Darurat
Kekerasan Seksual di Sekolah
Bagong Suyanto ; Guru besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya;
Dosen Mata Kuliah Masalah Sosial
Anak
|
JAWA
POS, 01 Maret 2018
SEKOLAH
tampaknya bukan lagi tempat yang aman. Berbagai kasus kekerasan seksual yang
menimpa sejumlah siswa di berbagai sekolah merupakan indikasi bahwa kita
tengah menghadapi situasi darurat kekerasan seksual di sekolah.
Salah
satu kasus kekerasan seksual di sekolah terjadi di Surabaya. Bukannya menjadi
pendidik dan pengayom bagi siswanya, seorang guru di sekolah dasar swasta di
Surabaya, Jawa Timur, dilaporkan telah mencabuli puluhan siswanya. Sedikitnya
42 siswa laki-laki telah menjadi korban ulah bejat guru yang mengidap
kelainan orientasi seksual itu (Jawa Pos, 28/2/2018).
Tindak
pencabulan yang dilakukan MSH terjadi pada kurun 2013–2017. Tersangka
mencabuli, siswa kelas IV dan V di kolam renang, di bus saat dalam
perjalanan, bahkan pernah pula di dalam ruang kelas.
Mengapa
ulah bejat guru tersebut bisa berlangsung sangat lama, hingga lima tahun?
Mengapa di antara puluhan siswa yang menjadi korbannya, tidak ada satu pun
yang berani melaporkan kasus tersebut ke orang tua maupun kepala sekolah atau
guru lain?
Ulah
Guru Pedofil
Korban
pedofil tidak dibatasi jenis kelamin. Baik anak laki-laki maupun anak
perempuan, keduanya samasama bisa menjadi korban ulah bejat para pedofil yang
tidak mampu mengendalikan libidonya yang menyimpang.
Pedofilia
pada dasarnya adalah bentuk gangguan preferensi seksual. Menurut etika dan
norma sosial yang berlaku, seseorang sah-sah saja menjalin hubungan intim
dengan pasangan resminya yang telah sama-sama telah berusia dewasa. Tetapi,
bagi para pedofil, justru daya tarik utama yang membuat libido mereka naik
adalah saat berhadapan dengan anak di bawah umur.
Pedofilia
secara teoretis adalah parafilia di mana seseorang memiliki dorongan seksual
yang berulang dan kuat serta fantasi yang liar tentang anak-anak prapuber.
Ulah
pedofil yang mencabuli anak di bawah umur termasuk pemerkosaan statutoris,
yaitu hubungan seksual yang dilakukan pada orang yang di bawah umur dewasa
secara hukum, bahkan jika anak yang bersangkutan bersedia sekalipun (Nevid,
2009). Biasanya, dengan memanfaatkan posisinya yang asimetris, lebih
berkuasa, atau dengan daya tarik iming-iming yang sulit ditolak bocah, para
pedofil dengan lancar dapat terus melakukan tindakan pelecehan seksual tanpa
berisiko diketahui keluarga korban atau masyarakat di sekitarnya.
Dalam
berbagai kasus yang terjadi di lapangan, paling tidak ditemukan tiga kelompok
pedofil. Pertama, immature pedophiles. Dalam menjalankan aksinya, para pelaku
cenderung memakai cara halus. Yaitu melakukan pendekatan kepada anak-anak
yang akan menjadi korban, misalnya memberi permen, mengajak bermain games,
atau melakukan bujuk rayu lainnya.
Kedua,
regresses pedophiles. Pelaku yang mengidap kelainan seksual itu biasanya
(untuk menutupi perilakunya yang menyimpang) sengaja menikah, tetapi kemudian
menjadikan istri sebagai kedok kamuflase untuk menutupi penyimpangan
orientasi seksualnya. Pedofil jenis ini biasanya cenderung memaksa anak-anak
untuk dijadikan korban ulah bejatnya.
Ketiga,
aggressive pedophiles. Yaitu kelompok pedofil yang umumnya cenderung bersikap
agresif dalam menyalurkan hasrat seksualnya. Pedofil jenis ini biasanya
memiliki perilaku antisosial dan punya kebiasaan serta keinginan untuk
menyerang korban, menyakiti korban secara fisik, dan bahkan tidak jarang
sampai membunuh anakanak yang menjadi korbannya setelah nafsunya terpuaskan.
Yang
dilakukan oknum guru di Surabaya, yang tega mencabuli puluhan siswanya
sendiri, mungkin bukan termasuk tipe yang agresif. Namun, melihat pemanfaatan
posisi yang lebih superior sebagai seorang guru dan intimidasi yang dilakukan
untuk memperdaya siswanya sebagai korban, sesungguhnya yang dilakukan guru di
Surabaya itu tak ubahnya kelakuan preman yang kejam, yang sering kali
menggunakan ancaman untuk memperdaya korbannya.
Siswa
sebagai Watchdog Untuk menimbulkan efek jera agar tidak ada
lagi guru lain
yang melakukan hal yang sama, aparat kepolisian bisa dipastikan bakal
memberlakukan ancaman pemberatan hukuman. Mengingat korban adalah siswa yang
lemah dan pelaku adalah guru yang seharusnya melindungi murid-muridnya.
Tetapi,
untuk memastikan agar kasus yang sama tidak terulang di sekolah, satu langkah
strategis yang perlu dilakukan adalah bagaimana melibatkan siswa sendiri
sebagai watchdog untuk segera melapor jika ada indikasi ulah guru yang
mencurigakan. Siswa yang menjadi korban tindak pelecehan guru niscaya lebih
mungkin bercerita kepada sesama siswa temannya.
Sudah
barang tentu, untuk memfasilitasi agar siswa dapat memerankan diri sebagai
watchdog yang efektif, pihak sekolah harus menyediakan saluran dan
menyosialisasikan mekanisme pelaporan yang bersahabat kepada siswa. Membuka
kotak pengaduan untuk menampung informasi dari siswa secara anonim,
menyediakan saluran media sosial, dan sebagainya agar siswa dapat melaporkan
apa yang mereka lihat dan dengar niscaya dapat menjadikan mekanisme dan
sistem deteksi dini terhadap ulah pedofil bekerja secara maksimal. Di
lingkungan sekolah tidaklah mungkin korban pedofil dapat menembus angka
puluhan jika siswa memiliki saluran untuk melaporkan indikasi terjadinya
kejahatan pedofila di kalangan temantemannya sesama siswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar