Diplomasi
Utang
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 28 Maret 2018
NEGARA berutang kabarnya adalah
hal biasa, apalagi bila negara itu sedang berpacu mengembangkan sejumlah
program yang dianggap dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
rakyatnya. Namun, kasus krisis utang yang dialami negara tujuan wisata
Maladewa (dikenal sebagai Maldives) akibat besaran utangnya pada Tiongkok
(China) menarik perhatian. Apa yang perlu diketahui terkait isu jerat utang
berkedok kerja sama pembangunan yang ditopang oleh diplomasi antarnegara?
Utang sebagai bagian dari
diplomasi dan perekat hubungan antarnegara bukanlah hal yang baru. Utang
adalah bagian dari bantuan keuangan dari sebuah negara ke negara lain baik
yang bersifat hibah, bunga lunak, atau pinjaman komersial; baik yang
diberikan secara bilateral atau yang disumbangkan melalui lembaga
multilateral. Seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang
berutang dapat sukses meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga ada yang gagal
hingga terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung.
Rasa khawatir akan terjebak dalam
kemiskinan tersebut yang membuat banyak pihak mengambil sikap politik untuk
menolak utang. Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam visi-misi kampanye
juga pernah menyatakan menolak menambah utang baru.
Amerika Serikat seusai Perang
Dunia ke-2 adalah negara yang banyak memberikan bantuan utang kepada
negara-negara yang ekonominya bangkrut karena perang. Marshall Plan sebagai
Program Pemulihan Eropa adalah program ekonomi skala besar atas inisiatif
Amerika untuk membantu negara-negara Eropa Barat memulihkan perekonomiannya.
Amerika Serikat kira-kira memberikan lebih dari USD13 miliar. Ryland dan
Thomas menilai jumlah itu sama dengan USD110 miliar pada 2016.
Beberapa tujuan yang menyertai
bantuan Amerika Serikat tersebut antara lain untuk merekonstruksi daerah yang
dilanda perang, menghapuskan hambatan perdagangan, memodernkan industri,
meningkatkan kemakmuran Eropa, menciptakan pasar dan terutama mencegah
penyebaran komunisme dari tetangga mereka di bagian Eropa Timur.
Negara-negara tersebut wajib membuat undang-undang pengurangan hambatan
antarnegara, meminimalisasi peraturan, dan mendorong peningkatan
produktivitas, keanggotaan serikat pekerja, serta penerapan prosedur bisnis
modern apabila ingin mendapat bantuan Marshall Plan.
Bukan hanya Amerika Serikat, Uni
Soviet pun pada masa itu juga memberikan bantuan keuangan meskipun datanya
tidak terbuka seperti AS sehingga menyulitkan interpretasi. Hal ini terjadi
karena sistem ekonomi politik yang tertutup, baik di pihak Uni Soviet maupun
negara penerimanya.
Meski demikian, Ragna Boden (2008)
menemukan bahwa Indonesia adalah salah satu negara terbesar penerima bantuan
Uni Soviet di antara negara-negara penerima lainnya di luar Eropa Timur sejak
1945–1965. Indonesia pada tahun yang sama (1945–1949) tidak banyak menerima
bantuan dari negara-negara Barat.
Indonesia sudah mendapat warisan
utang sebesar 4,3 miliar gulden dari penjajahan Kolonial Belanda berdasarkan
perjanjian Konferensi Meja Bundar. Selain itu, dinamika politik regional di
kawasan dan upaya Amerika Serikat yang mencoba mendongkel kepemimpinan
nasional Soekarno-Hatta, membuat bantuan dari negara Barat diterima secara
selektif dan terbatas.
Setelah masa itu, terutama ketika
lembaga keuangan internasional Bank Dunia dan IMF sudah mapan pada 1970-an, bantuan
keuangan dilakukan secara multilateral. Lembaga keuangan tersebut membagi
tugas dan fokus dalam tujuannya masing-masing. Bank Dunia mengaitkan bantuan
dengan pembangunan sosial dan ekonomi, sementara IMF lebih fokus pada
pinjaman yang relatif lebih komersial.
Di Asia sendiri, Jepang kemudian
menjadi pendonor utama dalam ADB (Asian Development Bank) yang fokus pada
pembangunan infrastruktur. China dalam sepuluh tahun terakhir menjadi negara
yang terlibat dalam mendanai negara-negara yang wilayahnya bersinggungan
dengan proyek infrastruktur Belt and Road.
Dana disalurkan
melalui sejumlah lembaga keuangan yang umumnya dimiliki oleh BUMN China itu
sendiri. China memang
mendirikan Bank Infrastruktur Asia atau AIIB, tetapi bank itu belum
beroperasi secara maksimal. Bantuan keuangan biasanya disalurkan lewat China
Silk Road Fund (CSRF) atau misalnya China-ASEAN Investment Cooporation Fund
(CAIF).
Lembaga-lembaga keuangan dan
bantuan tersebut tentu mewakili kepentingan mereka masing-masing. Amat naif
apabila kita berasumsi bantuan tersebut tidak memiliki kepentingan. Umumnya,
selain pertimbangan bisnis yaitu memperoleh keuntungan dengan bunga yang
dikenakan di dalam pinjaman, bantuan tersebut berfungsi sebagai memperkuat
pengaruh, membuka jalan kerja sama perdagangan barang dan jasa, memberikan
tekanan/hukuman atau penghargaan.
Bank Dunia, IMF, dan bantuan
keuangan China juga memiliki hubungan yang asimetris atau dominan dalam
relasinya dengan negara peminjam. Perbedaannya hanya di periode waktu,
syarat, dan modelnya.
Bantuan internasional dari Barat
umumnya cenderung disertai dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan
terkesan menggurui di awal pinjaman. Modelnya multilateral berupa kerja sama
beberapa negara pendonor.
Indonesia, misalnya, harus
melakukan sejumlah reformasi struktural (structural adjustment) menyusul
persetujuan mengambil utang dari IMF pada 1998, yang tujuannya meliberalisasi
pasar dengan mengeluarkan sejumlah peraturan yang memudahkan investasi asing
dan sekaligus memotong anggaran untuk pelayanan publik dan program
kesejahteraan rakyat untuk penghematan. Banyak investasi asing kemudian masuk
di sektor mineral seperti minyak, gas, batu bara.
Bantuan keuangan dari China
sedikit berbeda dengan bantuan dari Barat. Bantuan mereka umumnya tidak
disertai dengan syarat-syarat yang memberatkan pemerintahan yang berkuasa.
Bagi negara-negara yang mengalami kesulitan akses pendanaan dari Barat,
terutama negara yang dianggap melanggar HAM, dana segar dari China adalah
kabar yang sangat menggembirakan.
Meskipun berbeda, bantuan keuangan
dari Barat dan China bisa sama-sama menjerat apabila tidak dikelola secara
saksama dan dapat mendorong pertumbuhan apabila dikelola dengan hati-hati.
Posisi bantuan keuangan terhadap kinerja perekonomian negara sangat
bergantung pada dinamika struktur politik-ekonomi di dalam negeri.
Pada masa periode politik otoriter
(1970–2000) di Asia Tenggara, hampir semua negara menyesatkan bantuan hingga
menyebabkan kemiskinan. Bantuan-bantuan lebih banyak dikorupsi dan digunakan
oleh pejabat untuk kepentingan politik dan kalangan sendiri. Situasi tersebut
mulai berubah ketika ruang demokrasi (pasca 2000) lebih terbuka sehingga
pengawasan terhadap kinerja pemerintah lebih dapat dikritisi.
Pada masa itu, sejumlah negara di
ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia mulai dapat menyelesaikan
masalah ekonomi dan tumbuh menjadi negara berpendapatan menengah. Demikian
pula bantuan dari China. Ada beberapa negara dengan sistem ekonomi-politik
yang lebih stabil dapat diuntungkan dari bantuan tersebut, tetapi
negara-negara yang tidak stabil justru semakin terpuruk dan terancam gagal
bayar karena kesalahan pengelolaan.
The Center for Global Development
meneliti bahwa dari 63 negara yang terkait dengan proyek Belt and Road ada
delapan negara (Djibouti, Kyrgyzstan, Laos, Maladewa, Mongolia, Montenegro,
Pakistan, dan Tajikistan) yang tingkat utangnya kepada China sudah sangat
mengkhawatirkan, sementara negara lainnya dalam posisi aman.
Apabila kita teliti satu per satu,
rata-rata delapan negara tersebut mengalami ketidakstabilan di dalam negeri.
Contoh adalah Maladewa. Pada awal 1980-an, Maladewa adalah salah satu dari 20
negara termiskin di dunia, dengan populasi 156.000 jiwa. Pada 2012 telah
menjadi negara berpenghasilan menengah dengan pendapatan per kapita lebih
dari USD6.300. Namun, negara ini menghadapi tantangan ketika mereka tidak
berhasil menyelesaikan transisi politik dari pemerintahan yang otoritarian ke
demokrasi.
Pemerintahan yang berkuasa
kemudian mengadakan perjanjian perdagangan bebas yang pertama kali sepanjang
negeri itu berdiri dengan China dan mengimpor banyak barang untuk pembangunan
infrastruktur yang belum diperlukan. Akibatnya, tidak ada produktivitas yang
dilahirkan dari proyek-proyek itu.
Dengan kata lain, partisipasi
politik dan demokrasi yang terkonsolidasi adalah penentu apakah utang dapat
meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi sebuah negara atau justru
menjerumuskannya. Para politisi Indonesia harus dapat menjaga diri jangan
sampai menggunakan isu-isu yang dapat memecah belah persatuan hanya karena
ingin menang. Persaingan politik jangan jadi bencana, tetapi harus menjadi
berkah buat semua warga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar