri dan
perusahaan dengan produk fisik, evaluasi kuantitatif atas program pemberian
relatif mudah dilakukan. Komparasi outcome antara sebelum dan sesudah
insentif mengarahkan pada simpulan yang utuh.
Persoalan
agak berbeda ketika menilai insentif di sektor jasa, khususnya kegiatan
penelitian dan pengembangan serta perusahaan yang melakukan pelatihan vokasi.
Kriteria kualitatif perlu ditetapkan secara kukuh untuk menghindari
ambiguitas simpulan akhir.
Dengan
konfigurasi problematika di atas, efektivitas insentif fiskal sangat
bergantung pada ekosistem usaha di Indonesia. Tanpa mengalkulasi semua
karakteristiknya, insentif fiskal niscaya memiliki efek yang sangat terbatas.
Alhasil,
insentif fiskal menjadi syarat perlu untuk mencapai tujuan kebijakan
industri, seperti diversifikasi investasi, peningkatan nilai tambah, promosi
ekspor, dan substitusi impor. Syarat cukupnya adalah iklim investasi.
Jelasnya, pemerintah harus mendedikasikan kebijakannya untuk memperbaiki
iklim investasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar