Skenario
Korbankan Kurdi
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam;
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 05 Maret 2018
Di tengah perhatian dunia terhadap
tragedi Ghouta, pinggiran Damaskus, teka-teki mengenai sejumlah kejanggalan
agresi Turki ke Suriah lambat laut mulai menemui titik terang.
Sejak awal agresi itu sekitar satu
setengah bulan lalu, Operasi Ranting Zaitun memunculkan sejumlah pertanyaan
dan spekulasi bukan hanya di kalangan awam tapi juga di kalangan pengamat. Di
antara pertanyaan itu, mengapa Turki bisa sangat leluasa memasuki Suriah dan
mengobrak-abrik kekuatan Kurdi di Efrin?
Apakah para penguasa de facto bumi
Suriah saat ini seperti Rusia, Iran, AS, dan Rezim Asad tidak melakukan apa
pun untuk mencegahnya? Atau sebaliknya, apakah mereka telah memberi lampu
hijau terhadap operasi itu? Lalu, apa kepentingan mereka dengan hal itu?
Diamnya Iran bisa dimengerti.
Sebab, salah satu kepentingan
nasional negara itu saat ini sama dengan Turki. Yakni, menghadapi
bertumbuhnya kekuatan Kurdistan yang mengancam keutuhan wilayahnya di sebelah
barat.
Melemahnya jaringan kekuatan Kurdi
merupakan berkah luar biasa bagi Iran. Namun bagaimana dengan Rusia, AS, dan
rezim Suriah? Rezim Suriah seharusnya mempertahankan setiap jengkal
wilayahnya dari agresi negara lain.
Akan tetapi, rezim ini justru
membiarkan operasi Turki di wilayahnya, setidaknya pada beberapa waktu awal.
Demikian pula Rusia yang menjadi pendukung kuat rezim Suriah. AS seharusnya
juga berang karena Kurdi adalah sekutu lokalnya.
Kurdi selama empat tahun terakhir
sangat berperan dalam menghancurkan ISIS bersama koalisi pimpinan AS.
Teka-teki dan berbagai kejanggalan masih berlanjut mengiringi operasi lintas
perbatasan Turki itu.
Ketika kekuatan Kurdi terkepung
dan mulai terdesak di kota Efrin, tiba-tiba kejanggalan lain mencuat. Kurdi
meminta bantuan kepada rezim Asad. Dan kedatangan milisi pro-Asad disambut
gegap gempita oleh para pejuang dan masyarakat Kurdi.
”Satu Suriah, Satu Suriah,”
pekikan dari penyambutan itu. Ini sama dengan lelucon yang tidak lucu. Asad
adalah salah satu musuh besar Kurdi di wilayah itu. Mengapa Kurdi justru
meminta bantuan kepada Asad, bukan kepada AS?
Kejanggalan berikutnya, kedatangan
milisi Asad tidak menimbulkan konfrontasi serius dengan militer Turki. Hanya
insiden kecil terjadi. Padahal, Erdogan dan pimpinan Turki yang lain sudah
menyampaikan secara tegas akan melibas siapa pun yang menghalangi operasi
Ranting Zaitun di Efrin.
Selingkuh
Sulit mencerna kejanggalan demi
kejanggalan itu. Namun kini semuanya mulai ada titik terang. Rezim Suriah
sengaja membiarkan agresi Turki di wilayahnya karena hal itu memberikan
keuntungan ganda kepadanya.
Rezim Asad sangat berambisi
mengembalikan wilayah yang lepas pada 2012 itu ke dalam kekuasaannya. Karena
itu, operasi Turki untuk menghancurkan kekuatan Kurdi di wilayah tersebut
ibarat durian runtuh.
Dia mungkin akan mendapatkan hasil
besar tanpa berkeringat alias gratis. Faktanya, mereka sekarang mulai
memasuki Efrin tanpa perlawanan berarti. Keuntungan kedua, mereka juga
disambut bak pahlawan oleh masyarakat kota itu.
Sebab, kebencian kota diarahkan
kepada Turki yang melakukan agresi di kota itu, sedangkan kedatangan milisi
dan pasukan rezim kemungkinan menyusul disambut bak pahlawan.
Hal ini pasti tidak terjadi jika
tak ada serangan Turki ke wilayah tersebut. Oleh karena itu, analisis
sementara yang paling masuk akal memang ada perselingkuan antara Turki dan
rezim Suriah, bahkan dengan para penguasa de facto Suriah yang lain.
Jika kontrol atas wilayah itu
diserahkan kepada rezim Asad sekalipun, kepentingan dua negara ini sama-sama
tercapai. Bagi Turki, yang terpenting adalah basis kekuatan Kurdi di Efrin
melemah dan Kurdi yang dianggap sebagai ”teroris-pemberontak Turki” tak lagi
menguasai wilayah itu.
Bagi rezim Asad, ini capaian yang
sangat besar dengan ongkos sekecil-kecilnya. Turki berupaya meyakinkan dunia
bahwa operasi Ranting Zaitun sebagai perjuangan untuk membebaskan Suriah dari
cengkeraman para teroris Kurdi Turki yang melarikan diri ke Suriah.
Karena itu, mereka menyebut PYD
dan milisi Kurdi lain yang menentangnya sebagai teroris atau Ocalaniyin,
yaitu anak buah Abdullah Ocalan, pemimpin PKK yang dianggap sebagai gembong
teroris oleh Turki.
Menurut sumber-sumber lokal,
falsafah dan perjuangan Abdullah Ocalan sangat berpengaruh dalam kehidupan
warga Kurdi Efrin khususnya dan warga Kurdi di empat negara Timur Tengah pada
umumnya. Operasi ini juga membuat senang Iran dan Rusia.
Santer dikabarkan bahwa sebelum
operasi ini diluncurkan, Turki menggencarkan diplomasi intensif kepada
negara-negara ini dan AS, juga memberitahukan kepada Suriah. AS sekutu Kurdi
sepertinya bersikap pragmatis saja. Ia tak ingin berkonfrontasi dengan sekutu
NATO-nya itu.
AS menunjukkan sikap pasif dalam
operasi Ranting Zaitun di Efrin. Oleh karena itu, masyarakat dan pejuang
Kurdi di kota itu menyebut negara adidaya itu sebagai pengkhianat. Kurdi di
Efrin sepertinya memang dikorbankan oleh perselingkuhan aktoraktor besar yang
punya pengaruh di Suriah. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar