Cadar
dan Cara Berislam Indonesia
Masduri ; Dosen Filsafat dan Pancasila pada
Program Studi Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Sunan Ampel Surabaya
|
KORAN
JAKARTA, 23 Maret 2018
Cadar belakangan ramai dibincangkan
terutama setelah beberapa kampus Islam negeri melarang mahasiswi mengenakan
pakaian khas bangsa Arab tersebut. Ada kecurigaan yang tak biasa terhadap
pengguna cadar. Kedekatan terhadap ideologi radikalisme menjadi stigma yang
sulit terhindarkan. Ini mengingat memang banyak keluarga teroris yang ada di
Indonesia mengenakan cadar.
Kenyataan ini tentu tidak sederhana.
Sebagai penutup muka, cadar memiliki makna tak sebatas pakaian. Ini lebih
jauh menggambarkan ideologi yang menancap dalam pikiran dan keyakinan. Dalam
perdebatan panjang mengenai cadar di Indonesia, tak sedikit yang menyebut,
dia sesungguhnya kebudayaan bangsa Arab, bukan ajaran Islam.
Kita bisa melihat model pakaian putri
ulama besar di Indonesia. Misalnya, putri Gus Dur, Yenny Wahid, kerap
mengenakan kerudung khas tradisi Jawa, sedangkan putri Quraish Shihab, Najwa
Shihab, justru kerap kali tidak mengenakan penutup kepala. Model berpakaian
kedua putri ulama tersebut menggambarkan cara pandang ayahnya, sebagai ulama
yang membaca visi besar keislaman dan lokalitas keindonesiaan.
Umumnya, muslimah di Indonesia
menggunakan jilbab, penutup kepala yang melingkari bagian belakang dan
samping (tidak bagian depan seperti cadar). Apa pun bentuk pakaiannya, cadar,
jilbab, kerudung, dan atau bahkan tidak menggunakan penutup kepala, semuanya
menggambarkan nalar ideologis masing-masing.
Pakaian, nyatanya tak sebatas mode,
yang mengikuti tren pasar. Pakaian berkembang tetap menyesuaikan dengan
kendali ideologi. Ada batas-batas yang terus diperhatikan, meski perkembangan
model pakaian menggeliat sedemikian rupa. Sebab itulah, belakangan berkembang
beragam model jilbab.
Tak
Biasa
Sesungguhnya yang membuat kita sulit
menerima cadar, terutama bagi mereka yang menolak, adalah ketidakbiasaan
menjumpai perempuan bercadar. Kenyataan ini membuat kita seperti terasing
dari akar-akar kebudayaan berkaitan dengan cara berpakaian perempuan
Indonesia. Kondisi ini oleh Kalvero Oberg (1954) disebut sebagai kejutaan
budaya (cultural shock).
Tak bisa ditolak, cadar adalah impor
kebudayaan Arab. Dia dikembangkan perempuan muslimah Indonesia. Meski, dalam
kenyataannya, cadar justru dianggap sebagai ajaran Islam yang implikasi
teologisnya adalah kewajiban. Makna kewajiban di sini, tentu tak sederhana.
Sebab dalam bagian lain melahirkan konsekuensi ‘dosa’ mereka yang
mengingkari.
Dalam ruang komunal
berbangsa-bernegera, kita bisa berdalih bahwa penggunaan cadar adalah hak
masing-masing orang. Dalih lain, konstitusi menjamin kebebasan berekspresi
dan negara tak boleh mengendalikan ruang privat warga. Hanya, cadar sebagai
penutup muka, secara sosiologis berimplikasi pada cara pandang orang-orang
sekitar.
Kendati kita bisa menyebut cadar tak
selama lekat dengan kelompok fundamentalis-radikalis, setiap kita melihat
pengguna cadar, secara naluriyah bayangan selalu melahirkan stigma kurang
baik. Ini mulai dari anggapan konservatif, findamentalis, radikalis, teroris,
dan seabrek stigma yang kurang elok lain.
Berkembangnya stigma kurang baik
terhadap penggunan cadar dilatari berbagai kenyataan. Salah satunya,
istri-istri teroris di Indonesia penggunan cadar. Kemudian, kelompok yang
anti-Indonesia banyak menggunanakan cadar. Maka, dalam batas-batas yang lain,
cadar di Indonesia tidak lebih dekat dengan ajaran Islam seperti di
negara-negara Arab-Islam. Dia lebih dekat dengan tradisi kelompok Islam
fundamentalis yang anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-NKRI, dan
anti-Bhinneka Tunggal Ika.
Pelarangan cadar di kampus Islam
negeri, sesungguhnya berkaca pada latar belakang tersebut. Tak ada kehendak
pemimpin kampus, apalagi dari mereka yang memliki jabatan akdemik sebagai
guru besar, untuk memaksa dan mengekang gaya berpakaian para mahasiswi.
Sebagai akademisi, mereka tentu sangat paham tentang demokrasi dan kebebasan
personal atas cara berpakaian.
Mereka hanya tak ingin ada
mahasiswinya terjebak pada ideologi Islam fundamentalis-radikalis yang
anti-Indonesia, sebagai konsep final negara-bangsa, yang harus diperhatankan
bersama. Maka, sangat salah, andai kalau kampus negeri membiarkan berkembang
biaknya ideologi anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-NKRI, dan anti-Bhinneka
Tunggal Ika.
UIN, IAIN, dan STAIN sebagai kampus
Islam negeri harus mengawal berkembangnya Islam inklusif yang menumbuhkan
semangat beragama dan bernegara secara berkesinambungan. Kampus Islam negeri
harus mampu meneguhkan ideogi Islam yang mengindonesia. Ini sutau cara
pandang keagamaan yang mampu menghadirkan kesadaran secara utuh bahwa
Indonesia adalah tanah dan rumah bersama tempat bersujud kepada Tuhan.
Indonesia harus dijaga terus agar mampu menjamin kebebasan beragama dan
beribadah sesuai dengan keyakinan
tiap-tiap pribadi.
Tanpa Indonesia (sebagai negara
merdeka yang diakui dunia) kita tak memiliki tanah tempat bersujud kepada
Tuhan. Berislam dan berindonesia adalah kewajiban bagi setiap muslim yang
lahir dan dibesarkan di Indonesia. Inilah cara kita bersyukur kepada Tuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar