Dinamika
Kepartaian Kita
M Alfan Alfian ; Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional,
Jakarta
|
KOMPAS,
28 Maret
2018
Belum lama ini Partai Bulan
Bintang akhirnya ditetapkan juga sebagai peserta Pemilu 2019 setelah
gugatannya ke Badan Pengawas Pemilu dikabulkan. Komisi Pemilihan Umum yang
sebelumnya telah meloloskan 14 parpol nasional pun lantas menetapkannya.
Sebagaimana diketahui, ada
beberapa wajah baru yang menyembul dalam konstelasi kepartaian peserta pemilu
kali ini. Mereka adalah Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Persatuan
Indonesia (Perindo), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Lainnya, parpol
lama yang punya kursi di DPR, ditambah Partai Bulan Bintang (PBB) yang pada
Pemilu 2014 gagal memenuhi ambang batas parlemen.
Mencoba populis
Apa yang dapat dicatat dari
konstelasi baru kepartaian peserta pemilu kali ini? Pertama, jumlah parpol
masih relatif besar. Empat belas parpol jelas menegaskan kembali bekerjanya
sistem multi-partai kompleks, bukan yang sederhana. Karena itu, dapat
dicatat, sistem politik Indonesia dewasa ini belum mampu mendesain efektif ke
terbentuknya multi-partai sederhana. Gairah berpartai yang tinggi mendapat
ruang yang cukup dalam iklim demokratis.
Proses seleksi alamiah
parpol-parpol akan diuji kembali lewat pemilu. Kelak, apakah tetap 10 parpol
saja yang mampu melewati ambang batas parlemen 4 persen suara sah pemilu
nasional seperti Pemilu 2014? Sangat mungkin nanti akan lebih rendah daripada
sembilan parpol sehingga akan banyak yang berguguran. Kendati demikian,
gambaran multi-partai sederhana masih belum terbentuk.
Kedua, dari sisi tema yang
diangkat, tampaknya semua parpol yang ada berlomba untuk selalu tampil
populis. Populisme parpol-parpol lama antara lain tampak dari sikap dan
kebijakan mereka di parlemen yang nyaris tidak mau berseberangan dengan
isu-isu populer yang berkembang. Sementara parpol-parpol baru, setidaknya
dilihat dari PSI yang elitenya proaktif banyak bicara, juga mencoba tampil
populis dengan melontarkan kritik dan alternatif.
Pengertian populisme membentang
dari cara atau mode berkomunikasi hingga ideologi, yang dikaitkan dengan
klaim demi kepentingan rakyat. Lazim saja manakala semua parpol bicara sama,
sebagai jualan yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Parpol-parpol berupaya dikesankan sebagai kekuatan garda depan pengubah nasib
rakyat. Mereka berebut memperoleh kepercayaan rakyat, atau lebih tepat suara
konstituen. Setiap pemilu mereka berebut tangga rakyat, untuk naik ke
panggung kekuasaan formal, menjadi elite penentu kebijakan.
Ketiga, masalah tokoh dan kekuatan
pengaruhnya. Dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia, tidaklah mungkin
ulasan yang dibuat mengabaikan posisi strategis para tokohnya. Bahkan,
setidaknya sejak Pemilu 2004 hingga dewasa ini, kontestasi antar-parpol
hampir identik dengan kontestasi tokoh. Pemilu 2004 dijadikan pijakan karena
saat itu mengemuka fenomena Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Parpol ini berlipat dukungan pada Pemilu 2009, betapa pun lantas
anjlok drastis pada 2014.
Konstelasi antar-parpol 2019 juga
akan identik dengan kontestasi antar-tokoh. Parpol-parpol lama sudah begitu
kokoh dengan tokoh masing-masing. Tapi, bagaimana dengan parpol-parpol baru?
Kecuali Tommy Soeharto (Partai Berkarya) dan Hary Tanoesoedibjo (Perindo),
hampir tidak ada tokoh yang muncul sebagai ikon parpol-parpol baru. Yang satu
terkait ketokohan Soeharto semasa Orde Baru, satunya lagi karena punya grup
media yang besar.
Di antara parpol baru yang gencar
beritanya di media massa adalah PSI. Parpol yang gencar membidik segmen
generasi muda ini tentu akan berupaya keras membuktikan apakah eksperimen
mereka dalam kontestasi politik 2019 berhasil ataukah gagal. Dulu pernah ada
Partai Pemuda Indonesia dipimpin Hasanuddin Yusuf. Partai yang menetapkan
segmennya kalangan pemuda ini pun gagal berkontestasi. Tentu PSI tak ingin
punya pengalaman serupa.
Parpol-parpol baru lain tentu juga
akan terus bergerak mencari segmen, mempertegas ikon, di tengah ketatnya
persaingan dan sempitnya waktu. Parpol-parpol lama tampak lebih
berkonsentrasi mempertahankan, bahkan meningkatkan posisi elektoralnya.
Apakah strategi memunculkan tokoh
akan berhasil dilakukan oleh parpol-parpol yang terbatas popularitas stok
tokoh-tokohnya? Masalah tokoh, baik parpol lama maupun baru, banyak
yang menyandarkan pada magnet politik Jokowi. Satu Jokowi akan dipakai
sebagai ikon banyak parpol. Meskipun ada tokoh lain yang layak menjadi lawan
tandingnya, terutama Prabowo Subianto, parpol-parpol pendukung Jokowi lebih
berani tampil demonstratif. Mereka berharap efek Jokowi sebagai petahana.
Eksperimen baru
Keempat, eksperimen pemilu
serentak pada demokrasi elektoral 2019 yang berbeda teknis penyelenggaraannya
dibandingkan seluruh penyelenggaraan pemilu di Indonesia sepanjang
sejarahnya, sejak 1955, membuat banyak parpol cenderung berebut efek petahana
itu. Maka, faktor Jokowi menjadi begitu penting. Mereka berhitung dan
memperkirakan berapa besar persentase ”tambahan suara” sebagai dampak efek
petahana (coattail effect). Hal tersebut tentu dikaitkan asumsi
peluang kemenangan Jokowi sebagai capres 2019 masih tertinggi.
Semakin banyak parpol mendukung
Jokowi membuat peluang mereka mendapat dampak efek petahana yang tinggi tidak
cukup mudah. Namun, tentu mereka tak sekadar berhitung di situ, tetapi juga
dalam konteks ”berbagi” kekuasaan kelak. Manakala kini dipetakan banyak
parpol mendukung Jokowi sebagai capres, wacana calon tunggal mengemuka.
Apakah dimungkinkan calon tunggal hadir pada Pilpres 2019? Tema inilah yang
tengah marak belakangan ini. Kemungkinannya masih terus diuji. Antar-parpol
juga tengah saling uji reaksi.
Kelima, parpol-parpol dihadapkan
pada gradasi pendekatan antara kecenderungan mengedepankan pandangan-pandangan
rasional-kritis hingga politisasi identitas yang tak sering kali terelakkan
untuk meraup simpati bakal konstituen. Berbagai potensi jenis pemilih, apakah
pemilih sosiologis (primordial), psikologis (identitas parpol), atau rasional
(ekonomi), akan dihadapkan pada ragam pendekatan sosialisasi dan kampanye
yang dilakukan parpol-parpol.
Pilihan semakin beragam pada
Pemilu 2019. Kontestasi jelas semakin ketat, justru di tengah adanya segmen
masyarakat yang jenuh dengan parpol. Parpol yang berbasis media massa pun
belum tentu lebih diyakini konstituen. Kampanye berulang- ulang dengan
berbagai cara penyelipan berita bisa jadi malah memicu titik jenuh sehingga
kontra-produktif. Apalagi, manakala cara penyampaiannya terkesan memaksa dan
berlebihan.
Pada masa kini, parpol-parpol
bersaing di tengah fenomena jungkir balik pasca-kebenaran (post-truth).
Mereka berebut kepercayaan justru di tengah situasi yang susah untuk
mendapatkannya. Persaingan politik tentu akan semakin bising. Penegak hukum
dituntut semakin gencar menindak tegas mereka yang diduga menyebarkan hoaks
dan ujaran kebencian di media sosial. Ketegasan semacam itu diperkirakan akan
terus terjadi hingga puncak pemilu, justru di tengah kritisisme masyarakat
yang juga meningkat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar