Militerisme
dan Geopolitik
Seno Gumira Ajidarma ; Panajournal.com
|
TEMPO.CO,
27 Maret
2018
Konsep yang secara ilmiah telah
gugur tidak dengan sendirinya mati. Sebaliknya, ia justru bisa tetap hidup
dan berkembang meskipun menjadi ketersesatan pikir karena menguntungkan
kepentingan politik identitas pihak yang membutuhkannya. Demikian yang
terjadi pada rasisme, begitu pula pada Geopolitik. Maka, perlu segera
dipisahkan antara geopolitik sebagai peminatan ilmu pengetahuan yang
mempertimbangkan ruang dalam pengertian tata politik dunia atau ilmu bumi
politis (political geography) dan Geopolitik sebagai pemikiran yang tumbuh di
Jerman tahun 1930-an.
Kekeliruan yang dibuat Friedrich
Ratzel (1844-1904) ini mengalihkan konsep Raum (ruang) kelompok-kelompok
politik, menjadi Lebensraum (ruang untuk hidup) yang dimanfaatkan kaum
geopolitikus. Jika konsep Raum merupakan wacana ilmu bumi tentang perbatasan
negara, konsep Lebensraum menganggap negara merupakan organisme alamiah yang
membenarkan penguasaan ruang geografis berdasarkan hukum alam sebagai
pengembangan gagasan Darwinian (Smith
dalam Bullock & Trombley, 1999: 364).
Hukum alam? Paham ini menjadi cara
membenarkan peperangan dan menjadi alasan utama untuk melakukan militerisasi
di seluruh negeri. Peperangan telah menggiring pendapat para ahli ilmu bumi
ke bidang politik praktis. Inilah Geopolitik yang bukan geopolitik, melainkan
gubahan militerisme yang menganggap perang sebagai segi penting politik dan
ilmu bumi, yang mencampuradukkan ilmu bumi politik dan kesetiaan politik.
Tidak hanya kaum nasional-sosialis Nazi di Jerman, Karl Haushofer (1869-1946)
pada 1923 juga menulis tentang Dai Nippon atau Nippon Raya, yang kelak
meminjam konsep-konsep geopolitik dalam politik ekspansinya (Whittlesey dalam
Earle, 1962 [1943]: 317-23).
Apakah Indonesia Raya di wilayah
sendiri sama dengan Jerman sebagai Imperium Ketiga atau Nippon Raya semasa
Perang Dunia II? Semestinya tidak. Namun kita belum memeriksa konsep
"raya" itu. Apakah sungguh berbeda atau sama saja dengan
"raya" pada Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam
ekspansionisme fasis Dai Nippon.
Kemegahan dan kebesaran dalam
pengertian "raya" itu, melalui konsep Haushofer, adalah (a)
Autarki, cita-cita memenuhi sendiri kebutuhan ekonomi nasional karena setiap
kesatuan politik harus menghasilkan segala keperluannya; (b) Lebensraum, hak
suatu bangsa atas ruang yang cukup bagi penduduknya; (c) Panregions,
pencaplokan bagian-bagian dunia berdasarkan imajinasi tentang pembagian
wilayah kebudayaan, perdagangan, dan pengelompokan politik; (d) Perbatasan,
bahwa negara berhak atas perbatasan-perbatasan alam melampaui perbatasan-perbatasan
politiknya.
Dalam kombinasi konsep-konsep
ini-"senapan untuk mentega" dalam Autarki, kodrat kematian
negara-negara kecil dalam Lebensraum, pengesahan bagi penaklukan
wilayah-wilayah di luar negerinya dalam Panregions-dan karena itu batas dengan
negara tetangga bisa diubah dalam konsep Perbatasan, ditampilkan kembali
dengan dalil-dalil "ilmiah" agar menjadi sahih bahwa angkatan
perang harus dibangun dan berlaku agresif demi keselamatan nasional.
Sejak awal, Geopolitik berjalin
erat dengan perang, tumbuh di negara militer, dan perkembangannya dipimpin
orang-orang militer. Propaganda pemutarbalikan dan kedok "pelaksanaan
ilmu bumi" tidak pernah dapat menutupi fakta Geopolitik sebagai resep
satu macam adonan: politik kekuatan dan agresi (ibid., 323-33).
Melampaui era para pemikir Perang
Dingin, seperti Henry Kissinger dan Zbigniew Brzezinsky, telah dikenal
spesialis geopolitik pada awal abad ke-21, seperti Leonid Ivashov dan
Vladimir Karyakin, maupun pakar meta-geopolitik Nayef Al-Rodhan yang membuat
kombinasi dimensi geopolitik baru dan tradisional demi pandangan atas relasi
kuasa multidimensional. Jelas ini menjauh dari "geopolitik negatif"
tahun 1930-an dan setidaknya menjejaki topik-topik akhir abad ke-20, yakni
(a) struktur hierarkis dan regional kekuasaan negara; (b) peran imajinasi
geografis dalam membentuk ideologi negara yang membenarkan tindakan
teritorial spesifik; (c) ekonomi politis dalam perilaku negara, tempat
hubungan-hubungan antara proses akumulasi kapital, kompetisi sumber daya, dan
kebijakan luar negeri dianalisis sebagai bagian dari sistem global yang
tunggal dan saling tergantung (Smith, op.cit., 364).
Kekuatan militer dapat dilibatkan
dalam "tindakan teritorial spesifik", tapi secara umum wacana
geopolitik kontemporer tidak membawa militerisme. Ketersesatan militerisme
dalam Geopolitik perlu diungkapkan kembali karena yang tampak sebagai
nasionalisme bagi orang awam cukup mudah dibelokkan ke dalam tujuan
kelompok-bahkan pribadi-sendiri. Indonesia Raya, sebagai nama lagu kebangsaan
maupun partai mana pun, adalah bahan kajian wajib untuk memeriksa karakter
geopolitik macam apa yang ada di dalamnya. Ini supaya kita tidak tersesat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar