Stunting
dan Ancaman Generasi Bangsa
Anggia Ermarini ; Ketua Umum PP Fatayat NU
|
KORAN
SINDO, 28 Maret 2018
Memiliki sumber daya manusia yang
berkualitas adalah tujuan besar yang paling esensial bagi suatu negara. Dalam
upaya pencapaian misi ter sebut, dokumen yang termasuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, secara tegas menyebutkan bahwa
salah satu kebijakan terpenting negara adalah memberikan keleluasaan dalam
upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Visi itu menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) adalah pembangunan
manusia Indonesia sebagai subjek (human capital), objek (human resources) dan
penikmat pembangunan, yang mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak dalam
kan dungan sampai akhir hidupnya.
Bicara tentang kualitas SDM
menjadi krusial tatkala di hadapkan pada fakta bonus demografi yang akan
dialami bangsa ini. Bonus demografi adalah kondisi di mana usia produktif
mencapai angka tertinggi. Harusnya usia ini menjadi penyumbang bagi
progresivitas arah pembangunan.
Lain halnya jika yang terjadi
sebaliknya, yakni ketika angka demografis usia produktif ini justru menjadi
beban negara karena kualitas manusianya yang tidak memadai. Akibatnya, timbul
ketergantungan dan memperlambat laju pembangunan.
Data statistik menunjukkan jumlah
anak Indonesia 2015 mencapai 47 juta anak laki-laki dan 44,9 juta anak
perempuan, pada 2035 mereka akan memasuki usia produktif dan bersaing dalam
dunia kerja di era pasar bebas. Maka, hajat besar negara ini untuk
menciptakan generasi yang berkualitas harus diterjemahkan secara nyata dalam
program.
Karena jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal. Fakta ini
terlihat antara lain dari rendahnya, bahkan menurunnya, peringkat Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Laporan Human
Development Report 2016 mencatat, IPM Indonesia pada 2015 berada di peringkat
113, turun dari posisi 110 di 2014 dari 188 negara.
Selain itu, tingkat kecerdasan
anak Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains tercatat berada di
posisi 64 dari 65 negara yang diteliti pada tahun 2012 oleh Organisation for
Economic Cooperation and Development Programme for International Student
Assessment (OECD PISA).
Anak Indonesia tertinggal jauh
dari anak Singapura (posisi 2), Vietnam (posisi 17), Thailand (posisi 50) dan
Malaysia (posisi 52). Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Salah satu
penyebabnya adalah kasus stunting dan ini yang harus menjadi perhatian khusus
semua pihak. Kasus stunting terus menjadi keprihatinan karena 37% atau
sekitar 9 juta anak Indonesia mengalami stunting .
Ini adalah kondisi kekurangan gizi
dalam jangka waktu lama yang menyebabkan anak gagal tumbuh kembang dan
mengalami gangguan metabolisme. Akibatnya anak stunting secara fisik lebih
pendek dari anak seusianya, imunitas rendah sehingga gampang sakit, dan memiliki
IQ rendah pula.
Secara tidak langsung kondisi
stunting ini memang luar biasa mengancam. Selain soal makanan bergizi yang
harus dipenuhi pada 1.000 hari pertama kehidupan, faktor keluarga, pola asuh,
dan lingkungan yang sehat turut menyumbang akan berhasilnya capaian
pencegahan stunting .
Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa terdapat 23,2% kehamilan di usia 10-19
tahun. Perkawinan dan kehamilan di usia tersebut terbukti memiliki risiko
sangat besar melahirkan bayi stunting. Ibu yang menikah di usia 15-19 tahun
saja 42,2% di antaranya melahirkan balita pendek.
Semakin muda usia perkawinan,
semakin besar risiko melahirkan bayi stunting. Kasus stunting yang terjadi di
keluarga miskin sebesar 48,4% dan pada keluarga kaya sebesar 29,0%. Maka, di
titik inilah pe merintah harus berupaya melalui jalur apa pun untuk bisa
memutus rantai kemiskinan yang berdampak pada tingginya angka stunting .
Akibat stunting tidak hanya
dialami oleh anak yang bersangkutan saja, tetapi efeknya meluas sampai pada
tingkat negara seperti diterangkan di atas. Pada tingkat individu stunting
berdampak pada terhambatnya perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap
penyakit, ketika dewasa mudah menderita kegemukan sehingga rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes,
jantung, dll).
Akibat lainnya adalah sulit
berprestasi sehingga daya saing individu rendah. Di tingkat masyarakat dan
negara, stunting kemudian menghambat pertumbuhan eko nomi, meningkatkan angka
kemiskinan dan kesakitan sehingga beban negara meningkat, ketimpangan sosial
dan menurunkan daya saing dengan negara lain.
Berdasar pada masalah di atas,
Fatayat NU mengapresiasi upaya serius pemerintah dan terus berkomitmen untuk
mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi kasus stunting. Fatayat NU
mendorong kebijakan negara melalui program prioritasnya agar lebih sensitif
terhadap masalah gizi dengan mengadvokasi para policy makers untuk berpihak
pada masalah kualitas hidup anak Indonesia dengan memasukkan salah satunya
isu stunting pada program-program prioritas. Termasuk reviu (peninjauan
kembali) atas kebijakan penggunaan dana desa. Karena angka tinggi stunting
ini terjadi di wilayah perdesaan dan dialami oleh mayoritas masyarakat
miskin. Maka itu, adanya program dana desa menjadi sangat strategis. Secara
internal, kasus stunting menjadi salah satu rekomendasi Munas Konbes Alim
Ulama di Lombok tahun 2017.
Dalam rekomendasi tersebut
disebutkan bahwa stunting adalah kasus yang urgen untuk segera ditangani
bersama. Di sisi lain, Fatayat NU membentuk forum dai-daiyah peduli stunting
di mana mereka bertugas untuk menyampaikan materi stunting dalam dakwahnya.
Ditambah dengan aksi ketuk warga
melek stunting yang dilakukan oleh kader Barisan Nasional Fatayat NU yang
dibentuk di 8 provinsi dan 13 kabupaten/kota. Sebagai organisasi perempuan
yang berbasis keagamaan, Fatayat NU menggandeng para tokoh agama dari lintas
iman untuk bersama-sama berikhtiar menanggulangi kasus ini melalui pendekatan
ajaran agama masing-masing. Tujuannya satu, yaitu agar pemimpin Indonesia di
masa mendatang adalah generasi dengan kualitas SDM yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar