Interpreter
Being
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 23 Maret 2018
MANUSIA adalah makhluk penafsir (an interpreter being). Semua realitas
yang berada di lingkungan sekitarnya, termasuk berbagai peristiwa yang
terjadi, adalah sebuah teks yang selalu menjadi objek penafsiran.
Mata telanjang menangkap fenomena,
sedangkan mata hati dan pikiran ingin menemukan noumena. Kesejatian itu berkerudung, tampil sebagai fenomena
sehingga untuk mengenalnya maka kita mesti menafsirkannya, tidak boleh
berhenti pada kata-kata. Menafsirkan berarti juga menyeberangi jembatan teks,
cross over, untuk mendekati makna
di balik teks. Ibarat orang hendak mendapatkan daging kelapa, maka dia mesti
mengurai serabut dan memecah batoknya. Dalam bahasa sehari-hari cross over ini disebut iktibar, sebuah kata yang berasal dari
bahasa Arab, yang artinya adalah juga menyeberangi atau melampaui kata dan
peristiwa.
Sejak kecil, kita dilatih untuk menafsirkan
kata, gerak, dan peristiwa. Ketika langit gelap, itu tanda akan hujan. Ketika
di langit ada pelangi, itu berarti bidadari lagi pada mandi. Ketika burung
prenjak beterbangan di depan rumah dan hinggap di atap, itu pertanda akan ada
tamu jauh. Ketika enak-enakan tidur mendengar ayam berkokok, berarti matahari
sudah terbit di ufuk timur. Demikianlah seterusnya, alam seisinya ini menjadi
objek penafsiran oleh manusia. Tentu saja tidak semua hasil penafsiran valid.
Sesuai dengan namanya, alam berarti tanda (token, sign) yang memang mesti ditafsirkan. Kata alam juga telah masuk memperkaya kosa
kata Indonesia, seakar dengan kata “alamat”.
Orang yang bepergian tidak pandai membaca
alamat, akan susah sampai di tujuan. Ketika ilmuwan melakukan riset tentang
fenomena alam, sesungguhnya dia sedang melakukan interogasi dan penafsiran
pada alam agar mengenalkan dan menyingkapkan dirinya tentang sifat dan
karakternya yang tersembunyi yang pada urutannya menghasilkan kaidah-kaidah
ilmiah yang disebut hukum alam dan hukum sosial.
Formula hukum alam ini tak terbatas
jumlahnya, yang mampu manusia identifikasi amatlah sedikit di hadapan semesta
yang akbar ini. Itulah sebabnya ilmuwan sejati selalu rendah hati. Tidak
merasa paling benar, lalu dengan gampang menyalahkan yang lain.
Di samping sangat terbatas capaian ilmunya
tentang realitas semesta ini, hasil tafsirannya juga tidak absolut benar,
sangat mungkin terkoreksi oleh ilmuwan berikutnya. Kata “ilmuwan” sendiri
masih seakar dengan kata “alam” dan “ulama”, yang capaian puncaknya adalah
merumuskan, menghimpun, dan mengajarkan hasil bacaan dan tafsirannya atas
teks (alam). Jadi, di mata saintis, alam adalah pertanda yang hendak
ditafsirkan melalui riset empiris untuk menemukan objektivitas yang tertutup
oleh penampakan luar (fenomena). Sementara di mata teolog, alam adalah
jejak-jejak kehadiran dan kekuasaan Tuhan untuk ditelusuri agar semakin
mendekat kepada-Nya.
Wahyu Alquran yang turun pertama kali
berbunyi “iqra” adalah perintah hermeneutik, baik berupa penafsiran empiris
terhadap fenomena alam, fenomena sosial, maupun penafsiran
kontemplatif-metafisis untuk mengenal sang Penciptanya melalui jejak-jejak
karya-Nya berupa teks semesta. Setidaknya kita memiliki dua modal dalam
melakukan penafsiran. Pertama, kinerja akal budi yang logis sistematis selama
setia mengikuti hukum logika. Dalam otak kita, terdapat program bawaan (given) berupa kategori-kategori yang
memungkinkan kita melakukan analisis, analogis, dan komparatif yang hasilnya
bisa dipahami, dikomunikasikan, dan diterima oleh penalaran universal,
seperti halnya yang terjadi dalam ranah matematika, yang menjadi basis sains.
Oleh karena itu, kaidah sains yang sifatnya
rasional lebih mudah diterima oleh siapa pun, mampu merobohkan tembok agama,
etnis, dan bangsa. Menyebarkan kebenaran sains lebih mudah ketimbang
menyebarkan agama dan ideologi. Kedua, adalah bahasa. Manusia juga di sebut animal symbolicum karena manusia mampu
menciptakan simbol-simbol bahasa yang kemudian menjadi sarana untuk
menafsirkan dan mengomunikasikan hasilnya sehingga bahasa menjadi rumah
bersama. Language is the house of being,
kata Heidegger.
Kecanggihan manusia mengidentifikasi,
mengklasifikasi, dan menyistematisasi objek di sekitarnya juga tersirat dalam
Alquran (QS 2:1) bahwa Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama, suatu
pengajaran yang tidak dimiliki makhluk lain. Bayangkan, andaikan tak ada
hukum logika dan nama-nama, maka realitas ini sulit ditafsirkan dan
dikonstruksikan. Secara fisik, wujud manusia itu kecil di tengah semesta ini,
tak ubahnya belalang yang lenyap ditelan belantara hutan. Namun, dalam diri
manusia terdapat akal budi yang kita sendiri tidak tahu di mana batas
akhirnya, sekalipun kita yakin bahwa akal budi itu terbatas. Dalam diri
manusia, terdapat roh ilahi yang menyambungkan rasa rindu dalam kalbunya yang
terdalam dengan Tuhan yang Mahakasih.
Di mana pun berada, manusia selalu menafsirkan
objek apa pun yang dijumpainya. Manusia saling menafsirkan yang lain. Gerakan
mata, mulut, tangan, dan tubuh, kesemuanya merupakan teks yang selalu
mengundang penafsiran. Ketika datang sosok yang mengenalkan diri utusan
Allah, manusia tidak langsung percaya, sampai-sampai muncul yang namanya
mukjizat untuk menaklukkan nalar yang menantangnya. Ketika Rasul itu
mengenalkan kitab suci, nalar kritis bertanya, bagaimana mungkin kalam yang
datang dari Tuhan yang Mahagaib itu menggunakan lisan budaya. Kalam yang
absolut dan universal diwadahi dalam wadah yang relatif dan lokal.
Lagi-lagi, manusia mesti melakukan
penafsiran dengan modal nalar dan bahasa, didorong oleh kuriusitas untuk
mengenal dan mendekati Tuhan yang selalu dibayangkan dan dirindukan. Karena penafsiran
tak pernah final, dan kadang melelahkan, maka pada momen tertentu nalar
merasa tak berdaya, lalu memutuskan untuk percaya. Sebuah leap of faith, sebuah loncatan iman
untuk mengusir interupsi keraguan guna menggapai Tuhan dengan penuh
keyakinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar