Menghijaukan
Sawit ”Kita”
Bahruddin ; Mahasiswa Program Doktoral The University of Melbourne;
Dosen Jurusan Pembangunan Sosial
dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
24 Maret
2018
Komoditas sawit dan
turunannya sedang dihambat masuk ke sejumlah negara: Norwegia, AS, India, dan
kawasan Uni Eropa lainnya (Kompas, 19/3).
Hambatan bisnis ini bukan hanya masalah pelaku bisnis sawit saja. Ini
adalah masalah kita bersama sebagai bangsa. Perspektif ini sangat kuat
tersurat dalam pernyataan Wakil
Presiden Jusuf Kalla ketika merespons kebijakan yang menghambat sawit.
Menjadikan sawit sebagai
masalah bangsa bukanlah tanpa dasar. Sawit, varietas yang diimpor dari
Afrika, telah menjadi bagian dari identitas bangsa kita. Indonesia adalah
negara utama pemasok kebutuhan sawit dunia.
Dari catatan United States
Department of Agriculture (USDA) Foreign Agriculture Service, Indonesia
memasok 54 persen sawit dunia. Nilai ekspor sawit dan produk turunannya
mencapai 22,77 miliar dollar AS tahun 2017. Nilai ini setara dengan 14,9
persen terhadap total ekspor non- migas atau 13,5 persen terhadap total
ekspor Indonesia tahun 2017 (Kompas, 19/3).
Dari peluang kerja, Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan bahwa industri sawit telah
menyerap 8,2 juta tenaga kerja pada 2016. Jumlah ini belum termasuk pekerja
yang menggantungkan hidup pada ribuan kontraktor dalam rantai produksi sawit.
Namun, kinerja baik sawit
dalam angka-angka ekonomi diciptakan dengan penuh kontroversi. Para pemerhati
lingkungan menempatkan perusahaan sawit sebagai aktor yang bertanggung jawab
terhadap deforestasi dan bencana kebakaran hutan di Indonesia. Industri sawit
juga dianggap sebagai penyebab hancurnya keragaman hayati Indonesia. Dalam
aspek sosial, narasi tentang eksploitasi tenaga kerja, termasuk anak, jamak
terjadi di perkebunan sawit. Selain itu, konflik lahan antara perusahaan dan
masyarakat juga masuk catatan.
Dua wajah inilah yang
menjadikan industri sawit tumbuh dalam kontroversi. Para kompetitor dari
komoditas kedelai, bunga matahari, dan kanola menggunakan sisi gelap industri
sawit (lingkungan dan sosial) sebagai senjata untuk memenangkan persaingan
pasar global. Strategi ini efektif seiring dengan komitmen untuk mendorong
praktik-praktik bisnis ramah lingkungan dan sosial (environmental and
societal friendly).
Pendekatan
reflektif
Kebijakan sejumlah negara
yang menghambat sawit dan produk turunannya merupakan tanda menguatnya isu
green business dalam kompetisi perdagangan global. Oleh sebab itu, pemerintah
dan para pelaku industri sawit harus meresponsnya secara reflektif untuk
”menghijaukan sawit kita” daripada bersikap reaktif atau emosional.
Ada tiga hal yang dapat
menjadi bahan refleksi menghijaukan sawit Indonesia.
Pertama, apakah pelaku
bisnis sawit di Indonesia berkomitmen mematuhi semua regulasi? Berbagai studi
dalam kajian regulatory compliance menjelaskan mengapa ada perusahaan yang
patuh dan tidak patuh. Para pelaku yang mendukung teori ini juga menekankan
pentingnya komitmen top levelmanajemen untuk mengelola bisnis sesuai
peraturan. Tanpa komitmen top level manajemen, perusahaan senantiasa mencari
celah untuk tidak patuh.
Kedua, apakah regulator
(pemerintah pusat dan daerah) sudah menjalankan kewajiban untuk memastikan
tidak ada pelanggaran regulasi dalam pengelolaan industri sawit? Pertanyaan
ini muncul karena asumsi bahwa tidak semua perusahaan memiliki komitmen internal
mematuhi regulasi.
Ketiga, apakah ada
regulasi yang mendorong kerja sama antarnegara dan perusahaan untuk
”menghijaukan industri sawit”? Pemerintah dan industri sawit Indonesia harus
menyesuaikan diri dengan iklim kompetisi global yang menghendaki kontribusi
lebih pelaku bisnis terhadap konservasi lingkungan, kelayakan kerja (decent
work), dan pemberdayaan masyarakat.
Tuntutan global ini tidak
sepenuhnya terakomodasi dalam mandatory regulation di Indonesia. Oleh sebab
itu, menghijaukan sawit Indonesia melalui pendekatan kesukarelaan (voluntary
approach) menjadi penting.
Ketiga, pertanyaan
reflektif ini merupakan satu kesatuan untuk menghijaukan sawit Indonesia.
Perusahaan harus memiliki komitmen internal untuk menjadi bagian dari
pembangunan industri sawit yang ramah lingkungan dan sosial. Apabila
perusahaan tidak berkomitmen, negara bisa menggunakan wewenangnya agar
perusahaan taat.
Akhirnya, kepatuhan pelaku
industri sawit terhadap regulasi nasional perlu ditingkatkan menuju beyond
compliance yang berbasis prinsip-prinsip kesukarelaan (volunterisme) untuk
menjawab tantangan global.
Pilihan strategi regulasi
untuk menghijaukan sawit Indonesia menentukan bagaimana respons aktor global
terhadap upaya ini. Tampaknya, pilihan pendekatan kewajiban (mandatory) tak
mampu menjawab polemik sawit ini. Para aktor global cenderung melihat
regulasi berbasis kesukarelaan (voluntary regulation)daripada pendekatan
kewajiban. Mereka meyakini, indikator dalam pendekatan kewajiban hanya
mencakup ketentuan pengelolaan bisnis secara minimalis.
Dengan kata lain,
pendekatan kewajiban tak mampu mengakomodasi standar etika bisnis yang tinggi
sesuai berbagai sertifikasi internasional.
Kaji
ulang ISPO
Pemerintah perlu mengkaji
ulang mekanisme Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai kewajiban.
Berbagai referensi menguatkan temuan riset doktoral penulis bahwa dunia
internasional memandang sebelah mata sertifikasi wajib (mandatory
certification) oleh pemerintah negara berkembang. Bagi aktor global,
sertifikasi wajib mengindikasikan adanya masalah dalam penegakan peraturan
hukum.
Respons negatif publik
terhadap pendekatan kewajiban semakin menguatkan pilihan regulasi
kesukarelaan sebagai kerangka relasi antara negara dan pelaku industri sawit
di Indonesia.
Namun, tak mudah
mengembangkan regulasi kesukarelaan yang kredibel. Ada tiga prinsip dasar
yang harus ada. Pertama, desain regulasi kesukarelaan harus memuat standar
etis bisnis sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai sertifikasi
internasional lain, seperti RSPO, The Equator Principle, GRI, dan ISO 26000.
Pemerintah dapat berkolaborasi dengan perusahaan, praktisi sertifikasi,
akademisi, dan LSM untuk pengembangan desain sertifikasi.
Kedua, prinsip keterbukaan
publik (public disclosure)dalam tahap-tahap sertifikasi. Semua dokumen yang
dipublikasi dalam bentuk bilingual (Indonesia- English) untuk pemantauan
sistem sertifikasi.
Ketiga, penilaian
melibatkan akademisi dan LSM untuk menjaga kredibilitas.
Penulis meyakini bahwa
kolaborasi antar-aktor (negara, perusahaan, akademisi, LSM) melalui
pengembangan regulasi kesukarelaan yang kredibel dapat menjawab tantangan
global: menghijaukan sawit Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar