Ormas
dan Ramalan Indonesia Bubar
Akh Muzakki ; Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 27 Maret 2018
PEKAN
ketiga Maret 2018 menjadi saksi penting dua peristiwa nasional. Pada 19 Maret
2017, beredar rekaman pidato Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang
menengarai Indonesia bubar pada 2030. Rujukan Prabowo adalah novel Ghost
Fleet (Armada Hantu) karya P.W. Singer dan August Cole (2015). Novel itu
menceritakan ’’perang dunia selanjutnya” menyusul tren dan teknologi dunia
nyata.
Lima
hari setelah rekaman pidato Prabowo, pimpinan PB NU dan PP Muhammadiyah
bertemu di gedung PB NU Jakarta. Pertemuan itu terbilang istimewa. Sebab,
baru kali ini di era dua periode kepemimpinan KH Said Aqil Siroj selaku ketua
umum PB NU, terjadi pertemuan pucuk pimpinan dua ormas Islam terbesar di
Indonesia (Jawa Pos, 24/3).
Pertemuan
itu menghasilkan tiga keputusan tentang agenda NU-Muhammadiyah ke depan. Pertama,
akan terus-menerus menyerukan saling tolong-menolong melalui sedekah dan
derma. Kedua, menegakkan kebaikan. Ketiga, mengupayakan rekonsilisasi atau
perdamaian kemanusiaan.
Pilar
Civil Society
Bertemunya
pimpinan NU-Muhammadiyah itu merupakan angin segar bagi Indonesia di tengah
ramalan bubar sekaligus penting untuk menjawab kekhawatiran tentang masa
depan bangsa dan negara ini. Apalagi, membayangkan Indonesia bubar, seperti
tampak pada sinyalemen dan atau kekhawatiran di atas, tampak gegabah jika tidak
diiringi dengan pembacaan yang jeli dan saksama terhadap bangunan
kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia dengan muslim sebagai penganut agama
terbesar di dalamnya.
Karena
itu, penting ditekankan bahwa yang membedakan Indonesia dengan dunia Islam
pada umumnya adalah postur sosial-politiknya. Pergerakan sosiologis
masyarakat dalam kaitannya dengan negara berciri khas. Di negara-negara dunia
Islam pada umumnya, yang ada hanya dua: negara (state) dan rakyat (people).
Di bawah struktur pemerintah sebagai instrumen dan sekaligus representasi
negara, yang ada langsung rakyat.
Dengan
begitu, di negara-negara dunia Islam pada umumnya, negara dan rakyat bisa
saling berhadapan jika ada masalah. Atau, jika ada pihak-pihak tertentu dalam
struktur kekuasaan negara sedang berebut kuasa politik, rakyat bisa menjadi
korban besar.
Di
Indonesia, di antara negara dan rakyat itu, masih ada kekuatan ma- syarakat
madani (civil society). Dalam realitasnya, masyarakat madani ini menjadi
pilar yang berfungsi variatif dalam menjaga relasi negara dan rakyat, mulai
dari menopang (supporting), menyambungkan (bridging), dan bahkan mengoreksi
(evaluating) kerja hubungan tersebut. Fungsi-fungsi itu terkadang berjalan
secara sporadis dan terkadang pula secara kumulatif.
Berjalannya
fungsi-fungsi tersebut, diakui atau tidak, secara politik berdampak langsung
kepada relasi negara dan rakyat. Jika ada masalah pada level negara,
korbannya tidak langsung rakyat. Jika ada konflik di internal pelaku pemegang
kuasa politik negara, rakyat tidak langsung terkorbankan. Kalaulah begitu,
kekuatan masyarakat madani seperti NU dan Muhammadiyah bisa memainkan peran
mediasi secara efektif.
Itu
semua karena kekuatan masyarakat madani bisa memainkan peran sebagai
penopang, penyambung, dan bahkan pengoreksi kerja hubungan antara negara dan
rakyat dimaksud. Selama kekuatan masyarakat madani terjamin solid, negara
cenderung masih bisa tertopang dengan baik.
Di
sinilah nilai penting ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah. Dengan
kekuatan besarnya sebagai simpul masyarakat madani dengan struktur yang
mapan, NU dan Muhammadiyah bisa berperan sebagai pilar penjaga struktur
kemasyarakatan, kebangsaan, dan bahkan kenegaraan Indonesia.
PR
Kesejahteraan Sosial
Fungsi
NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan masyarakat madani di atas cenderung
semakin menguat. Ada dua faktor pemicunya. Pertama, keduanya sama-sama
mengembangkan Islam yang moderat, toleran, dan penuh damai. Kedua, keduanya
berada dalam situasi dan pandangan politik yang serupa. Yakni, samasama
selesai dalam menempatkan relasi Islam dan negara. Bahkan, keduanya
mengerangkai situasi dan pandangan politiknya secara apik hingga bangunan
ideologis Islam dan negara relatif selesai dan menemukan titik finalnya dalam
kerangka NKRI.
Tapi,
penting untuk dicatat, ideologi saja tidak cukup. Ideologi butuh basis
material agar langsung bisa bergerak ke dalam praktik diri. Basis material
dimaksud terutama dalam bentuk modal dan ketahanan ekonomi.
Pertemuan
elite NU dan Muhammadiyah menyiratkan harapan atas sinerginya kerja besar warga
bangsa ini untuk membangun negerinya. Pekerjaan rumah yang tersisa adalah
mewujudkan kesejahteraan sosial. Itu disebabkan rakyat dan atau warga
masyarakat tidak semata-mata hidup di atas ideologi yang diyakini, tetapi
juga di atas kebutuhan riil.
Di sinilah
kesejahteraan sosial penting untuk menjamin tegaknya ideologi Islam yang
moderat, toleran, dan penuh damai pada satu sisi, sekaligus untuk menopang
NKRI dari kebangkrutan mental dan politik. Di sini pulalah pentingnya sinergi
NU dan Muhammadiyah untuk menjamin Indonesia dari bubar mental dan bubar
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar