Paskah:
Dari Bruegel ke Dostoyevsky
Stevanus Subagijo ; Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
|
KORAN
SINDO, 29 Maret 2018
Jika menjelang Hari Raya Paskah
sempat ke Kunsthistorisches Museum di Wina Austria, kita akan tertegun
berlama-lama pada mahakarya pelukis Belanda, Pieter Bruegel the Elder (Pieter
Bruegel si Penatua) berjudul The
Procession to Calvary (1564). Ada juga yang menamai The Way to Calvary.
Cobalah mengintipnya di Wikipedia.
Tanpa
Harapan?
Lanskap lukisan menurut Philip
McCouat dalam Journal of Art in Society
(2017) secara umum mengisahkan kecamuk prosesi penyaliban Yesus ke
Kalvari nama lain dari Golgota. Uniknya, ini bukan lukisan realis saat Yesus
disesah hingga disalib oleh elite agama-penguasa yang menentang bersama rezim
Romawi kala itu. Dalam lukisan itu, Romawi diperankan prajurit Spanyol yang
menyalibkan Yesus dan menindas kaum Flemish.
Bruegel terinspirasi dari
pendudukan Spanyol atas Flanders, Belgia sekarang, dan mencangkokkan kisah
duka itu dalam narasi besar penyaliban Yesus. Menurut McCouat, lukisan itu
jika dipilah-pilah melahirkan 12 tema lukisan berbeda, yang jika disatukan
menjadi The Procession to Calvary. Ada ratusan orang dalam lukisan itu mulai
dari Yesus, muridNya, Ibu, dan keluargaNya, orang-orang Flemish, termasuk
prajurit Spanyol dan kedua penjahat yang ikut disalibkan. Lukisan ini
mengilhami buku Michael Francis Gibson The Mill and The Cross yang kemudian difilmkan Lech Majewski dari
Polandia.
Lukisan Bruegel menampilkan
kekelaman dunia dan sepertinya penyaliban Yesus adalah akhir dan tanpa
harapan. Dari Bruegel, kita pindah ke pelukis Eugene Burnand dari Swiss. Jika
Bruegel menampilkan mosaik luar prosesi kekejaman itu, Burnand sebaliknya
mosaik di loteng atas pascapenyaliban. Lewat lukisan Le Samedi Saint, Hari
Sabtu Suci (1907), ia mengisahkan
titik paling gamang iman Kristen ketika Tuhan dalam diri Yesus mati terkubur
dan semua harapan punah. Wajah kesebelas murid Yesus dalam warna gelap dan
suram tampak depresi, murung, kalah, dan tak percaya apa yang telah terjadi
pada Jumat Agung. Semua sukacita, kebaikan, tanda Ilahi, dan mukjizat runtuh
oleh kehinaan palang salib, tertawaan, dan lu¬dahan Romawi serta kebencian
penguasa.
Apa yang ditampilkan dalam dua
lukisan mahakarya tersebut dalam kacamata Paskah adalah lukisan belum
selesai. Tepat seperti yang dikatakan rohaniwan besar dari Amerika Serikat
belum lama wafat, Billy Graham pada khotbah Paskah tahun 1964, sia-sialah
kita jika Kristus berhenti pada hari Sabtu, titik kematian itu. Tapi di
tangan Tuhan, tidak ada kesia-siaan final yang mustahil bisa menjadi mungkin.
Tuhan pencipta surga begitu mudah, keluar-masuk rumahNya sendiri. Semudah itu
pula jika Ia masuk ke alam kubur dan membangkitkan yang mati termasuk
diri-Nya.
Wartawan dan penulis buku Philip
Yancey (2017) melakukan ziarah rohani pada karya sastrawan besar Rusia, Leo
Tolstoy (1828-1910). Tolstoy setengah benar, tahan terhadap upaya “memikul
salibnya” sendiri, tapi akhirnya meninggal mengenaskan di stasiun kereta api
desa. Memang ia berusaha mempraktikkan Kitab Suci sebagai standar hidup
tertinggi, istri dan anak-anaknya pun harus berkorban. Tolstoy pula yang
berusaha hidup suci, membebaskan pembantu, membagikan hak cipta, memberikan
tanah luas, mengenakan pakaian petani, membuat sepatu sendiri, berhenti
merokok dan minuman keras, sampai membiayai kaum Doukhobor yang tertindas
pindah ke Kanada.
Menjauh dari ketenaran, keluarga,
kediaman, juga identitasnya sebagai sastrawan besar yang dipunyai Rusia
bahkan dunia. Keinginan hidup baik Tolstoy di depan Tuhan menekannya dan
berujung bak kedua lukisan di atas. Namun, Tuhan tidak tinggal diam, Jumat
Agung penyaliban dan Sabtu kematian harus berlanjut, tak ada yang sia-sia
dalam kehidupan dan karya Tolstoy. Penerus ideologi Tolstoy antara lain
Gandhi dan Martin Luther King Jr menjadi bukti sejarah.
Nyata
Bangkit
Sayang sekali, Tolstoy tak pernah
tukar pikiran dengan rekan sastrawan besar Rusia yang lain, yakni Fyodor
Dostoyevsky (1821-1881). Tolstoy memang gigih berupaya menjadi benar di depan
Tuhan, tapi akhirnya roboh akibat kelelahan moral. Apa hikmah itu semua?
Upaya Tolstoy menyelamatkan dirinya sendiri agar bisa diperkenan Tuhan gagal
total. Sebaliknya, melalui Yesus yang disalib, mati dan bangkit itu
menghapuskan pasal “kegigihan hidup layak agar diterimaNya” ala Tolstoy. Beda
dengan Dostoyevsky yang meyakini penuh bahwa manusia gagal menjadi layak di
hadapan Tuhan. Hanya dengan menerima penebusan Kristus saja sebagai
anugerahNya, pendamaian dengan Tuhan terjadi, manusia dilayakkan.
Sayangnya, Dostoyevsky meski
bergelimang anugerah Tuhan justru mudah terjatuh, menggampangkan anugerah itu
dengan menyia-nyiakan hidup dan kesehatannya, mabuk serta berjudi. Sindrom
anemia mereka yang telah ditebus. Tak ada yang sempurna memang. Namun benang
merahnya jelas, gigih agar hidup memenuhi syarat di hadapan Tuhan tidak menjamin
bisa diperoleh, tapi tetap perlu diperjuangkan. Ini harus dicangkok dengan
menerima anugerah penebusan salib Kristus sebagai pendamaian antara
dunia-manusia yang berdosa dengan Tuhan menjadi jalan final satu-satunya.
Apalagi yang menebus ialah Tuhan sendiri yang berinkarnasi dalam diri Yesus
yang disalibkan itu.
Lewat mahakarya seni lukis dan
sastra, umat Kristen dan gereja diingatkan kembali bahwa pada hari Paskah
problem kedekilan mendasar hati manusia bukanlah otomatis terselesaikan
seperti kata Langdon Gilkey dalam Shantung Compound (1966) mengutip Reinhold Niebuhr. Justru di
situlah pertempuran utama antara kesombongan manusia dan anugerah Tuhan
terjadi. Merayakan Paskah membutuhkan penyangkalan diri bukan seperti resep
sekuler aktualisasi diri. Ia seperti tokoh Alyosha dalam novel terbaik
Dostoyevsky, The Brothers Karamazov
(1879) yang tunajawaban bagi masalah dunia, tapi sa¬ngat paham tentang
kasih Tuhan.
Paskah adalah kasih terbesar Tuhan
menebus dosa manusia yang tak mungkin dibersihkan oleh diri sendiri, tanpa
campur tangan anugerahNya. Tidak seperti kedua lukisan yang seperti dibilang
bahwa kematian adalah akhir. Tuhan punya skenario lain. Billy Graham pernah
ditanya Konrad Adenaeur Kanselir Jerman pertama, hal apa yang terpenting dalam
dunia? Kanselir menjawab sendiri, kebangkitan Kristus, di sana ada harapan
untuk dunia. Namun, jika Yesus terkubur di bawah nisan, dirinya tak akan
melihat secercah harapan sedikit pun di cakrawala. Paskah adalah jalan pulang
bagi setiap manusia yang tak lain adalah Si Anak Hilang dalam perumpamaan
yang dikisahkan Yesus. Paskah menikam jiwa terdalam manusia yang bernatur
dosa dan compang-camping dalam membuat hidupnya baik dan layak dimataNya.
Penyaliban, kematian, dan
kebangkitan Yesus menjadi kesempatan untuk pulang dan menerima kasih Tuhan.
Hal yang tanpa memperhitungkan dosa dan kesalahan kita karena semuanya telah
ditebus oleh diriNya sendiri. Salib lambang kutuk dosa dan kematian
dijalaniNya, tapi kebangkitanNya pada hari ketiga mengubah total alam semesta
dalam hubungan umat Kristen dan gereja dengan Tuhan.
Kita tidak lagi menatap hidup
seperti lukisan Bruegel dan Burnand tidak juga seperti Tolstoy, tapi seperti
Alyosha-nya Dostoyevsky yang sangat tahu kasih Tuhan. Jadi tujuan hidup ialah
membalas anugerah dan kebaikan Ilahi lewat Paskah ini. Mengikuti jejak
filsuf-psikolog eksistensial Rollo May, yang tanpa sengaja menghadiri Paskah
di gereja Kristen Ortodoks Timur Yunani. Ikut meneriakkan sukacita agung,
“Christos Anesti !”, “Kristus telah bangkit !”. Kita membalasnya, “Alithos
Anesti !”, “Sungguh, Ia telah
bangkit!” Selamat Paskah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar