Nalar
Logistik Kepala Daerah
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Maret 2018
SEPERTI serial panjang
telenovela yang menguras amarah dan air mata rakyat, begitulah Operasi
Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap kepala daerah di Indonesia. Kini, giliran Wali Kota Kendari Adriatma
Dwi Putra (ADP) dan calon Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun, yang
terjaring OTT oleh KPK (28/2/2018).
Adriatma ialah anak dari
Asrun, dan diduga OTT terhadap mereka terkait suap megapoyek jalan lingkar
dan proyek tambak labu di Teluk Kendari, untuk pembiayaan politik pilkada.
Praktis, hanya dalam waktu kurang lebih 2 bulan di Tahun Anjing Tanah, 2018
ini, sudah sembilan kepala daerah ditetapkan menjadi tersangka korupsi.
Mereka ialah Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Kebumen Mohammad
Yahya Fuad, Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati
Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Lampung
Tengah Mustafa, dan terakhir Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra.
Cita-cita politik
kesejahteraan yang membungkus kursi kekuasaan kepala daerah tampaknya begitu
mudah dihancurkan dalam sekejap. Adriatma baru dilantik 9 Oktober 2017
sebagai Wali Kota Kendari yang ke-6 dan hanya dalam hitungan seumur jagung,
kekuasaannya harus berakhir di balik jeruji.
Ini memperlihatkan, hak
daulat dan kesejahteraan rakyat hari-hari ini sedang dipertaruhkan di
ruang-ruang barter kekuasaan. Politik tidak lagi sebaris dengan idiom
kebaikan dan kesejahteraan, namun bersekutu dengan politik modal yang
monolitik dan menyengsarakan rakyat.
Politik
uang
Bayangkan, dalam ruang
demokrasi yang berbiaya tinggi, simbol-simbol ‘logistik’ gampang sekali
menjadi ‘alat mediasi’ krusial demi kesepakatan politik elite-rakyat
(Ismawan, 1999:5). Selain ‘menganeksasi’ wilayah politik personal seperti
‘serangan fajar’ kepada rakyat pemilih dalam pilkada, politik uang juga
menjajah ruang kerja politik institusional seperti pemberian ‘mahar’ atau
yang biasa disebut ‘uang sewa perahu’ kepada elite partai untuk mendapatkan
tiket pencalonan dalam pilkada.
Pilkada Serentak 2018
sebagaimana pilkada sebelumnya bahkan masih akan menjadi kawahcandradimuka
politik uang. Di Pilkada 2017 lalu misalnya, Bawaslu menemukan 600 dugaan
politik uang yang terjadi di 101 daerah baik berupa uang maupun barang
sembako yang dilakukan oleh relawan pasangan calon dan perseorangan.
Di pilkada tahun ini
sebaran titik potensial politik uang kemungkinan akan terus bertambah seiring
belum tercerdaskannya pengetahuan politik masyarakat, belum memadainya
kesejahteraan rakyat hingga kultur pragmatisme yang masih tajam membelah
moralitas dan akal sehat elite maupun rakyat.
Hasil riset Surabaya
Survei Centre (SSC) misalnya menunjukkan, potensi politik uang di Pilkada
Jawa Timur (Jatim) di 2018 sangat besar. Disebutkan, toleransi masyarakat
Jatim terhadap politik uang tergolong sangat tinggi yakni 64%. Politik uang
tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan demarkasi moral
dan demokrasi, namun malah dianggap sebuah ‘solusi efektif’ membangun
opsi-opsi politik terselubung yang dikekalkan oleh mentalitas keserakahan.
Versi International
Corruption Watch (ICW), ada 5 wilayah yang terindikasi menerapkan politik
uang pada Pilkada Serentak 2018 yakni Riau, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Sumatra Utara. 5 wilayah ini rawan politik uang dengan indikator
kesejahteraan masyarakat masih rendah.
Jika 5 daerah ini saja
masih dianggap kurang sejahtera sehingga menjadi daya picu politik uang, lalu
bagaimana dengan daerah-daerah lebih miskin seperti di Indonesia Timur? Tentu
saja eksploitasi kemiskinan dengan bagi-bagi amplop akan gencar dilakukan di
sana.
Selain itu, daerah-daerah
dengan derajat rivalitas politik pilkada yang tinggi (seperti di Jawa Barat,
Jawa Timur) dipastikan ikut berpotensi melahirkan politik Machiavelis
termasuk dengan menggunakan politik uang guna memenangkan pilkada. Tidak
heran jika Jacobson sebagaimana dikutip Fahmi Badoh & Lucky Djani (2010)
mengatakan, “Money is not sufficient, but it is necessary for successful
campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election
results and campaign can’t be run without it.”
Uang memang bukan
segala-galanya dalam kampanye, namun ia tetap menjadi sumber daya penting
dalam memengaruhi hasil pemilu. Sebuah sinisme yang mau mengatakan, kampanye
dalam sistem demokrasi tidak akan ‘komplet’ tanpa fulus. Atau lebih
provokatifnya, orgasme politik ‘tidak mungkin’ tercapai dalam perhelatan
politik tanpa adanya ‘persetubuhan’ uang dan aktivitas politik.
Pilkada sejatinya adalah
momentum mengedukasi masyarakat agar memiliki kemelekan dan kedewasaan dalam
berdemokrasi. Namun, tanpa bangunan kefatsunan dan pengawasan hukum yang
kukuh, pilkada hanya akan menjadi mesin eksponensial reproduksi uang haram,
sebagaimana sudah lama dikhawatirkan Larry Diamod (2003) dalam tesisnya,
demokrasi semu. Demokrasi yang dipraktikkan atas nama rakyat, tetapi rakyat
sejatinya mengalami kepailitan kesadaran etik-rasionalnya antara lain karena
hak-hak politiknya telanjur dimobilisasi syahwat kapital.
Nalar
logistik
Fakta-fakta di atas
sejatinya mau menunjukkan bahwa demokrasi kita masih mengandalkan kemampuan
alokatif (basis logistik) ketimbang kemampuan otoritatif (kapasitas
intrinsik). Nalar logistik inilah yang menekan pertumbuhan demokrasi di mana
memaksa aktor-aktor politik bertempur di dunia politik dengan menggunakan
kalkulasi monetisme, untung-rugi, seraya mengeranjangsampahkan kemampuan
intrinsik (integritas, gagasan, kapabilitas, modal sosial)-nya. Akibatnya pun
pilkada hanya melahirkan elite-elite medioker lima tahunan yang sibuk
mengembalikan uang kandidasi dan kampanye melalui penciptaan pelbagai fee
proyek dan kebijakan publik prokoruptif.
Celakanya lagi, nalar
logistik yang menjangkiti para aktor politik atau kepala daerah tersebut kian
terkonsolidasi agenda setting demokrasi kita yang sejak awal alpa membangun
pelembagaan perwakilan politik masyarakat secara efektif. Penguatan demokrasi
terlalu berporos pada kerangka-kerangka normatif, keniscayaan prosedur,
regulasi. Namun, abai pada pembangunan partisipasi politik yang dewasa dan
kritis yang mestinya diinisasi penuh parpol, lembaga masyarakat sipil,
perguruan tinggi termasuk pers.
Rakyat sekonyong-konyong
masuk atmosfer demokrasi langsung, tanpa dibekali kesadaran yang objektif dan
kritis dalam melihat persoalan lokal, termasuk relasinya dengan figuritas
atau aktor-aktor politik. Akibatnya, ruang kesadaran konstruktif masyarakat
untuk mengontrol sistem yang deviatif dan korup menjadi kosong dan dengan
mudah dibajak nalar sesat politik logistik yang berbasis fulus. Termasuk juga
berbasis ikatan kedaerahan, patronase, patrimonialisme, dan parokialisme yang
kesemuanya itu sedang mengintai proses Pilkada Serentak 2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar