Badan Nasional Penanggulangan
Bencana merilis, pada rentang Januari-Februari 2018 telah terjadi 513
kejadian bencana di Tanah Air. Kejadian bencana terdiri dari puting beliung
(182 kejadian), banjir (157), longsor (137), kebakaran hutan dan lahan (15),
kombinasi banjir dan tanah longsor (10), gelombang pasang dan abrasi (7),
gempa bumi merusak (3), dan erupsi gunung berapi (2).
Mengacu pada Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kejadian-kejadian tersebut
dikategorikan sebagai bencana alam. Dalam ketentuan umumnya dinyatakan,
bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh alam, antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor.
Tuduhan semua bencana tersebut
akibat perilaku alam makin menggebu ketika ditambah argumentasi bahwa negara
kita terletak pada rangkaian cincin api sehingga wajar terjadi bencana gunung
meletus dan gempa vulkanis. Negara kita juga menjadi pertemuan tiga lempeng
dunia (Australia, Pasifik, dan Eurasia), makin memaklumkan bahwa gempa bumi
dan tsunami adalah suatu kewajaran.
Padahal, kejadian-kejadian bencana
itu menjadi terasa tidak adil jika semua murni dimusababkan pada alam. Sebab,
sebenarnya, ada potensi keterkaitan manusia, terutama untuk bencana banjir,
longsor, kombinasi banjir-longsor, serta kebakaran hutan dan lahan; yang pada
data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyumbang 62 persen kejadian.
Ini beralasan, sebagaimana Marten
(2011) memaknai alam menjadi lima kategori. Pertama, alam bersifat saling
berkaitan; langsung atau tidak, yang terjadi pada alam merupakan konsekuensi
tindakan manusia.
Kedua, alam bersifat jinak dan
lestari. Alam akan tetap melayani manusia selama manusia tidak radikal
mengubah kondisi alami.
Ketiga, alam tahan lama jika
manusia mampu merekayasa alam sebagaimana yang diinginkan dengan bijak.
Keempat, alam itu rapuh.
Keseimbangannya runtuh jika manusia mengubah kondisi alamiahnya.
Kelima, alam itu berubah-ubah;
kadang mendukung upaya manusia, kadang justru merusakkannya.
Perebut
lahan konservasi
Alam tidak memberikan bencana
tatkala manusia tak mengubah kondisi alam secara radikal. Kalaupun alam
dengan perilaku alamiahnya berefek destruktif, hal itu tidak sampai
menimbulkan korban bencana manakala manusia tidak gegabah menempati kawasan
rentan destruktif.
Manusia berpotensi ikut
memunculkan jenis-jenis bencana itu karena manusia telah menjadi perebut
lahan konservasi. Perebutan dilakukan baik karena alasan ekonomi maupun
tempat tinggal.
Angka deforestasi pada Juli 2016-Juni
2017 masih pada bilangan 479.000 hektar (308.000 hektar di dalam kawasan
hutan dan 171.000 hektar di areal penggunaan lain). Meski Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengklaim terjadi penurunan, angka
tersebut indikasi yang mengkhawatirkan. Bahkan pertanian, sebagai sektor yang
dinilai paling ramah konservasi pun, ternyata tertekan luasannya. Ditjen
Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian menyebut, laju konversi lahan
pertanian produktif ke non-produktif sekitar 100.000 hektar per tahun.
Perebutan lahan konservasi juga
terlihat dengan makin merangseknya aktivitas manusia di sekitar kawasan.
Kasus konflik harimau sumatera dengan manusia belum lama ini, baik yang
berujung pada terbunuhnya manusia maupun terbunuhnya harimau, menjadi kode keras.
Ironi yang mempercepat proses
perebutan lahan konservasi adalah menggelegarnya aktivitas pelancong.
Pemerintah menargetkan 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019, direspons
dengan penetapan 10 destinasi, di antaranya berstatus taman nasional. Meski UU
No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
mengizinkan dibangun sarana pariwisata pada zona pemanfaatan, tetapi dengan
menjadi destinasi wisata masif dikhawatirkan akan mengganggu keutuhan zona
inti.
Sangat disayangkan, Kementerian
LHK yang selayaknya menjadi ”pembela” perlindungan konservasi ternyata turut
mendorong wisata masif di wilayah konservasi. Salah satunya, dibangunnya
sarana dan prasarana puncak Taman Wisata Alam Kawah Ijen serta persetujuan
pembangunan kereta gantung oleh swasta menuju puncak. Aktivitas-aktivitas ini
menimbulkan pro-kontra terkait kekhawatiran perubahan ekosistem yang
berpengaruh pada potensi bencana.
Kekhawatiran itu sangat beralasan.
Kawasan Cagar Alam Kali Pahit Ijen pun kecolongan; ditemukan ticketing wisata
pada musim liburan Natal 2016 dan Tahun Baru 2017 oleh pihak lain. Padahal,
kawasan ini seharusnya steril dari aktivitas wisata. Anehnya, statistik BKSDA
Jatim justru pernah merilis, ada 1.033 orang berkunjung dengan tujuan
rekreasi ke Cagar Alam P Sempu pada 2012 dan 2.524 orang pada 2015.
Kiranya perlu perhatian semua
pihak untuk tetap menjaga dan memperhatikan marwah lahan peruntukan
konservasi dan aktivitas pelancong masif. Sedapat mungkin dikendalikan pada
kawasan-kawasan konservasi sebagai ikhtiar memperkecil potensi terjadinya
bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar