Menimbang
Grasi Abu Bakar Ba'asyir
Mei Susanto ; Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN);
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Unpad-Bandung
|
DETIKNEWS,
13 Maret
2018
Usul
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin kepada Presiden Joko
Widodo untuk memberikan grasi kepada Abu Bakar Ba'asyir patut untuk
diapresiasi. Apalagi, kemudian Presiden Jokowi meresponsnya secara positif
dan siap memberikannya.
Alasan
kemanusiaan karena usia yang sudah sepuh (80 tahun) dan kondisi kesehatan
dapat menjadi dasar untuk memberikan grasi kepada Abu Bakar Ba'asyir. Namun
demikian, ada juga yang menolaknya karena alasan tindak pidana yang
dijatuhkan kepada Abu Bakar Ba'asyir termasuk kejahatan luar biasa yaitu
tindak pidana terorisme. Karenanya, perlu pertimbangan dan rasionalitas yang
matang terhadap wacana pemberian grasi tersebut.
Hak Prerogatif
Dalam
ketatanegaraan Indonesia, grasi merupakan salah satu kewenangan istimewa yang
dimiliki oleh presiden. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (1):
"Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung."
Mengapa
disebut istimewa? Karena presiden sebagai sebuah jabatan kepala negara,
diberikan hak untuk memberikan "pengampunan terhadap warga negara yang
telah terbukti bersalah berdasarkan vonis hakim yang berkekuatan hukum
tetap." Itu artinya, presiden seolah-olah dapat mengubah sebuah putusan
institusi lain (baca pengadilan). Padahal idealnya setiap institusi
diwajibkan menghormati dan menghargai institusi lainnya. Di sinilah
istimewanya grasi yang dimiliki presiden.
Ia
bukan merupakan bentuk campur tangan apalagi intervensi kepada institusi
kekuasaan kehakiman. Karena itu dalam logika grasi, penerima dianggap
mengakui dan menerima vonis hakim yang menyatakannya bersalah, dan kemudian
mengajukan permohonan pengampunan kepada presiden. Hal ini berbeda dengan
instrumen upaya hukum seperti kasasi maupun peninjauan kembali (PK), di mana
yang bersangkutan menganggap dirinya tidak bersalah.
Selain
itu, keistimewaan grasi adalah karena tidak ada lembaga negara lain yang
berhak memberikan pengampunan kecuali presiden. Pengampunan tersebut dapat
berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana,
atau penghapusan pelaksanaan pidana.
Bahkan
apabila merujuk pada model ketatanegaraan Inggris, grasi merupakan bagian
dari hak prerogatif yang sengaja disisakan untuk Raja/Ratu Inggris (Dicey
1915). Ia disebut sebagai "the royal prerogatif of pardon".
Sementara di Amerika disebut sebagai "the pardoning power" sebagai
salah satu kekuasaan Presiden.
Walaupun
sebenarnya dalam ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal hak prerogatif
sebagaimana disebutkan Bagir Manan (1999), melainkan disebut sebagai hak
konstitusional karena terdapat dalam UUD 1945, namun pemberian grasi memiliki
kesamaan karakter dengan kekuasaan prerogatif. Karena itu banyak yang
menyebut grasi sebagi bagian dari hak prerogatif presiden.
Karena
memiliki karakter prerogatif, maka pemberian grasi lebih kuat muatan
diskresionalnya. Pakar ketatanegaraan Inggris, John Locke menyebutnya sebagai
kekuasaan tanpa hukum untuk kebaikan publik --"prerogative is the power
of doing public good without a rule." Sebab itu, Locke menyebut
prerogatif sangat bergantung pada kebijaksanaan raja --"wisdom and
goodness and wise of princes." (Locke, 1823).
Sifat
diskresional dan terlalu mengandalkan kebijakasanaan raja inilah yang membuat
hak prerogatif dapat saja disalahgunakan. Bahkan Leu Sueur-Herbeg menyebut
prerogatif dapat membahayakan dan tidak demokratis (undemocratic and
potentially dangerous). Karena itu, salah satu cara mengurangi sifat negatif
tersebut adalah dengan dibatasi dengan cara dialihkan dalam undang-undang, kemungkinan
diuji melalui peradilan, atau dibatasi dengan kekuasaan lain misalnya dengan
pertimbangan menteri.
Dalam
konteks ketatanegaraan Indonesia, secara sadar grasi sebagai kekuasaan
prerogatif telah dibatasi dengan cara diatur dalam UUD 1945 dan undang-undang,
serta harus dengan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pertanyaannya,
apakah pemberian grasi kepada Abu Bakar Ba'asyir dapat dikatakan undemocratic
and potentially dangerous? Hal tersebut tentunya dapat dilihat dari alasan
yang diberikan, yaitu usia Abu Bakar Ba'asyir yang sudah tua dan
sakit-sakitan. Ini adalah alasan kemanusiaan. Jika Antasari Azhar saja
dikasih grasi karena alasan kesehatan, maka alasan yang sama seharusnya dapat
juga digunakan bagi Abu Bakar Ba'asyir. Karena itu, sangat tidak layak jika
disebut sebagai undemocratic and potential dangerous.
Hal
yang berbeda saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada
terpidana narkotika Corby, di mana Indonesia dalam kondisi darurat narkoba,
namun seorang terpidana narkoba, warga negara asing pula, justru diberikan
grasi. Atau, juga pemberian grasi oleh Presiden Jokowi bagi Dwi Trisna
Firmansyah, terpidana mati karena melakukan pembunuhan sadis yang kemudian
diubah menjadi pidana seumur hidup.
Selain
alasan tersebut, patut juga dilihat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Karena
secara konstitusional hal tersebut merupakan kewajiban sebagai salah satu
kesadaran agar pemberian grasi tidak sewenang-wenang. Patut pula diingat,
pemberian grasi tidak mengenal jenis tindak pidana. Karena itu, walaupun
pidana yang dijatuhkan pada Abu Bakar Ba'asyir adalah dalam tindak pidana
terorisme, hal tersebut tidak menghalangi yang bersangkutan memperoleh haknya
mendapatkan grasi.
Jika Menolak
Yang
menjadi persoalan adalah apabila Abu Bakar Ba'asyir menolak mengajukan grasi,
dengan alasan karena itu artinya sebuah pengakuan akan kejahatan yang
menurutnya tidak dia lakukan. Hal tersebut seperti yang dikonfirmasi kuasa
hukumnya.
Sesuai
aturan main dalam Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, maka grasi
dapat diajukan oleh terpidana atau kuasa hukumnya, bahkan oleh keluarganya
dengan syarat adanya persetujuan dari terpidana. Khusus untuk terpidana mati,
maka permohonan tersebut dapat diajukan keluarga tanpa persetujuan terpidana.
Dalam kasus Abu Bakar Ba'asyir, maka hal tersebut tidak dapat dilakukan,
karena bukan pidana mati melainkan pidana penjara 15 tahun. Hal ini menjadi
persoalan tersendiri.
Artinya,
tanpa persetujuan Abu Bakar Ba'asyir, maka rencana pemberian grasi oleh
Presiden Jokowi akan sulit terwujud. Abu Bakar Ba'asyir sendiri memilih untuk
menjadi tahanan rumah. Hal yang kemudian juga mendapat respons positif dari
pemerintah melalui Menteri Pertahanan Ryamizard. Walaupun UU Pemasyarakatan
tidak mengenal tahanan rumah, melainkan asimilasi, bebas bersyarat, ataupun
cuti menjelang bebas, namun dengan alasan kemanusiaan --khususnya
pertimbangan usia dan kesehatan-- maka hal tersebut menjadi pilihan logis
yang dapat diberikan kepada Abu Bakar Ba'asyir.
Membiarkan
orang usia tua dalam penjara yang ketat sama saja dengan melakukan elder
abuse atau kekerasan terhadap lansia. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang dibahas di DPR, konsep yang mirip
telah dimuat dalam Pasal 72 dengan menyebut "pidana penjara sejauh
mungkin tidak dijatuhkan salah satunya karena terdakwa berusia di atas 70
tahun."
Jika
ini menjadi kebijakan, maka dapat menjadi pelajaran berharga khususnya
terpidana yang sudah usia lanjut (di atas 70 tahun) dan sakit-sakitan dapat
mengajukan upaya yang sama. Dengan demikian, selain menunjukkan sisi
humanisme Indonesia, sekaligus juga dapat mengurangi beban over kapasitas
lembaga pemasyarakatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar