Konsistensi
Bernegara Hukum
Sudjito Atmoredjo ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
|
KORAN
SINDO, 22 Maret 2018
INDONESIA
ialah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Hukum senantiasa a
priori dan normatif terhadap segala pemikiran, sikap, dan perilaku
semua warga negara dan penyelenggara negara tanpa perkecualian. Tidak diperkenankan
atas nama kekuasaan ataupun demi kepentingan tertentu, hukum ditempatkan
di belakang (posteriori) terhadap kehendak seseorang, penguasa, atau
pihak-pihak manapun.
Dalam bernegara hukum senantiasa diperlukan konsistensi. Konsistensi adalah ketaatan dengan penuh kesadaran pada hukum dan segala aspek maupun dinamikanya. Konsistensi merupakan prasyarat bagi terwujudnya tujuan bernegara hukum. Bangsa ini akan terlindungi hak-haknya, bila hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan secara konsisten. Ketika bangsa ini konsisten dengan pernyataan-pernyataan ideologisnya yang terpatri dalam UUDNRI 1945, kemudian kokoh pendiriannya, tegas sikapnya, lurus, dan benar perilakunya, maka tak ada kekhawatiran barang sekecil atom pun akan masa depan bangsa yang gemilang. Akan tetapi, zaman gemilang (enlightement) akan terbelokkan ke zaman kegelapan (dark ages) bila konsistensi bernegara hukum diputarbalikkan, direkayasa, dirobohkan pihak-pihak tertentu melalui permainan politik, permainan kekuasaan, dan permainan kekuatan. Pada ranah konsistensi inilah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharap tegar menjalankan tugas-tugas pemberantasan korupsi. Rakyat masih percaya pada KPK perihal konsistensi ini. Kepercayaan itu telah mengakar begitu dalam terkait dengan moralitas, integritas, dan kinerja KPK yang telah teruji selama ini. Kepercayaan rakyat akan terus melekat, bila KPK mampu menjaga dan mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga negara yang tegar menghadapi berbagai rintangan. Namun, kepercayaan rakyat bisa melemah, bahkan berubah menjadi distrust , bila KPK gagal mempertahankan kredibilitasnya. Rakyat melihat, terkait dengan pesta demokrasi bernama pilihan kepala daerah (pilkada), ada calon-calon kepala daerah terindikasi korupsi. Kalau memang sudah ada bukti-bukti cukup untuk meningkatkan statusnya sebagai tersangka, maka tunggu apa lagi, segera diumumkan ke publik. Sikap tegas demikian merupakan contoh konsistensi KPK yang patut diapresiasi. Tak ada yang salah dengan konsistensi itu. KPK telah berada di jalan lurus dan kebenaran. Rakyat butuh keterbukaan informasi tentang kualitas calon-calon kepala daerah. Rakyat pun melihat, ada pihak-pihak tertentu membela calon kepala daerah bermasalah agar tidak diproses hukum atau setidak-tidaknya ditunda pemrosesannya. Rakyat geleng-geleng kepala atas sikap naif ini. Jauh dari nalar sehat. Secara vulgar terlihat inkonsistensi dalam bernegara hukum. Padahal mereka tokoh nasional. Mestinya menjadi contoh keteladanan dalam menaati hukum. Benar-benar aneh, tapi nyata. Benar-benar memalukan, tetapi dilakukan. Beginilah kalau rasa malu sudah hilang dari rongga jiwa, maka segalanya dilakukan atas dasar nafsu. Membawa diskursus konsistensi bernegara hukum pada ranah legal-positivistik dan politis semata sungguh rentan tersesat. Tidak lain karena perundang-undangan merupakan produk politik. Ketika politik praktis telah sesat ke alam materialisme dan sekularisme, maka perundang-undangan pun dijadikan alat mengeruk harta-benda dan melanggengkan kekuasaan. Salah atau benar diukur semata-mata pada teks perundang-undangan. Dengan dalih “belum berkekuatan hukum tetap” atau inkracht, maka sudah nyata berstatus tersangka, masih dibolehkan berkampanye. Proses penegakan hukum oleh KPK dipandang sebelah mata, tanpa dilihat dimensi spiritualnya. KPK bukan sekadar lembaga penegak hukum, melainkan juga lembaga negara bervisi ideologi Pancasila. Terwujudnya “keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah muara pengabdian KPK. Wajar, dalam posisi demikian, KPK selalu dimusuhi para koruptor dan kroni-kroninya. Tantangan dan rintangan—dalam berbagai bentuknya—senantiasa dihadapkan pada KPK. Penyanderaan anggaran, pengerdilan wewenang, teror terhadap penyidik dan komisioner, serta perlawanan oleh lembaga negara lain merupakan “pil pahit” yang mesti ditelan. Tidak apa. KPK harus terus sehat. Dukungan rakyat menjadi nutrisi penguat dan pengokoh eksistensi maupun fungsi KPK. Dalam perspektif spitiual-religius, KPK merupakan lembaga negara paling berat ujiannya. Betapa pun ujian itu tidak seberat yang dipikulkan kepada para nabi, tetapi jajaran KPK hendaknya bertekad menjadi “nabi-nabi kebenaran dan keadilan”. Kadar ujian yang dipikulkannya selaras dengan kadar konsistensinya dalam mengemban amanah. Bila konsistensi KPK tinggi, maka ke depan ujian lebih berat dan sekaligus kemuliaan diberikan padanya. Sebaliknya, bila konsistensi KPK lemah, maka kemuliaannya diturunkan selaras dengan kadar konsistensinya. Akankah KPK memilih menjadi lembaga nirkemuliaan, terhina? Pasti tidak. Karena itu, konsistensi pemberantasan korupsi tak boleh melemah. Dalam perspektif teori hukum klasik, Thomas Aquinas mengingatkan, mestinya hukum lahir dari akal sehat demi kebaikan umum. Akal ketuhanan merupakan puncak ukurannya. Koseptualisasi ini menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan tatanan transendental di luar hukum sebagai produk politik. Cicero, filsuf Romawi zaman pramodern, mengajarkan bahwa hakikat hukum adalah akal yang benar sesuai dengan alam, berlaku universal. Kini dipertanyakan, apakah pilkada diselenggarakan atas dasar konsep-konsep hukum berketuhanan, alamiah, universal, ataukah berdasarkan konsep demokrasi liberal, individualis, dan sekuler? Dipertanyakan pula, mengapa pembelaan terhadap calon kepala daerah bermasalah dilatarbelakangi motif politik belaka tanpa memperhatikan esensi hukum? Di negeri ini tidak ada orang kebal hukum. Semua orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law). Kita apresiasi konsistensi KPK dalam pemberantasan korupsi. Keadilan sosial tidak boleh dikorbankan demi pilkada. Wallahu’alam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar