Polemik
Tafsir Pancasila
Syaiful Arif ; Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
|
KORAN
JAKARTA, 24 Maret 2018
Center for Religious and
Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) merilis Laporan
Kehidupan Beragama di Indonesia, Edisi III/Januari 2018. Tema yang diangkat
Polemik Tafsir Pancasila. Laporan tersebut menyoroti kehidupan beragama yang
sepanjang tahun 2017 didominasi kebangkitan Pancasila.
Selain pendirian UKP-PIP
yang kini telah menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),
kebangkitan Pancasila juga ditengarai oleh tindakan hukum atas organisasi
kemasyarakatan yang dinilai anti-Pancasila. Tentu yang dimaksud ialah Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan berdasarkan UU Ormas No 2/2017.
Laporan ini kemudian menghadirkan polemik tentang tafsir Pancasila.
Pertanyaannya, apa dasar
parameter, sebuah organisasi dinyatakan sebagai anti-Pancasila? Pertanyaan
lalu menukik ke persoalan filosofis apa yang menjadi ukuran, sebuah
penafsiran terhadap Pancasila dinyatakan sebagai paling pancasilais? Bukankah
di dalam dirinya, Pancasila mengandung kontradiksi dan hanya memuat
nilai-nilai yang saling terpisah? Artikel ini hendak menjawab pertanyaan
tersebut yang tidak hanya dilontarkan laporan CRCS, tetapi juga sebagian
masyarakat.
Berdasarkan pertanyaan
ini, pelarangan terhadap HTI dianggap mencederai kebebasan berserikat yang
merupakan hak-hak demokratis. Apakah memang demikian? Polemik tentang “apa
itu Pancasila” memang menjadi persoalan sepanjang zaman. Di awal tahun 1950-an,
polemik pernah dilakukan Muhammad Yamin dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Yamin menjadi bagian dari
kubu Presiden Soekarno yang menempatkan Pancasila sebagai filsafat negara.
Atau meminjam istilah Bung Karno, dasar filsafat (philosophische grondslag). Dengan filsafat, Pancasila dimaksudkan
sebagai sistem nilai yang utuh dan komprehensif secara ilmiah. Sedangkan STA
mewakili kelompok yang sanksi dengan pandangan tersebut.
Bagi STA, Pancasila
hanyalah kompromi politik berisi sila-sila yang tercerai-berai. Tak layak
disebut filsafat, apalagi filsafat utuh. Namun sebagai kompromi politik,
Pancasila efektif mempersatukan berbagai kelompok berbeda. Secara eksplisit,
laporan CRCS sepakat dengan pandangan STA (CRCS, 2018:3).
Kesanksian seperti ini
memang bisa dimaklumi karena hingga kini, bangunan filsafat Pancasila belum
tuntas dirumuskan. Misalnya, apakah paradigma Pancasila. Bisakah dijadikan
paradigma ilmu, hukum, beragama, hingga berorganisasi. Ini belum terjawab.
Tetapi perumus filsafat Pancasila dari UGM, Prof Notonagoro (1975), sejak
awal telah membangun cara memahami Pancasila dengan tepat.
Cara tersebut merujuk pada
pembacaan atas lima sila secara saling terkait, saling mengandaikan, dan
mengunci. Jadi, bukan sebagai lima kalimat yang tercerai-berai. Maka, sila
pertama mengandaikan (mengandung) sila kedua dan dikunci sila kedua. Sila
kedua mengandung sila pertama dan dikunci sila pertama, demikian seterusnya.
Dalam konteks beragama,
dilarang mengamalkan ajaran Tuhan dengan mengorbankan nyawa manusia
(terorisme), karena itu memutus keterkaitan sila pertama dan kedua. Demikian
pula dalam berorganisasi, dilarang berorganisasi (bagian dari hak asasi
manusia sila kedua) yang mencederai kebangsaan (sila ketiga).
Jika HTI ingin mendirikan
khilafah yang bersifat global, akan meruntuhkan bangunan negara-bangsa
Indonesia, jelas bertentangan dengan Pancasila. Model khilafah yang teokratis
juga bertentangan dengan kedaulatan rakyat karena atas nama Daulat Tuhan,
khalifah dan bukan rakyat yang berkuasa. Hal ini jelas bertentangan dengan
Pancasila.
Namun kesanksian ini
sebenarnya bersifat ahistoris karena sejak digagas Bung Karno, Pancasila
ditempatkan sebagai dasar filsafat. Sehingga maksud dari Pancasila Dasar
Negara ialah sebagai dasar (filsafat) negara. Sebagai filsafat, dia tentu
memuat keapaan ( ontologi), cara-berpikir (epistemologi) dan cara bertindak
(aksiologi) yang khas Pancasila.
Ide
Awal
Tentang “keapaan
Pancasila” bisa merujuk pada ide paling awal yang memungkinkan Pancasila
eksis. Ide itu awalnya berada di ranah kehidupan (lebenswelt) yang telah
diangkat dan diramu Bung Karno menjadi Pancasila.
Ide awal itu, hasrat Bung
Karno untuk membangun persatuan nasional, melalui sintesis antartiga ide,
ideologi, dan kelompok gerakan kemerdekaan terbesar, yakni Islam,
nasionalisme, dan sosialisme. Hanya, persatuan bukan sebagai tujuan.
Sebagaimana kemerdekaan RI saat itu, persatuan menjadi “jembatan emas” bagi
kesejahteraan rakyat.
Maka Bung Karno
menambahkan kata sosio (socius, teman) pada nasionalisme (sosio nasionalisme)
yang menekankan dimensi keadilan sosial dalam karakter kebangsaan. Dari
ontologi ini, cara berpikir khas Pancasila pun terbangun. Cara berpikir itu
bersifat menyatukan (sintetis) yang berawal dari transendensi dan berujung
pada transformasi (keadilan sosial).
Dari epistemologi
Pancasila semacam ini, maka lahirlah etika Pancasila, demokrasi Pancasila,
ekonomi Pancasila, dll. Mengapa komunisme dilarang atas nama Pancasila?
Karena dia tak sesuai dengan struktur filsafat Pancasila tersebut. Komunisme
tak menyatukan keadilan sosial dengan demokrasi.
Demikian pula mengapa HTI
dilarang? Karena dia memutus kesatuan nilai-nilai ketuhanan dengan persatuan
bangsa dan prosedur demokratis. Dengan demikian, menentukan “parameter
Pancasila” terhadap cara berpikir pancasilais sangat memungkinkan.
Parameter ini sekali lagi
tidak ditentukan oleh otoritas politik sehingga melahirkan tafsir tunggal
berbasis kekuasaan, tapi prinsip-prinsip memahami yang tepat, berdasarkan
rumus ilmu pengetahuan. Mungkin karena trauma dengan monolitisisme tafsir
Pancasila oleh kekuasaan yang lalu, sebagian kalangan alergi dengan perumusan
sistem pengetahuan Pancasila.
Namun, masa itu telah
berlalu, digantikan otoritas metode ilmu dalam merumuskan Pancasila.
Pendekatan seperti inilah yang kini dikembangkan pemerintahan Presiden Joko
Widodo. Dia menempatkan Pancasila sebagai ilmu, bukan ideologi kekuasaan.
Sebagai rumusan ilmu, sebuah penafsiran atau pemikiran Pancasila sangat
terbuka bagi perdebatan.
Tetapi di dalam debat itu,
tetap ada definisi “Pancasila” yang dibangun berdasarkan metode ilmiah. Maka,
pertanyaan yang diajukan laporan CRCS atau yang senada, tak perlu
dipolemikkan karena ukuran tafsir Pancasila adalah ilmu pengetahuan.
Dengan ukuran itu, negara
berhak melakukan langkah-langkah hukum untuk melindungi Pancasila karena
berarti melindungi dasar dan tujuan bernegara. Jadi, masihkah harus
dipolemikkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar