Skandal
Facebook di Era Kapitalisme Informasional
Rahma Sugihartati ; Dosen Isu-Isu Informasi dan Masyarakat Digital
Prodi S-3 Ilmu Sosial FISIP Unair
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Maret 2018
DI balik kemajuan dan meluasnya
penggunaan teknologi informasi, internet, dan media sosial, ternyata di saat
yang sama masyarakat terancam kehilangan ruang privat. Ketika jutaan, ratusan
juta, atau bahkan miliaran penduduk dunia melibatkan dirinya dalam interaksi
di dunia maya secara online (daring), interaksi sosial yang berkembang pun
ikut berubah.
Dari aspek efisiensi dan upaya
menyiasati ruang dan waktu, kehadiran teknologi informasi, internet, dan
media sosial adalah sebuah berkah. Namun, yang tidak disadari, ketika makin
banyak warganet terlibat dalam interaksi di dunia maya, ketika mereka dengan
sukarela mendaftarkan identitas diri dalam mesin raksasa digital seperti
Facebook, Google, dan Yahoo, ternyata data bersama masyarakat yang tersimpan
di server raksasa (cloud) tidak sekadar berfungsi sebagai identitas
administratif untuk kepentingan pendaftaran komunitas cyberspace.
Kapitalisme
informasional
Dalam buku berjudul Marx in the
Age of Digital Capitalism, Studies in Critical Social Sciences dengan
Christian Fuchs dan Vincent Mosco sebagai editor (2016), di sana telah banyak
dibahas perkembangan dan risiko yang terjadi ketika masyarakat berkembang di
era kapitalisme informasional.
Barangkali tidak banyak warganet
yang menyadari, pelibatan diri dan pemberian identitas personal kepada
kapitalis-kapitalisme digital seperti Facebook, atau yang lain, ternyata
bukan sekadar pencatatan identitas tanpa manfaat dan risiko. Di tangan
kekuatan kapitalisme informasional yang besar, data personal warganet yang
tersimpan di mesin-mesin raksasa penyimpan data ternyata bisa diolah dan
dimanfaatkan untuk kepentingan baik sosial, ekonomi, maupun politik.
Kasus bobolnya 50 juta pengguna
Facebook yang sekarang tengah menjadi perbincangan hangat di media massa ialah
salah satu contoh nyata dan aktual. Seperti ramai diberitakan, perusahaan
media sosial terbesar di dunia Facebook kini tengah didera krisis dan kritik.
Sebanyak 50 juta data pengguna
Facebook bocor dan digunakan Cambridge Analytica, lembaga konsultan politik
yang disewa Trump, untuk kepentingan kampanye pemilihan presiden AS pada 2016
lalu.
Seperti aktivitas penelitian pada
umumnya, ketika data hanya diperoleh dari beberapa orang, umumnya hal itu
tidak banyak berguna untuk acuan menyusun prediksi dan memetakan pola
perilaku masyarakat. Namun, lain soal ketika data yang terkumpul jumlahnya
puluhan juta, bahkan mencapai 1,9 miliar seperti data jumlah pengguna
Facebook. Dengan memiliki data personal warganet yang jumlahnya puluhan
jutaan orang, di tangan orang-orang yang memang ahli dalam mengkaji dan
mengolah data personal masyarakat, data itu pun menjadi sesuatu yang berbeda.
Di era kapitalisme informasional,
data yang diolah ialah sebuah komoditas penting yang laku diperdagangkan.
Data tidak sekadar informasi, tetapi di sana tersimpan informasi yang sangat
bermanfaat, baik untuk kepentingan ekonomi maupun politik. Dalam skandal
bocornya data pengguna Facebook, misalnya, terungkap, data 50 juta pengguna
Facebook seperti dibongkar Christopher Wylie ternyata diam-diam telah
dimanfaatkan perusahaan konsultan politik terkenal di AS, Cambridge
Analytica, untuk mendukung kampanye Trump pada pilpres AS tahun 2016.
Cambridge Analytica yang bekerja
sama dengan perusahaan tidak hanya
memanfaatkan data warganet pengguna Facebook untuk kepentingan akademik,
tetapi juga memanfaatkan untuk acuan memahami perilaku keseharian dan
kepribadian masyarakat AS. Seperti layaknya strategi pemasaran dalam
berdagang, dengan mengetahui profil para pemilih dalam pilpres AS, ditengarai
kubu Trump akhirnya dapat meraup keuntungan karena dapat merancang iklan
politik yang kontekstual.
Meski masih bisa diperdebatkan,
kemenangan Trump yang mengejutkan bukan tidak mungkin disebabkan kecerdikan
lembaga konsultan yang disewanya dalam
memilihkan terminologi, retorika, gaya kampanye dan iklan politik yang cocok
di hati pemilihnya.
Aset
bagi kapitalis
Pendiri dan CEO Facebook Mark
Zuckerberg secara resmi telah mengakui kelemahan sistem penyimpanan data
pengguna dan berjanji akan mengembangkan sistem yang lebih aman untuk
melindungi privasi data. Dampak
pembobolan data warganet di mesin raksasa cloud barangkali memang tidak akan
langsung dirasakan para pengguna Facebook atau para warganet yang lain. Bagi
mereka, yang penting umumnya ialah manfaat media sosial itu untuk kepentingan
mengembangkan jaringan sosial, dan bahkan untuk sarana memperlihatkan
eksistensi dirinya.
Hingga detik ini, yang tidak
disadari para warganet, ialah kemampuan kapitalis dan pihak-pihak tertentu
yang bisa memanfaatkan data bersama para warganet untuk kepentingan menggali
ceruk pasar baru bagi produk kapitalis, atau untuk kepentingan melakukan
hegemoni dan mengembangkan politik pencitraan demi meraih kekuasaan.
Di era masyarakat dan kapitalisme
informasional, apa yang dilakukan warganet di dunia maya, termasuk data
personal mereka, yang terekam sesungguhnya aset bagi kapitalis. Berbeda
dengan masa kapitalisme awal ketika pemenang persaingan bisnis ialah para
borjuis yang memiliki modal uang, tanah, dan mesin produksi, saat ini siapa
yang menjadi pemenang dalam persaingan di bidang baik ekonomi maupun politik
tak pelak ialah pihak yang menguasai informasi.
Masihkah kita bangga sebagai
bagian dari kelompok net generation, atau zetizen, padahal di saat yang sama
kita sesungguhnya hanyalah pion-pion kecil yang dimainkan kekuatan kapitalis
untuk mengeruk keuntungan dan kekuasaan? ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus