Politisasi
Agama
Ma’mun Murod Al-Barbasy ; Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
|
REPUBLIKA,
03 Maret
2018
Setelah hampir dua dasawarsa
pascaserangan 11 September 2001 radikalisme menjadi tema sentral kampanye
untuk menyudutkan (umat) Islam, dalam beberapa tahun belakangan kita
disuguhkan kampanye serupa, kampanye “politisasi agama”.
Karena terjadi di Indonesia, maka
kata “agama” sudah pasti dinisbatkan kepada Islam. Politisasi agama mulai
menjadi tema sentral “kampanye” stigmatisasi terhadap Islam. Kampanye ini
begitu rapi dan sistematis.
Semua lini, mulai dari media
sosial, media massa, sampai pada pelibatan oknum-oknum pejabat yang
terjangkit Islamofobia, bekerja kompak mengampanyekan politisasi agama.
Mereka memberikan label negatif pada umat Islam.
Yaitu, dengan menuduh umat telah
melakukan politisasi agama dengan “melacurkan” dan memperalat agama untuk
kepentingan politik tertentu, memecah belah umat, dan stigma minor lainnya.
Kalau mengkaji teks dan sejarah
politik Islam, politisasi agama sebenarnya lazim dilakukan, bukan sesuatu
yang aneh dan perlu dipersalahkan. Islam itu agama politik. Kelahirannya
sarat peristiwa-peristiwa politik yang melingkupinya.
Tergambar dalam Alquran, di mana
terdapat begitu banyak “ayat politik”, baik dalam konteks ayat Makiyah maupun
Madaniyah. Begitu pun dalam hadis, banyak yang merupakan respons Rasul
terhadap kondisi politik yang terjadi saat itu.
Karena Islam agama politik, tak
berlebihan kalau Islam menjadi agama berwajah politis. Rasul Muhammad,
khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib, serta generasi sesudahnya menempatkan Islam sebagai agama politik.
Awal menerima risalah sekaligus
“kuasa politik” dari Allah, Muhammad SAW mengirim beberapa utusan menemui
beberapa raja, seperti Kaisar Heraclius (Romawi), Raja Negus (Ethiopia), dan
Khusrau (penguasa Persia) untuk menyeru dan menyuruh raja-raja tersebut masuk
Islam. Sesuatu yang tak terbayangkan terjadi pada saat ini.
Dengan “jabatan” sebagai
Rasulullah, Muhammad menandatangani Perjanjian Hudaibiyah. Namun, mendapat
tentangan dari Suhail bin Amru yang memintanya agar Muhammad tidak menuliskan
jabatan Rasulullah di depan namanya pada naskah perjanjian.
Suhail meminta agar cukup ditulis
“Muhammad bin Abdullah”. Saat peristiwa Pembebasan Makkah (Fathu Makkah),
Rasul menegaskan, siapa pun yang masuk Makkah dan rumah Abu Sufyan aman.
Tiga fakta sejarah ini adalah
contoh nyata politisasi agama yang dilakukan Rasul. Salahkah Rasul? Tentu
tidak. Sebagaimana ditegaskan QS An-Najm: 3-4, Rasul melakukan apa pun bukan
atas dasar hawa nafsunya, melainkan dalam bimbingan Alquran.
Dalam konteks Indonesia,
politisasi agama juga lazim dilakukan. Berdirinya Sarekat Islam (1912) yang
berubah jadi Partai Sarekat Islam Indonesia (1921), Muhammadiyah (1912),
Nahdlatul Ulama (1926) adalah contoh nyata bentuk politisasi agama.
Kalau sekarang beberapa orang latah
menggugat pekikan takbir "Allahu Akbar" dengan alasan bernuansa
politis, dulu saat perjuangan merebut kemerdekaan, pekikan "Allahu
Akbar" justru jauh lebih bernuansa politis.
Pembentukan pasukan Hizbullah dan
Sabilillah--yang dalam perkembangannya menjadi cikal bakal pendirian Tentara Nasional
Indonesia--dari namanya saja sudah menggambarkan terjadinya politisasi agama.
Kata resolusi dalam politik adalah
hal biasa, tapi ketika sudah diikuti kata jihad: Resolusi Jihad, menjadi
lekat dengan politisasi agama.
Ketakutan
bangkitnya Islam politik
Paparan di atas menegaskan,
politisasi agama adalah sesuatu yang biasa, tak asing (gharib) dilakukan umat
Islam. Ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat distorsi yang luar
biasa atas politisasi agama. Maknanya begitu buruk.
Secara negatif, tuduhan politisasi
agama selalu disematkan kepada kelompok Islam. Dalam banyak hal, kelompok
Aksi Bela Islam 411 dan 212 selalu menjadi tertuduh.
Padahal, kelompok ini hanya
mencoba mengekspresikan pilihan dan dukungan politiknya kepada kandidat tertentu
yang dinilai lebih tepat mewakili umat Islam.
Politisasi agama selalu dituduhkan
kepada kelompok Islam yang memilih kandidat politik dengan menggunakan
pembenaran-pembenaran agama. Praktis tak pernah atau setidaknya jarang sekali
politisasi agama disematkan kepada umat agama lain.
Padahal tak sedikit di lingkup
agama lain pun melakukan hal sama. Agama dijadikan sebagai instrumen
“transaksi” politik guna memperoleh kuasa politik.
Politisasi agama juga tak pernah
disematkan kepada, misalnya, tokoh politik yang bertandang ke
pesantren-pesantren dengan menggunakan simbol-simbol agama.
Jarang sekali politisasi agama
dialamatkan kepada para kandidat politik yang sebelumnya begitu jauh dan
bahkan cenderung anti dan memusuhi Islam, tapi tiba-tiba tampak begitu
“bersahabat” dengan umat Islam dan gemar pula menggunakan simbol-simbol atau
idiom-idiom Islam.
Terjadi bias pemaknaan dan salah
sasaran dalam menyematkan stigma politisasi agama. Seharusnya, stigma
politisasi agama itu disematkan kepada kelompok yang menjadikan Islam sebagai
alat untuk menggapai kekuasaan dalam artian sempit.
Bukan kepada umat Islam yang
tengah memperjuangkan, mendukung, dan memilih pemimpin politik dengan
mempertimbangkan dan merujuk pada prinsip-prinsip politik fundamental dalam
Islam.
Selagi politisasi agama lebih
berdimensi politik keumatan tak semestinya dimaknai secara negatif.
Sebaliknya, yang harus diwaspadai dan pantas diberi stigma adalah politisasi
agama yang sarat kepentingan pribadi.
Apalagi, hal itu dilakukan oleh mereka
yang selama ini tak ramah dan bahkan fobia terhadap Islam. Kampanye dan bias
pemaknaan politisasi agama sebenarnya lebih merupakan gambaran ketakutan
terhadap bangkitnya Islam politik.
Politisasi agama bukan hal baru
dilakukan oleh umat Islam. Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, dan hingga
memasuki awal dekade kedua era Reformasi, politisasi agama niscaya dilakukan
oleh kelompok Islam.
Namun, karena dilihat bahwa
kekuatan politik Islam tidak signifikan dan tidak cukup membahayakan bagi
kekuatan politik anti-Islam, politisasi agama pun tidak pernah disoal atau
digugat.
Ketika kekuatan politik Islam
dengan menggunakan basis massa //grassroot// dinilai mulai dan bahkan bakal
membahayakan, maka langkah-langkah politik umat Islam mulai dipersoalkan.
Stigma politisasi agama pun disematkan kepada umat Islam.
Percayalah, seperti halnya stigma
radikal dan kampanye radikalisme yang mulai menuai kegagalan, kampanye
politisasi agama pun diyakini akan menuai kegagalan.
Manusia boleh saja merencanakan
dan melakukan tipu daya, tapi percayalah Tuhan pasti akan membalas tipu
dayanya, wamakaru wamakarallah, wallahu
khairul makirin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar